Perempuan Pekerja Terdampak Corona



Oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
(Koordinator LENTERA)

Situasi luar biasa seperti pandemi Covid-19 saat ini mau tidak mau memang melumpuhkan dunia. Dan perempuan adalah pihak yang kerap menanggung dampak ganda. Kondisi tersebut saat ini dialami oleh hampir seluruh perempuan di dunia, tak terkecuali perempuan di Indonesia.

Maria Holtsberg, penasihat risiko bidang kemanusiaan dan bencana di UN Women Asia dan Pacific, mengungkap dampak terhadap perempuan yang tidak proporsional. Menurut Holtsberg, krisis selalu memperburuk ketimpangan gender.

Sementara itu, komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Mariana Amiruddin mengatakan beban berlipat ganda di tengah pandemi ini terutama ditanggung oleh perempuan yang berkeluarga dan bekerja. Selain bekerja dari rumah, mereka juga harus sambil mengasuh anak serta mengajar anak sekolah yang juga secara online.

Mariana mengatakan pemerintah semestinya memberi perhatian yang lebih besar terhadap isu tersebut, terutama peran perempuan selama ada kebijakan masif untuk tetap di rumah. Solusinya sebetulnya selain anjuran kesehatan soal situasi Covid, seharusnya juga ada anjuran tentang budaya. Budaya itu maksudnya bagaimana setiap keluarga itu dalam situasi pandemi ini bisa membagi tugas dan bekerja sama untuk mengelola kehidupan yang harus di rumah.

Mariana menambahkan, selama ini pemerintah kan hanya membicarakan untuk kesehatan (cuci tangan, tetap di rumah, dsb). Tapi hal-hal yang sifatnya sosial budaya itu tidak tersentuh, padahal problem paling banyak justru persoalan sosial budaya, termasuk soal ekonomi.

Terkait hal ini, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang mengatakan, kondisi pandemi Covid-19 ini memang berdampak pada sosial dan ekonomi perempuan.

Bintang mengatakan, berdasarkan data 16 April 2020 jumlah pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja ( PHK) sebanyak 2.358. Dari data tersebut sebanyak 762 orang pekerja perempuan terkena PHK. Angka 762 ini hampir 30 persen adalah pekerja perempuan. Bintang juga mengatakan, banyak perempuan yang memiliki usaha ultra mikro yang terancam karena tidak ada distributor.

Sementara untuk hal lain, yakni pekerja migran, Bintang mengatakan bahwa pada Maret 2020 terdapat 32.000 pekerja migran pulang ke Tanah Air. Dari jumlah tersebut terdapat 70 persen pekerja migran perempuan. Pasalnya setelah pulang ke Indonesia, tidak semua pekerja migran itu punya mata pencaharian.

Meski demikian, kondisi ini memberikan satu jawaban. Bahwa yang demikian ini bukanlah sesuatu yang mengherankan dalam dunia kapitalisme. Karena ini sudah sejalan dengan laporan Global Gender Gap Index 2020 yang dirilis Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) yang diselenggarakan di Kota Davos, Swiss, 21-24 Januari 2020, menyebut Indonesia ada pada peringkat 85 dari 153 negara dengan skor 0,70. Angka tersebut mengartikan bahwa Indonesia sudah menyempitkan jarak kesetaraan gender kurang lebih 70 persen dalam empat sektor utama, yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik.

Indonesia dinobatkan menjadi negara ke-6 di dunia yang mayoritas kepemimpinan di bidang ekonomi dipegang oleh perempuan. Sebut saja jabatan Menteri Keuangan RI yang dua periode berturut-turut dipegang dan diatur oleh perempuan, Sri Mulyani Indrawati.

Global Gap Index 2020 juga mencatat peringkat sub-indeks dalam sektor ekonomi Indonesia berada di peringkat 68 dengan angka indeks 0,68. Ini disebut-sebut menjadi sebuah prestasi dan pencapaian yang patut diapresiasi, karena jika dibandingkan dengan peringkat tahun sebelumnya, Indonesia mampu naik hingga 28 peringkat.

Tak heran, jika pada akhirnya sejak kurang lebih 10 tahun belakangan ini, pemberdayaan ekonomi perempuan menjadi fokus perhatian utama di kalangan para kepala negara dari seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Beberapa tahun terakhir ini, fokus perhatian upaya pengentasan kemiskinan pemerintah RI juga terarah pada ekonomi perempuan. Yakni melalui program pemberdayaan ekonomi perempuan (PEP). Hal ini katanya cukup beralasan. Karena perempuan dianggap lebih teliti dari kaum laki-laki. Perempuan juga lebih cakap dalam mengelola keuangan, sehingga berpotensi besar untuk bisa membantu menurunkan angka kemiskinan keluarga maupun bangsa.

Namun yang terjadi di lapangan, sungguh jauh dari impian. Iming-iming indah kapitalisme nyatanya hanya lipstick untuk menjebak kaum perempuan. Yang ada, mereka malah terperosok menjadi bumper dan mesin ekonomi kapital sekaligus menjauhkan para perempuan dari fungsi fitrahnya sebagai ibu generasi (ummu al-ajyal).

Buktinya, posisi perempuan sebagai tulang rusuk yang wajib dinafkahi, justru digeser orientasinya sehingga menjadi tulang punggung nafkah keluarga. Lebih lanjut, hal ini diopinikan menuju pengentasan kemiskinan. Padahal dalam sistem kapitalisme ini, kemiskinan juga merupakan perkara yang tak kalah kompleks.

Meski demikian, konsep dan program-program PEP masih manjur untuk meneteskan air liur kaum perempuan di negeri ini. Jargonnya, perempuan yang berpenghasilan mandiri akan meningkatkan posisi tawar dirinya di tengah-tengah keluarga. Kemandirian perempuan Indonesia di sektor ekonomi, justru dianggap sebagai prestasi.

Masalahnya, bagaimana pun PEP adalah hasil breakdown sebuah program internasional. Yang artinya, ketika suatu program ekonomi atau pengentasan kemiskinan digulirkan, dipastikan ada timbal balik; di mana negara pelaksana dituntut untuk melaksanakan program lain yang berbeda. Diantaranya adalah pencapaian kesetaraan gender (KG). Padahal program KG ini justru menjerumuskan kaum perempuan dalam jerat liberalisme, alih-alih menjadi perempuan berkemajuan.

Indikator keberhasilan PEP harus disertai dengan keberhasilan penanaman pemikiran-pemikiran tentang KG. Tak ayal, PEP hanyalah program pemajuan semu bagi kaum perempuan. Semua itu dalam rangka makin menekan negara-negara dunia ketiga, agar makin tunduk pada negara pertama.

Di antara hal dalam PEP yang membahayakan kaum perempuan adalah ketika produktivitas mereka diukur secara materi. Perempuan yang produktif dihormati dengan sejumlah nominal. Makin produktif, makin tinggi insentif. Seorang ibu rumah tangga biasa, jelas dipandang tak produktif oleh program ini. Dianggap parasit malah. Asal tahu saja, jika orientasi kaum perempuan yang sekaligus kaum ibu ini terpalingkan dari ummun wa robbatul bayt (ibu dan pengatur rumah tangga) dan ummu al-ajyal (ibu generasi), maka tunggulah kehancuran institusi keluarga berikut generasi di dalamnya. Na'udzu billaahi.

Cara pandang seperti kapitalisme ini tentu jauh berbeda dengan cara pandang Islam. Untuk bisa mewujudkan jaminan pemenuhan kebutuhan primer kaum perempuan, Islam telah menetapkan jalur-jalurnya.

Ini berlandaskan pada hukum syariat yang telah diturunkan oleh Allah SWT, di antaranya dalam ayat-ayat berikut ini:

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَّحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (TQS Thaha [20]: 132).

Juga berangkat dari sabda Rasulullah saw berikut ini :

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Islam sebagai ideologi yang diemban oleh Negara Khilafah, akan memberikan mekanisme tertentu sehingga jalur pemenuhan nafkah kaum perempuan dapat terjamin sempurna. Yakni agar perempuan tetap terjaga pada posisinya selaku tulang rusuk, bukan tulang punggung keluarga.

Mekanisme tersebut, pertama, mewajibkan laki-laki memberi nafkah kepada diri dan keluarganya. Seorang perempuan ketika belum menikah terjamin nafkahnya melalui ayahnya. Setelah menikah, maka nafkah itu dijamin oleh suaminya. Dalam kondisi yang lain, nafkah seorang perempuan bisa dijamin oleh saudara laki-lakinya, atau anak laki-lakinya.

Kedua, jika seorang perempuan tidak memiliki empat jalur sebagaimana poin pertama di atas, maka nafkahnya dijamin oleh kerabat terdekat yang memiliki hubungan darah dengannya. Ini dengan catatan, kerabat dekatnya ini memiliki kelebihan harta. Karena, orang yang disebut mampu oleh hukum syara', adalah orang yang memiliki harta lebih dari kebutuhan-kebutuhan primer dan kebutuhan pelengkap.

Ketiga, jika seorang perempuan tidak memiliki pihak-pihak yang menanggung nafkahnya sebagaimana poin pertama dan kedua, maka kewajiban memberi nafkah itu beralih kepada negara, melalui Baitul Maal.

Maa syaa Allah, demikian lengkap Islam telah mengatur jalur nafkah kaum perempuan. Aturan ini telah berlaku sejak 14 abad yang lalu. Namun oleh sistem kehidupan sekular, jalur nafkah ini tidak difungsikan sebagaimana mestinya. Ketika ada perempuan tak bekerja, budaya sekular malah menganggapnya beban ekonomi. Kapitalisme-sekular secara arogan terus-menerus memaksa mereka untuk berpartisipasi penuh dalam roda ekonomi.

Tak jarang perempuan harus menjadi tumbal bagi mesin ekonomi kapitalistik demi tetap tegaknya peradaban sekular itu sendiri. Hingga mereka harus rela diperlakukan tak sesuai fitrah keperempuanannya semata-mata demi penghargaan beralas rupiah. Inilah ekses dari kebobrokan sudut pandang peradaban kufur kapitalisme. Astaghfirullah.

Namun sepertinya, wabah corona mau tidak mau telah membuat dunia kapitalisme Barat bertekuk lutut. Jargon-jargon ekonomi yang mereka usung melalui berbagai konferensi internasional justru kian nampak bobrok karena tak mampu berbuat apa-apa ketika corona melibasnya dan mengharuskan ekonomi dunia macet hingga berpotensi resesi dan pandemi kelaparan.

Firman Allah SWT :

وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَظِلَالُهُم بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ

“Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari.” (QS Ar-Ra'du [13] : 15).

Karena itu, merekonstruksi tegaknya sistem Khilafah adalah urusan paling mendesak bagi dunia Islam. Belasan abad Khilafah terbukti memuliakan kaum perempuan dengan menempatkan mereka sesuai fitrah dan tata aturan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Peran perempuan sebagai ummun wa robbatul bayt dan ummu al-ajyal difungsikan sebagaimana mestinya. Tanpa mereka harus pusing dengan masalah ekonomi dan kesulitan keuangan.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم