Oleh : Saptaningtyas
Rencana Menteri Hukum Dan HAM (Menkumham) Yassona Laoly, yang akan membebaskan para napi koruptor dengan dalih untuk mencegah penularan Covid-19 di lapas, telah menuai polemik. Bagaimana tidak, rencana Menkumham yang akan dilakukan dengan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Permasyarakatan itu dinilai janggal.
Situasi lapas dan rutan yang secara umum kelebihan kapasitas menjadi pertimbangan utama Menkumham mengusulkan rencana ini. Menurutnya, seandainya satu orang saja terpapar COVID-19, itu akan sangat membahayakan seluruh penghuni lapas dan rutan, termasuk aparat.
Alasan tersebut menuai kritik tajam dari Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur. Ia menilai hal ini adalah akal-akalan Yassona. Menurutnya, Menkumham tengah memanfaatkan situasi krisis. Alasan kelebihan kapasitas tidak berlaku bagi napi kasus korupsi. Sel mereka berbeda dengan napi lain, tidak berdesak-desakan, bahkan relatif eksklusif. (tirto.id,2/4/20).
Senada dengan itu, penolakan juga disampaikan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari. Menurutnya, Menkumham mencuri kesempatan di tengah pandemi virus corona (Covid-19) untuk membebaskan napi koruptor. Ia mengatakan jumlah narapidana korupsi tidak banyak. Sehingga tidak tepat jika membebaskan para koruptor dengan alasan lembaga pemasyarakatan (lapas) kelebihan kapasitas.
Namun demikian, Menkumham telah menepis sejumlah kritikan tersebut. Pembebasan narapidana dari lembaga pemasyarakatan (lapas) yang kelebihan penghuni adalah untuk kemanusiaan. Bahkan menurut Menkumham, hanya orang yang sudah tumpul rasa kemanusiaannya dan tidak menghayati Sila Ke-2 Pancasila yang tidak menerima pembebasan napi di lapas overkapasitas.
Usulan ini dinilai telah sesuai dengan anjuran Komisi Tinggi PBB untuk HAM, dan Sub-Komite PBB Anti-Penyiksaan. Dan bahwa kebijakan serupa juga sudah diambil Iran dengan membebaskan 95 ribu napi, 10 ribu diantaranya diampuni, juga Brasil yang membebaskan 34 ribu napi.
Di samping itu, tidak semua napi koruptor bisa dibebaskan, ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Syarat-syarat itu antara lain, untuk napi kasus narkotika yang masa tahanan 5-10 tahun, yang sudah menjalani 2/3 masa tahanan. Sedangkan napi kasus korupsi, adalah yang berumur di atas 60 tahun dan sudah menjalani 2/3 masa tahanan karena pertimbangan kemanusiaan usia di atas 60 tahun. (detik.com, 05/04/20).
Meskipun baru sebatas wacana yang belum tentu mendapat persetujuan presiden, namun rencana ini patut disayangkan. Betapa tidak, telah menjadi pemahaman bersama korupsi saat ini masih menjadi musuh besar negara. Kerugian negara yang harus ditanggung rakyat karena perampokan uang negara oleh para koruptor jumlahnya kian fantastis. Kasus-kasus megakorupsi juga masih belum teratasi.
Bagaimanapun, tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Dampak yang ditimbulkan bisa jadi tidak kalah ganas dari corona. Korupsi menjadi penyakit kronis yang sudah lama menjangkit negeri ini. Oleh karenanya, tindak tegas dan sanksi yang keras bagi para koruptor agar bisa memberi efek jera sangat dinantikan publik.
Berulang kali wacana hukuman mati bagi pelaku korupsi digaungkan. Baru-baru ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengingatkan bahwa menyelewengkan anggaran pengadaan barang dan jasa penanganan Covid-19 dapat diancam dengan hukuman mati. (liputan6.com,01/04/2020).
Sayangnya, rencana pembebasan napi koruptor tersebut justru menampilkan sebaliknya. Sanksi tegas koruptor seolah menjadi sekadar retorika. Tak salah jika dikatakan bahwa cenderung terjadi kemunduran kinerja pemerintah dalam membangun bangsa yang bebas dari korupsi. Belum hilang kekecewaan rakyat menyaksikan ringannya hukuman bagi koruptor, dugaan tebang pilih penegakan hukum, kian lemahnya KPK dengan UU yang baru, juga adanya grasi yang telah diberikan pada pelaku korupsi.
Bila usulan pembebasan napi pelaku korupsi ini benar terjadi, maka akan menjadi bukti bahwa pemberantasan korupsi hanya akan menjadi basa basi. Jargon anti korupsi - lawan korupsi , sekadar pemanis bibir semata. Semangat anti korupsi kembali tercederai. Korupsi akan terus terjadi tanpa eliminasi. Bagai lingkaran setan, korupsi bisa terjadi di semua lini.
Inilah realita ketika negara menganut sistem demokrasi. Bukan rahasia bahwa ongkos politik pada sistem demokrasi begitu tinggi. Harus keluar modal besar untuk bisa menduduki kursi penyelenggara negara. Modal yang tak sedikit inilah yang mendorong oknum-oknum pejabat nakal untuk berlaku korup demi mengembalikan modal. Bahkan jika bisa, tidak disia-siakan untuk mencari laba. Alhasil, mengurus negara dengan standar untung rugi, berselingkuh dengan korporasi berkedok investasi.
Dalam satu kesempatan wawancara dengan detikcom, Enny Sri Hartati, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), pernah menyatakan bahwa karena kasus ini terus berulang, berarti kelemahan ada pada sistem. (5/10/2019) Menjamurnya korupsi karena sistem demokrasi ini wajar bila berimbas pada padatnya penghuni lapas bahkan bisa kelebihan kapasitas.
Ditambah lagi, sistem sanksi berupa kurungan penjara ternyata tidak mampu memberi efek jera. Pemberatan sanksi dengan memperlama masa kurungan akan menjadi dilema ketika jumlah pelaku tindak pidana meningkat. Wajar bila sel tahanan menjadi kelebihan kapasitas.
Walaupun napi koruptor dikabarkan tidak sampai berdesakan sebagaimana napi lain, namun demikian akan berkonsekuensi bagi negara untuk membangun lapas baru guna menampung napi yang baru. Dalam sistem kapitalis yang memperhitungkan keuntungan, kondisi ini dapat dipandang kurang menguntungkan.
Di samping itu, sekularisme yang dijadikan sebagai landasan perbuatan dalam sistem kehidupan demokrasi mendorong manusia bebas berbuat apa saja dan dengan cara apapun. Agama yang dipisahkan dari kehidupan membuat masyarakat mengesampingkan halal/haram, baik/buruk, juga terpuji/tercela ketika berbuat memenuhi hajat kehidupannya.
Hal ini tentu saja berdampak pada tingginya tingkat kriminalitas dalam sistem demokrasi, yang pada gilirannya berimbas pada lapas mengalami kelebihan kapasitas.
Ketika mengatasi ancaman pandemi corona bagi narapidana, dengan sikap membebaskan lebih dari 30.000 napi termasuk di dalamnya koruptor, maka hal ini menunjukkan bobroknya sistem demokrasi. Anti korupsi yang digaungkan menjadi hipokrit. Alih-alih menghukum tinggi koruptor di tengan wabah, yang terjadi justru sebaliknya. Wabah dijadikan momen bagi para elit kapitalis, sebagai celah mendapat keuntungan dan kepentingan tanpa peduli akan merugikan rakyat dan negara. Sebab watak demokrasi kapitalis menghalalkan segala cara demi meraih kepentingan.
Sungguh jauh berbeda kondisinya dengan sistem kehidupan yang bersandar pada akidah Islam. Syariat Islam menuntun manusia untuk bersandar pada perintah dan larangan Allah dalam menjalankan kehidupan, baik pada tataran individu, masyarakat maupun negara. Dalam hal ini, negara paling besar perannya dalam menerapkan sistem kehidupan yang bersandar pada aturan Allah tersebut.
Negara yang menjadikan Islam sebagai ideologi akan menerapkan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Negara akan mengurus urusan rakyat, memenuhi hajat kehidupan rakyat dan mengedukasi rakyat dengan syariat. Hal ini akan menjadi langkah prefentif, meminimalisir terjadinya kriminalitas termasuk di dalamnya korupsi.
Sistem ekonomi Islam yang diterapkan negara akan menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat, sehingga mampu mengeliminir kriminalitas yang dipicu oleh tuntutan pemenuhan hajat hidup. Edukasi yang dilakukan negara pada rakyat akan membentuk tingkat ketaqwaan yang tinggi pada individu rakyat. Individu yang bertaqwa akan senantiasa menjaga dirinya dari perbuatan yang diharamkan syariat, seperti mencuri, berdusta, menyuap, korupsi, dan tindakan maksiat lainnya.
Penerapan syariat oleh negara ini akan membentuk suasana keimanan dan kedamaian di tengah masyarakat. Akan tumbuh rasa kebersamaan, saling nasihat-menasihati, melindungi, dan saling menjaga atas landasan ketaqwaan. Langkah prefentif ini tentu saja akan meminimalisir tindak kejahatan dan secara otomatis meniadakan kemungkinan lapas kelebihan kapasitas.
Selain itu, sistem Islam mempunyai langkah kuratif yang sangat efektif. Sistem sanksi yang diterapkan negara yang berlandaskan syariat Islam mampu menimbulkan efek jera, selain sebagai penebus dosa bagi pelaku. Hukum qisos bagi tindak kejahatan, juga hukum potong tangan bagi pencuri,misalnya. Sanksi ini terbukti sangat efektif dibandingkan hukuman kurungan penjara. Potong tangan akan menjadi penebus dosa bagi si pencuri dan membuatnya jera, sehingga tidak lagi mengulangi perbuatannya. Juga akan menimbulkan rasa takut bagi yang lain, sehingga tidak melakukan hal serupa. Dengan demikian negara tidak akan mengalami kelebihan kapasitas lapas.
Lantas, bagaimana cara Islam menangani masalah korupsi? Dikutip dari Mediaumatnews.com (26/06/2019), Syariah Islam mengatasinya dengan langkah kuratif dan tindakan represif yang tegas, yakni memberikan hukuman yang tegas dan setimpal. Hukuman untuk koruptor masuk kategori ta’zir, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim.
Bentuknya mulai dari yang paling ringan, seperti nasehat atau teguran, sampai yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan. (Abdurrahman Al Maliki,Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).
Negara Islam juga melakukan prefentif, menutup celah terjadinya korupsi dengan edukasi, peningkatan ketaqwaan kepada Allah dan seleksi yang ketat terhadap calon pejabat. Di samping itu, sistem politik dalam Islam tidaklah berbiaya tinggi. Pemilihan pemangku kekuasaan tidaklah serumit sistem demokrasi sehingga tidak terjadi politik transaksi yang menjadi pemicu tindak korupsi.
Sungguh mulia jika semua pilar negara, baik individu, masyarakat maupun pemangku kekuasaan negara berpijak pada landasan yang satu, yakni Taqwallah (ketundukan pada aturan Allah). Sehingga ketika musibah melanda, semua pilar tersebut akan bersinergi menghadapi wabah dengan saling menguatkan dan berbenah, introspeksi untuk kembali kepada aturan Allah. Bukan sebaliknya, memanfaatkan situasi sulit untuk meraih kepentingan sendiri sebagaimana era kapitalis saat ini.[]