Antara Corona dan Penguasa



Oleh: Salma Banin
(Pengamat Sosial dan Politik )

Ramadhan segera menjelang. Berbagai iklan produk khas sudah berkeliaran di layar kaca televisi maupun media online. Seluruh rakyat Indonesia sudah pasti merasakan perbedaan suasana menuju Ramadhan. Meski tahun ini harus dijalani berbeda, ya, dunia terutama Indonesia masih ditimpa wabah yang belum terlihat tanda-tanda akan selesai dalam waktu dekat. Bahkan para ahli berpendapat, puncaknya akan terjadi pada bulan suci sampai hari kemenangan tiba. Kita tentu sepakat ini adalah musibah, indikasinya sangat jelas bahwa kita diminta untuk bertaubat oleh Sang Maha Kuasa, timing-nya sungguh sangat tepat bukan? Masya Allah.

Bersamaan dengan itu, kita melihat banyak sekali adaptasi terkait aktivitas di rumah yang harus dilakukan oleh masyarakat. Dimulai dari bekerja dari rumah, belajar dirumah, juga meminimalisir kegiatan di luar rumah semaksimal mungkin. Awalnya terasa sangat berat namun seiring berjalannya waktu dimana korban CoVid-19 juga semakin banyak berjatuhan membuat masyarakat lebih sadar, bahwa menghindari pandemi jauh lebih baik dibanding memenuhi keinginan pribadi.

Ramadhan sebentar lagi, namun kekhusyukannya seperti akan sulit dicari. Dibalik kenikmatan beribadah yang membuat merindu ada kekhawatiran mendalam yang membelenggu. Para pekerja sudah banyak merasakan dampak pemutusan kontrak dengan perusahaannya. Kehilangan sumber penghasilan bukan karena kesalahan atau kemalasannya, namun keterpaksaan yang tidak bisa ditawar-tawar. Para ibu juga demikian, bertambah beban dirumah sebab anak-anak mulai bosan semenjak dibatasinya interaksi dengan kawan sepermainan. Para napi pun tak kalah kebingungan setelah diterapkan program asimilasi besutan Menteri Yasonna Laoly, tak banyak perubahan dalam kehidupannya sehari-hari. Secara psikologis, mereka kurang mendapat empati dari lingkungan sebab kejahatan yang mereka lakukan di masa lampau namun dimasa hadapan pun tak terbayang akan bagaimana mengingat tak ada jaminan pekerjaan yang bisa dijadikan sandaran demi menyambung hidup.

Masalah datang silih berganti, bertambah kompleks meski solusi tak pernah luput diberi. Dalam kondisi seperti ini, siapa harus ambil rugi?
Tidak lain dan tidak bukan, pastinya adalah negara. Negara yang punya wewenang penuh mengkondisikan seluruh perangkat pemerintahan demi berlangsungnya kehidupan. Negara yang bertanggungjawab seluruhnya untuk memastikan bahwa rakyatnya mampu bertahan hidup meski dengan pemenuhan kebutuhan seadanya.

Namun apa yang terjadi dengan negeri ini? Abai, lalai dengan sikap menyepelekanlah yang dipertontonkan. Kita masih ingat, betapa para petinggi dan pejabat sesumbar dengan kelakar sejak kasus pertama pecah di wilayah asalnya, China. Kita kebal karna sering konsumsi nasi kucing, minum jamu, wilayah khatulistiwa ini suhu dan kelembabannya tidak cocok bagi tumbuhnya virus tersebut diantara pernyataan yang terdengar. Belum lagi keluhan yang disampaikan oleh rakyat tentang harga masker yang menjulang ditanggapi dengan tidak mengenakkan oleh Pak Menteri. "Suruh siapa beli", serunya dihadapan media. Banyak lagi kebijakan absurd yang membuat kita geleng-geleng kepala. Ekspor APD, ekspor masker, ekspor bahan makanan pokok juga turut mengisi kekacauan urus negara oleh pemimpin yang lebih mementingkan angka-angka ekonomi dibanding keselamatan rakyat yang memilihnya.

Siapa sangka, ketika pun disindir terkait aksinya, mereka berdalih lewat paradigma khas ideologi kapitalisme yang bertentangan dengan fitrah manusia (baca: kitab Nidzham Al Islam karya Syekh Taqiyuddin An Nabhani, Bab. Qiyadah Fikriyah fil Islam). Bahwa yang mereka lakukan sudah benar sembari menampilkan data korban meninggal jauh dibawah jumlah penduduk Indonesia yang 270 jutaan. Keterlaluan! Ini jelas adalah perendahan terkait nilai kehidupan dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Kemana aplikasi Pancasila yang selalu mereka banggakan sebab pengakuan diri sebagai pihak yang Pancasilais?

Kita diingatkan oleh sabda Nabi Muhammad saw. bahwa “Akan tiba pada manusia tahun-tahun penuh kebohongan. Saat itu, orang bohong dianggap jujur. Orang jujur dianggap bohong. Pengkhianat dianggap amanah. Orang amanah dianggap pengkhianat. Ketika itu, orang “Ruwaibidhah” berbicara. Ada yang bertanya, “Siapa Ruwaibidhah itu?” Nabi menjawab, “Orang bodoh yang mengurusi urusan orang umum.” (HR. Hakim)
Benarkah ini masanya?[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم