Oleh: Ega Alfitriana
(Praktisi Kesehatan)
Masih ingatkah dengan kisah Kisah Perang Badar? Perang Badar adalah peristiwa yang paling terkenal dan sangat banyak terdapat hikmah dan pelajaran di dalamnya. Rasulullah memimpin langsung aksi penyerangan yang hanya melibatkan sekitar 313 orang muslim, 8 pedang, 6 baju perang, 70 ekor unta, dan 2 ekor kuda. Sedangkan kaum Quraisy memiliki 1.000 orang, 600 persenjataan lengkap, 700 unta, dan 300 kuda.
Sebuah peperangan melawan musuh yang dicontohkan Rasulullah dalam perang Badardl dengan prajurit yang telah siap dalam mental dan fisiknya melawan musuh. Komitmen dan kekompakan, satu intruksi dari pemimpin yaitu Rasulullah dan perlengkapan baju perang yang memadai adalah faktor-faktor yang menjadi kesuksesan dan kemenangan dalam perang badar walau jumlah lawan memang jauh lebih banyak. Namun, semangat jihad yang membara di bulan Ramadan membuat pasukan Islam berhasil menewaskan tiga pimpinan perang dari kaum Quraisy, yakni Utbah, Syaibah, dan Walid bin Utbah.
Layaknya sebuah peperangan dalam melawan musuh bersama, para medis nusantara saat ini juga sedang menghadapi peperangan melawan musuh kecil yang sangat lihai bereplikasi (memperbanyak diri) yang penyebarannya begitu besar dengan dampak yang sangat mematikan. Spesies virus yang hanya berukuran 150 nm, menyebabkan pilek dengan gejala utama seperti demam dan sakit tenggorokan akibat pembengkakan adenoid, diawal gejalanya terlihat sepele tapi seringkali dianggap remeh, perkembangbiakannya sangat cepat dan jika imunitas kita rendah virus ini akan semakin merajalela dan merusak. Bagaimana tidak, dalam jangka waktu lebih kurang satu bulan saja data menyebutkan pasien dengan positif covid 19
sudah mencapai angka 1285 kasus, 114 meninggal,64 sembuh, angka pandemi yang sangat mencengangkan.
Dengan baju perang lengkap APD Hazmat suit (jubah pelindung), masker medis N95, dan pelindung mata (googles), penutup kepala, pelindung wajah, covershoes, sepatu boots, apron plastik, lengkap dan terjamin keamanannya paramedis dengan semangat maju ke medan peperangan dengan sigap patuh pada satu komando menghadang musuh dan menyelamatkan ribuan nyawa yang terancam. Kira-kira seperti itulah mimpi setiap parmedis di Negeri ini yang pada kenyataannya hanya bermodalkan mantel plastik warna warni, masker seadanya, dan sarung tangan (handscoen). Keadaan memaksa mereka untuk tetap maju walau persiapan dan perlindungan diri terbatas. Terlebih mereka harus mengesampingkan beban psikis perasaan was-was tentang risiko tertular. Beresiko tinggi memang, tapi amanah yang berat mengalahkan rasa takut di hati mereka kelelahan dan kekhawatiran tak menyurutkan upaya mereka membantu proses penyembuhan pasien yang terpapar covid19.
Sungguh miris di belahan nusantara lain manusia-manusia congkak enggan berempati pada mereka. Kapitalis yang berorientasi pada materialistis jungkir balik memutar otak mencari strategi bagaimana tetap untung walau keadaan tak lagi kondusif.
Mereka malah sibuk menimbun APD menjual dengan harga yang tak masuk akal dan sangat serakah, individualis yang tertanam dalam pemikiran mereka membuat mereka hanya memetingkan diri sendiri tanpa peduli dengan orang sekitarnya. Membeli APD secara sembarangan tanpa memikirkan kebutuhan paramedis yang jauh lebih berisiko. Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2010, APD adalah alat untuk mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh. Penggunaan APD merupakan prosedur utama dalam kegiatan pelayanan kesehatan. Tujuannya, mengantisipasi risiko keselamatan dan kesehatan kerja para petugas, khususnya yang berupa bahaya biologi.
Keegoisan tanpa ilmu inilah yang mengakibatkan stok APD untuk paramedis semakin langka. lonjakan harga pun semakin tinggi. Berdasarkan pemodelan WHO, setiap bulannya, penanganan virus corona di dunia akan memerlukan 89 juta masker medis, 76 juta sarung tangan, dan 1,6 juta pelindung mata. Untuk mengoptimalkan ketersediaan APD, WHO merekomendasikan tiga strategi kepada pihak-pihak yang terlibat dalam penanganan pandemi corona. Pertama, meminimalkan penggunaan APD dengan berbagai prosedur.
Prosedur yang dimaksud seperti penggunaan pembatas dari gelas atau plastik di area yang pertama kali didatangi pasien. Kemudian, melarang petugas medis memasuki ruang pasien bila tidak terlibat dalam pelayanan langsung. Kedua, penggunaan APD sesuai risiko. Ketiga, mengkoordinasikan rantai pasok APD baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Yang terakhir ini mencakup penghitungan perkiraan kebutuhan APD, pengawasan atas permintaan dan distribusi APD, serta penerapan manajemen permintaan APD yang tersentralisasi.
Kemudian karna merebaknya kasus corona ini permintaan APD di negeri ini naik drastic dan produsen pun tak siap memenuhinya, impor APD pun jadi solusi untuk memenuhi kebutuhan APD paramedis. Impor akan dilakukan dari Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan. Lucunya bantuan APD dari negeri tiongkok ternyata bertuliskan “made in Indonesia”
Di belahan Nusantara yang lain, orang-orang berlomba-lomba melakukan donasi berupa makanan bagi petugas medis, masker, jubah hazmat yang disumbangkan oleh para penyandang disabilitas sampai desainer terkenal ikut mendonasikan APD, donasi desinfektan chamber, menghibahkan hotel untuk peristirahatan nakes dll.
Pemimpin. Kita seakan melupakan bahwa kita masih memiliki pemimpin yang memiliki amanah mengurusi urusan umat dan menjadi pelindung umat. Kurangnya edukasi dari pemimpin pusat, ketidak kompakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan polemik Alat Pelindung Diri bagi petugas medis dalam proses perawatan pasien yang terinfeksi covid19 semakin memperparah keadaan saat ini
Terlalu mempertimbangkan banyak hal sehingga terkesan lamban dalam membuat keputusan. Rakyatnya bergerak inisiatif sendiri menangulangi wabah. Padahal masalah wabah ini menjadi kewenangan pemerintah pusat yang tentu akan lebih mudah diatasi jika sistem patuh pada satu komando yang tegas dan terarah, sayangnya sistem itu tidak kita dapati di negeri ini.
Seharusnya Negara sebagai pemegang kebijakan hadir di garda terdepan. Pemerintah tidak hanya hadir sebagai komando, tapi juga menjadi eksekutor dalam menyediakan fasilitas umum dan kebutuhan pokok di tengan wabah virus covid19 ini, pajak yang diambil dari rakyat seharusnya dikembalikan dalam bentuk fasilitas dalam menjamin keberlangsungan hidup rakyat selama wabah covid ini melanda, bukannya malah membuat rekening khusus untuk mengumpulkan donasi dari rakyat untuk menopang kebutuhan rakyatnya.
Jelas terlihat apabila suatu negara menganut ideologi Kapitalisme. Negara yang lemah tidak akan mampu menjadi negara yang mandiri, selalu menggantunkan diri kepada negara-negara kapitalis yang dengan sangat mudah memberikan bantuan yang sebenarnya adalah jebakan bagi negara itu sendiri, selamanya hanya menjadi budak peradaban yang sampai kapanpun tidak akan bisa menyelesaikan masalah yang ada didalam negaranya.
Berbeda dengan negara Islam yang dicontohkan Rasulullah Saw, bajwa segala sumber harta dan pemasukan dipantau dan diatur dengan baik sesuai aturan syariat Islam.
Pemerintah dalam islam memiliki tanggung jawab mengurusi urusan umat termasuk memelihara urusan kesehatan mereka. Negara menjamin pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat secara gratis.
Dalam hal pencegahan dan penanggulangan seperti wabah covid19 ini pemerintah harus menjamin perawatan dan pengobatan bagi semua orang yang sakit. Menyediakan semua kebutuhan alat kesehatan yang memadai termasuk APD yang dibutuhkan oleh paramedis. Pemerintah juga wajib menjamin birokrasi, prookol dan prosedur yang diperlukan kemudian pemerintah juga harus menjamin dan mewujudkan suasana yang nyaman dan aman bagi paramedis sehingga mereka dapat menjalankan tugas perawatan dn pengobatan secara maksiamal dan sebaik mungkin. Juga menyediakan kebutuhan pangan dan kebutuhan pokok lainnya jika Negara menerapkan karantina wilayah guna mencegah penyebaran wabah.
Begitulah gambaran pemimpin yang berorientasi pada kemaslahatan umat dan bervisi misi meraih ridho Allah dalam menjalankan tugasnya. Telah nyata dipraktekkan di masa kepemimpinan khalifah ke dua, Umar bin Khattab Ra.
wallahua’lam.[]