Napi Bebas di Tengah Wabah



Oleh: Mumtazah Az-zahrah

Sebuah langkah yang diambil oleh Yasonna Laoli, menteri hukum dan HAM terkait pembebasan napi dinilai memanfaatkan situasi. Ditengah bencana wabah corona, ia berdalih untuk mengurangi infeksi yang lebih luas terhadap para tahanan. Tidak tanggung-tanggung, sebanyak 30 sampai 35 ribu napi rencananya akan dibebaskan dengan beberapa persyaratan, termasuk napi korupsi.

Namun upaya tersebut masih terhambat dengan adanya PP No. 9 Tahun 2002 yang mengatur syarat dan tatacara pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Oleh karena itu, pihaknya masih berusaha agar presiden menerima revisi PP tersebut.

Jelas persoalan ini sangat disayangkan, bak jauh panggang dari api. Hukuman di Indonesia sendiri yang masih belum memberikan efek jera harus menghadapi realita tumpulnya hukum. Para koruptor yang telah diberi hak istimewa dengan membedakan sel tahananya dari napi yang lain menguak bahwa hukum ini menganak emaskan para koruptor. Meskipun salah satu syarat membebaskan napi korupsi yang berumur lebih dari 65 tahun, namun Setnov juga terjaring rencana pembebasan.
Sedangkan dari narapidana yang sudah dibebaskan hukum kurungannya semasa wabah, sejumlah dari mereka terciduk lagi karena berbuat kejahatan ulang. Terlebih situasi isolasi yang berdampak pada perekonomian, membuat tindak kriminal semakin meningkat. Masyarakat semakin khawatir terhadap jaminan keamanan. Ditambah dengan tingkat stress bagi beberapa keluarga yang harus memantau pembelajaran daring anak-anaknya. Maka situasi negeri saat ini bisa dikatakan runyam bagi sebagian kalangan.

Kebijakan semasa wabah ini seperti arena pertunjukan yang terungkap di belakang layar. Pihak yang memiliki kepentingan semakin kentara dilihat dari bagaimana responya terhadap persoalan wabah ini.
Penyelesaian maslah jauh dari pokok persoalanya sendiri. Betapa keadilan yang tersirat dan sering-sering disebut dalam landasan negara nyatanya belum tegak. Masih ada lobi-lobi jual beli hukum bagi golongan penjahat borjuis.

Setidaknya ada dua koreksi besar peradilan di Indonesia. Yang pertama, proses hukum berjalan sangat cepat bagi penjahat rendahan atau pihak oposisi. Namun kebalikannya, sangat rumit dan panjang untuk menjerat seorang koruptor terlebih yang sudah kelas kakap seperti kasus Harun Masiku yang entah bagaimana sekarang. Kedua, hukuman yang dijatuhkan tidak memberikan dampak jera bagi pelaku, terbukti masih terjadi tindak kejahatan lagi untuk sebuah kasus yang sama. Hal ini menggambarkan bahwa sebuah hukuman tidak lantas membuat orang lain enggan melakukan pelanggaran lagi.

Bagaimana islam merespon situasi tersebut, tentu apa yang telah diatur dalam islam bukan hanya untuk meraih keuntungan bagi sebagian golongan. Karena peraturan yang telah ditetapkan datang dari Dzat yang maha mengetahui, pastilah seluruh pengaturan yang terpancar akan menghadirkan keadilan universal. Pertama dari segi sanksi hukum, islam telah menempatkan kadar hukuman bagi setiap tindak kejahatan, setara dengan perbuatannya.

“Dan dalam qishas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa” (TQS. Al-Baqarah:179)
Bentuk hukuman itu terjelaskan dalam sutah Al-Maidah ayat 45 yang artinya
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dibalas dengan mata, hidung dengan hidung, telingan dengan telinga, gigi dengan gigidan luka-luka (pun) ada qishasnya”
Jika terdapat perkara yang yang belum dijelaskan dalam syariat, maka hakim akan memutuskan ta’zir atau denda maupun hukuman lain berdasarkan hasil ijtihadnya.

Ketegasan islam tersebut, tidak lain adalah bentuk hukuman setimpal bagi pelaku untuk menghapus dosanya di dunia. Di sisi lainpun memberikan pelajaran bagi semua orang, yang akan berfikir ribuan kali sebelum melakukan tindak kriminal. Sehingga tak seperti yang nampak saat ini, dimana jumlah total tahanan adalah 248.630/seluruh warga Indonesia (Kompas.com). Angka yang fantastis sehingga membuat lapas-lapas mengeluh karena sudah terlalu penuh untuk menampung napi yang ada.

Tercatat dalam masa Kekhilafan Turki, tak lebih dari 200 hukuman dijatuhkan selama masa kekuasaan 5 abad lebih. Inilah bukti efektifitas syariat islam. Penyelesaianya tuntas sampai pada akar masalah, bukan dengan penyelesaian yang menimbulkan maslah lain, sebagaimana kita lihat hari ini. _Allahu Yuwaffiq_

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم