Oleh: Kunthi Mandasari
Wabah Corona tengah menjadi primadona. Bahkan karenanya lahir kebijakan yang di luar nalar. Salah satunya pembebasan napi dengan dalih menghemat anggaran. Termasuk di dalamnya napi koruptor yang sudah tua.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) telah mengeluarkan dan membebaskan 30.432 narapidana dan Anak melalui program asimilasi dan integrasi berkenaan dengan virus corona. Data tersebut dirilis per Sabtu (4/4) pukul 14.00 WIB (www.cnnindonesia.com).
Dengan adanya pembebasan ini para napi dapat menghemat anggaran negara untuk kebutuhan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) hingga Rp260 miliar, klaim Kemenkumham (www.tirto.id, 01/04/2020).
Wacana pemberian remisi atau pembebasan bersyarat bagi para napi koruptor di tengah pandemi Covid-19 menuai polemik. Sejumlah pihak menyesalkan sikap pemerintah yang terkesan mencari kesempatan untuk meringankan hukuman para koruptor melalui wacana revisi Peraturan Pemerintah ( PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Meski belakangan, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly yang memunculkan wacana tersebut untuk pertama kali, telah mengklarifikasi hal itu.
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donald Fariz menilai, Yasonna sengaja memanfaatkan wabah Covid-19 sebagai justifikasi untuk merevisi aturan tersebut.
"Wacana ini dimunculkan bisa kita sebut aji mumpung, bisa juga kita melihat sebagai peluang, sehingga ada akal-akalan untuk mengaitkan kasus corona yang terjadi saat ini dengan upaya untuk merevisi PP 99/2012 agar narapidana kasus korupsi bisa menjadi lebih cepat keluar dari selnya," kata Donald dalam konferensi pers, Kamis (2/4/2020) lalu (nasional.kompas.com, 05/04/2020).
Nada penolakan juga mengemuka dari Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenurrohman atau akrab disapa Zen menilai wacana yang dilontarkan Yasonna tidak tepat. Zen memaparkan beberapa alasannya.
Pertama, dibandingkan kasus kriminal lainnya, narapidana kasus korupsi jumlahnya tidak banyak. Kedua, kasus korupsi bukanlah kejahatan biasa. Korupsi adalah kasus kejahatan serius. Sehingga langkah Kemenkumham membebaskan narapidana kasus korupsi dinilai tak tepat (m.merdeka.com, 02/04/2020).
Maka semakin jelas ketidak seriusan pemerintahan ala kapitalisme dalam menangani kasus korupsi. Sebelumnya RUU KPK hasil revisi juga menuai kecaman karena 26 pasal yang dianggap melemahkan lembaga KPK. Karena mengurangi sejumlah kewenangan yang dahulu dimiliki KPK berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Bahkan RUU KPK membuat ratusan mahasiswa turun ke jalan untuk melakukan aksi protes hingga akhirnya menelan korban.
Tak hanya sampai disitu saja, revisi Undang-Undang Nomor 12/1995 tentang Pemasyarakatan atau revisi UU PAS juga menuai kontroversi. Sejumlah pasalnya dianggap meringankan dan melonggarkan sanksi bagi narapidana dalam menjalankan masa tahanan. Diantaranya, pasal 9 dan 10 revisi UU PAS yang memberi hak rekreasi dan cuti bersyarat kepada napi.
Bahkan, Revisi UU PAS ini juga meniadakan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 lalu mengembalikan pada pelaksanaan PP Nomor 32 Tahun 1999. Perubahan itu mempermudah syarat remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor dan pelaku kejahatan luar biasa lainnya. Napikor tak perlu lagi mendapat rekomendasi KPK dan mengajukan diri sebagai justice collaborator untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.
Selain itu, selama ini pun para narapidana korupsi mendapat perlakuan istimewa. Mereka tinggal di rutan yang memiliki fasilitas mewah. Tinggal pilih sesuai dengan kebutuhan. Asalkan ada uang semua bisa berjalan. Hal ini terjadi karena adanya petugas yang bisa dibeli dengan uang. Sebagaimana Kalapas Sukamiskin yang tertangkap atas kasus suap pemberian fasilitas dan izin keluar Lapas Sukamiskin yang dilakukan oleh Tubagus Chaeri Wardana, warga binaan Lapas Sukamiskin beberapa waktu lalu.
Selama ini proses penanganan kasus korupsi telah berjalan lama, tetapi faktanya korupsi justru kian menggurita. Penyelesaian kasus korupsi ala kapitalis sangat mustahil diharapkan. Karena hukum yang digunakan tidak mencerminkan keadilan dan tunduk kepada pemilik uang. Solusi tambal sulam ala kapitalis nyatanya justru melahirkan permasalahan baru. Itu artinya cara yang digunakan oleh sistem kapitalis telah terbukti gagal. Akibat pondasi yang rapuh.
Berbeda dengan Islam yang dibangun berdasarkan akidah Islam dan ketakwaan kepada Allah Swt. Dasar akidah dan ketakwaan kepada Allah inilah yang membentuk self kontrol. Menjadikan para pejabatnya tidak mudah disuap. Apapun yang bukan menjadi haknya akan segera diberikan kepada negara, meski tak ada seorang pun yang mengawasinya.
Islam juga memiliki penyelesaian yang kongkrit terkait korupsi. Dari segi pencegahan meliputi: Pertama, memberikan gaji yang memadai untuk kebutuhan primer, sekunder hingga tersier kepada para aparatnya. Kedua, menetapkan syarat adil dan takwa sebagai ketentuan pencalonan para aparat. Ketiga, menetapkan gaji sebelum dan sesudah menjabat untuk mengetahui apakah pejabat tersebut korupsi atau tidak. Apabila ada kelebihan akan diambil oleh negara.
Selain itu para aparat juga tidak diperbolehkan menjalankan bisnis untuk menghindari peluang korupsi.
Selain itu Islam akan menerapkan hukuman yang keras bagi para pelaku korupsi. Melalui publikasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. Tentunya hukuman ini tergantung kepada ijtihat hakim. Mengingat dalam pengertian syariah korupsi tidak termasuk mencuri. Sehingga tidak termasuk hudud, tetapi masuk wilayah ta'zir. Maka jika ingin babak kasus korupsi ini segera berakhir perlu ada pergantian sistem. Dari sistem kapitalis yang rusak menuju sistem Islam yang membawa berkah. Wallahu'alam bishshawabbishshawab.[]