Teman Tapi Menikah, Relationship ala Liberal


Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Muslimah Penulis Sidoarjo


Setelah sukses dengan sekuel pertama, film teman tapi menikah tayang untuk sekuel kedua. Antusias masyarakat terutama anak muda masih cukup besar, sama seperti sekuel pertama.


Berlatar belakang cerita nyata dari Ayudia Bing Slamet dan Ditto Percussion yang berteman selama 12 tahun kemudian menikah. Seakan membawa romansa anak-anak muda bergemuruh. Gharizah nau' tergelitik, khas anak muda. Baper. Alay. Dan tak paham norma, apalagi agama.

Rasa yang sama masih dihadirkan di sekuel kedua kali ini. Meskipun Mawar De Jongh menggantikan Vanesha Presscilla untuk memerankan Ayudia Bing Slamet , namun banyak yang berpendapat tak ada perubahan. Berpasangan dengan Adipati Dolken menuntaskan cerita pasangan muda yang sudah dikaruniai seorang putra. ( Wartakota.com, 12/2/2020).


Di sekuel kedua ini diceritakan belum puas menikmati momen sebagai pasangan baru, Ayu tiba-tiba hamil. Kepribadiannya berubah total. Dari yang tadinya semangat menemani Ditto ke mana-mana, ia jadi mager dan parahnya, super sensitif! Ditto pun harus menahan diri dan pura-pura tidak cemburu dengan perhatian yang Ayu berikan ke si janin. Pertengkaran yang sering terjadi membuat Ayu dan Ditto harus memilih mana yang mau dipertahankan; pernikahan mereka atau si bayi?


Filmnya sudah dirilis 27 Februari 2020 lalu. Dan Sutradara Rako Prijanto, kembali mengalirkan cerita sebagaimana kejadian sebenarnya. Dengan intrik-intrik yang kian menggemaskan. Mengemas sesuatu yang sebetulnya tak ada tuntunannya dalam agama menjadi tontotan favorit. Tentu pertimbangannya bukan rusaknya moral anak bangsa namun aliran keuntungan yang luar biasa. Genre ini tak pernah turun rangking dari peminat. Sebab selalu mengaduk-aduk gharizah nau' ( naluri berkasih sayang).

Cerita teman tapi menikah bisa jadi di dunia nyata banyak terjadi. Semakin kesini semakin ditolirer pertemanan antara laki-laki dan perempuan. Tanpa batas yang pasti, mereka berkholwat dan bahkan bercampur baur. Di jalan-jalanpun kini sudah jadi pemandangan umum, laki-laki dan perempuan berboncengan dengan masih berbalut seragam sekolah.

Sebaliknya ekses pergaulan bebas makin tak mendapatkan tempat untuk diberitakan. Sebab dianggap sebagai hal yang lumrah, jika kemudian hamil pilihannya diaborsi atau dinikahkan. Tak lagi paham bahwa sejak saat itu rusaklah nasab manusia. Rusak pula hukum wali dan waris. Rusak pula institusi keluarga sebagai bagian terkecil masyarakat, sebab kadang tak harus menikah jika ingin kebahagiaan.


Inilah yang sekaligus menjadi penjelasan mengapa film bergenre remaja, romansa pertemanan dengan bumbu virus merah jambu laris manis diserbu penonton yang kebanyakan remaja ABG. Nilai liberalis telah lengkap meracuni generasi muda. Agama berhenti di ranah pribadi setiap individu yang memang ingin " berhubungan " dengan TuhanNya.

Orangtua kehilangan kendali, sebab tak jarang mereka tak paham teknologi sehingga tak bisa memantau perjalanan sosial media anak-anaknya. Ditambah dengan kurikulum bertajuk " ramah anak" yang makin mengedepankan karakter kebebasan tanpa halangan agama ( baca: Islam).

Anak-anak yang secara fisik sudah berubah menjadi manusia dewasa muda tak mendapatkan suasana yang kondusif tentang usianya. Hanya dijejali dengan ilmu pengetahuan namun miskin visi misi hidup yang berkualitas. Hukum pun menganggap mereka di bawah umur sehingga tak mendapat sanksi yang sepadan dengan perbuatannya.

Generasi muda hari ini dipaksa memiliki standar hidup ala kapitalisme liberalisme. Tak salah berteman dengan lawan jenis jika itu menambah semangat dan tahu batas. Definisi inilah yang akhirnya justru mendorong generasi hari ini begitu rapuh ketika menyelesaikan persoalan hidupnya. Gampang marah, main hakim sendiri, hilang hormat kepada yang lebih tua, sadis, sakit mental hingga berani bunuh diri.

Standar kebahagiaan hari ini adalah sebanyak mungkin menerima kebahagiaan berupa materi atau fisik. Padahal jika Muslim agama mereka mengajarkan lebih dari itu, bahagia adalah bagaimana mereka mampu taat, tunduk , patuh dan terikat dengan syariat Allah. Sebab kehidupan tak berhenti hanya di dunia, akan ada keabadian kelak di akhirat.

Negara pun semestinya hadir menjamin visi misi anak-anak muda generasi penerus bangsa ini bukan sebatas menjadi bintang tik tok, gamer online, selebgram atau peselancar media sosial. Namun benar-benar menjadi perisai umat yang mampu menghentikan peredaran segala sesuatu yang bisa merusak.

Jika syariat menjadi landasan pengaturan interaksi manusia, maka tontonan yang menggambarkan keharaman bahkan kemaksiatan tak akan dikapitalisasi untuk menghasilkan pendapatan. Namun ada kewajiban untuk saling mengingatkan sebab sebenarnya tujuan penciptaan dari kita masing-masing adalah sama, yaitu untuk menjadi hamba Allah. Wallahu alam Bish Showab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم