Novianti
(Praktisi dan Pengamat Pendidikan)
Covid-19 telah berdampak pada banyak sektor termasuk pendidikan. Jumlah orang tua yang mengamanahkan anak-anak ke sekolah masih lebih banyak dibandingkan yang memilih Home Scholing. Di sekolah pasti ada interaksi banyak orang mulai dari para guru, orang tua, anak, pegawai dan lainnya. Karenanya kebijakan Home Learning (HL) untuk mendukung kebijakan Social Distancing adalah tepat di tengah situasi pendemi saat ini. Bahkan beberapa daerah sudah memperpanjang sambil melihat perkembangan.
Kebijakan mendadak namun harus dipatuhi demi keselamatan. Tak ayal setiap sekolah harus memutar otak bagaimana tehnis pelaksanaannya. HL membutuhkan perangkat teknologi seperti alat gadget. Namun penggunaannya tergantung dari kapasitas alat setiap guru, kuota, signal, materi, rencana pembelajaran.
Di hari pertama, orang tua dan guru masih bisa menjalani. Namun masa HL bukan 1-2 hari. Jika setiap guru memegang 20-30 anak, lalu pelaporan dalam bentuk video atau foto akan memakan kuota, belum lagi kendala sinyal.
Lama-lama orang tua juga bingung bagaimana memberikan materi yang bukan bidangnya atau ilmunya sudah berbeda dengan saat mereka dulu pelajari. Sementara tugas dari guru setiap hari. Orang tua stres, guru stres dan anak pun ikutan stres. Proses belajar yang sejatinya harus menggembirakan jadi seperti kejar setoran. Suasana tambah panik saat kuota habis. Padahal stres bisa menurunkan imun tubuh dan ini berbahaya dalam kondisi sekarang.
KPAI pun bersuara dan menyalahkan guru tidak paham makna HL yang disamakan dengan memberikan soal sehingga tugas menumpuk. Mestinya guru kreatif dan menciptakan pembelajaran yang menyenangkan. Diharapkan guru dan anak berinteraksi secara normal seperti pembelajaran hari-hari.
Pernyataan KPAI dan keluhan orang tua menjadikan guru tersangka penyebab stres setelah Covid-19. Padahal kebijakan HL pun mendadak dan tidak semua guru siap. Guru yang sudah melek teknologi, bisa memanfaatkan internet secara optimal. Tapi berapa persen guru yang sudah menguasai.
Ada sekitar 2.7 juta guru tersebar di seluruh Indonesia dan belum seluruhnya mendapatkan gaji yang layak. Termasuk guru honorer dimana pusat dan daerah masih suka saling lempar tangan siapa yang membiayai sebagaimana dilansir di CNN Indonesia (17/12/2019). Belum lagi bicara fasilitas tempat mengajar. Ada para guru yang harus mengajar dengan resiko nyawa karena mengajar di sekolah yang sudah tak layak atau akses menuju sekolah tak aman.
Fakta di lapangan menunjukkan alih-alih pembelajaran jarak jauh dengan metode daring, masalah terkait kesejahteraan guru saja belum terwujud. Otomatis bagi guru yang kembang kempis kesehariannya, libur KBM di sekolah sama artinya tidak ada pembelajaran. Apalagi bagi guru honorer yang gajinya suka telat turun. Buat makan sehari hari bagi keluarganya di masa Social Distancing, mereka bingung.
Maka pada posisi ini, guru tidak bisa disalahkan jika tidak bisa menjalankan perannya secara optimal. Lalu siapa yang bertanggung jawab?
Nasib Guru di Era Kapitalis
Melihat upaya Kementrian Kependidikan dalam memfasilitasi peningkatan kompetensi guru faktanya masih minim dan kurang tepat. Penilaian terhadap kinerja guru melalui ujian on line dan guru harus membaca modul dengan penjelasan kurang memadai. Kurikulum sering berubah ubah mengikuti pergantian mentri. Para guru sibuk dengan administrasi.
Bagi yang mau dan sudah sertifikasi, harus mengejar jam mengajar. Untuk meningkatkan kompetensi diri, para guru harus membeli buku dari kantong sendiri. Bahkan ada guru yang sudah sarjana dan lama mengabdi terpaksa harus kuliah lagi dengan biaya mandiri demi memenuhi syarat sertifikasi.
Guru di era sekuler kapitslisme saat ini ibarat gajah bertarung dengan gajah, pelanduk mati di tengah tengah. Negara dan orang tua menuntut guru dengan berbagai kewajiban tapi tanpa fasilitas dan dukungan yang memadai. Ditambah kenaikan berbagai kebutuhan hidup akibat pencabutan subsidi. Untuk sedikit melipur lara diciptakan lagu guru tanpa jasa dan pujian guru penentu masa depan bangsa. Tapi pelipur lara sesaat sementara kesejahteraan belum beranjak pada taraf yang layak.
Guru dituntut melahirkan generasi beriman dan berakhlak. Namun pelajaran dijauhkan dari agama. Tayangan-tayangan baik di televisi maupun internet jauh dari contoh ahlakul karimah. Bahkan para pejabatnya pun tidak menjadi teladan.
Meski negara belum selesai mengurus kesejahteraan para guru, ujian nasional sudah dilakukan lewat on line. Dengan dalih persiapan memasuki era digital. Padahal ujung ujungnya merepotkan sekolah dan orang tua serta terkesan dipaksakan.
Pelaksanaan HL di masa Social Distancing ini menunjukkan bahwa negara belum siap melaksanakan pembelajaran on line. Pmbelajaran on line tidak sebatas membutuhkan alat gadget tapi harus didukung kompetensi para guru, keberdayaan orang tua, fasilitas, kesejahteraan guru dan orang tua.
Di dalam UUD 1945 dijelakan bahwa pendidikan dan kesejahteraan menjadi tanggung jawab negara. Tapi saat ini, negara mengabaikan amanah tersebut. Tatkala para guru honorer berkumpul di istana menanyakan nasib mereka, pemimpin negeri bahkan tak ada satu pejabatpun yang menemui. Guru mengemban amanah berat dan negara tak peduli.
Peran Negara dalam Pendidikan Islam
Pendidikan mendapatkan perhatian yang serius dalam Islam karena memegang peranan penting bagi kelangsungan kehidupan islam.
Untuk itu tujuan dan dasar pendidikan sudah ditetapkan dan tidak berubah dalam setiap masa. Dasar pendidikan adalah aqidah Islam yang bertujuan membentuk pola pikir dan jiwa yang islami. Sehingga kurikulum dan materi harus berlandaskan aqidah islam.
Materi yang diajarkan terbagi atas ilmu terapan dan tsaqofah. Ilmu terapan diberikan sesuai kebutuhan sedangkan tsaqofah diberikan pada setiap jenjang. Sehingga baik guru maupun anak tidak terbebani oleh tumpukan muatan pelajaran. Kandungan materi tidak boleh menyimpang dari aqidah islam.
Seorang guru boleh mengembangkan sarana dan tehnik untuk mengoptimalkan proses pembelajaran. Negara berkewajiban menyediakan fasilitas yang menunjang dan meningkatkan kompetensi guru
Kesejahteraan guru adalah kewajiban negara. Pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, guru mendapatkan penghargaan yang tinggi dari negara termasuk pemberian gaji yang melampaui kebutuhannya. Di riwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqoh ad-Dimasyqi, dar al- Wadl-iah bin Atha, bahwa Khalifah Umar bin Khattab memberi gaji lima belas dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63,75 gram emas; bila saat ini 1 gram emas Rp. 900.000, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar Rp. 57.375.000 ).
Negara juga menyediakan perpustakaan sehingga para guru, ulama, pakar bisa menggali ilmu pengetahuan yang akan diberikan pada anak didiknya.
Negara juga melindungi rakyatnya dari informasi yang tak berfaedah serta menyimpang. Majalah, surat kabar, televisi, media sosial, harus bersinergi dengan tujuan pendidikan. Informasi asing difilter agar tidak ada peluang pemikiran yang bisa merusak aqidah umat.
Para guru dan orang tua akan merasa tenang karena saat mendidik anak anak baik di rumah dan sekolah, pikiran dan jiwa anak terjaga dari segala hal yang bisa meruntuhkan apa yang sudah mereka bangun..
Perangkat teknologi adalah bagian dari uslub (cara) yang bisa menjadi altenatif tehnis pembelajaran. Fasilitasnya disediakan oleh negara.
Tergambarkan oleh kita peranan negara dalam sistem islam. Jika ada pemberlakuan masa HL, guru dan orang tua mengoptimalisasi diri memberikan layanan pendidikan bagi anak karena kesejahteraan, sarana, fasilitas ada dalam tanggungan negara.
Ini sangat berbeda dengan situasi sekarang. Para guru dan orang tua sama sama berada dalam tekanan. Di tengah kesulitan ekonomi, keterbatasan fasilitas, ancaman kesehatan, kurikulum yang tidak jelas arahnya, maka anak anak menjadi korban.
Meningkatkan kualitas pendidikan tidak bisa ditawar. Namun jika tidak ada pembenahan secara menyeluruh pada semua aspek dan tidak didasarkan pada aturan yang diridloi Allah, permasalahan tidak akan pernah selesai. Lantas mau kemana negeri ini dibawa?[]