Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Muslimah Penulis Sidoarjo
Meskipun hari ini dikata orang adalah era milenial, namun ternyata perempuan mengecap pendidikan tinggi masih terbilang langka. Di beberapa wilayah dunia ada banyak kendala yang berakibat perempuan belum bisa mengakses pendidikan sebebas pria, misal karena negaranya sedang konflik atau perang.
Cerita tentang perempuan pejuang pendidikan pun bermunculan. Semua bermuara pada satu fakta, yaitu pendidikan masih menjadi sesuatu yang tak mudah begitu saja diakses perempuan. Di Indonesia, alasan ekonomi dan patriarki seolah menjadi hal yang tidak dapat dielakkan oleh kaum perempuan. Padahal, menurut psikolog Pendidikan Reky Martha, pendidikan dapat menjadi peluang perempuan menyejahterakan hidupnya.
Sanita, belia asal Jawa Tengah yang pada Mei 2017 lalu menjadi wakil Indonesia dalam ajang Asian Development Bank’s 5th Annual Asian Youth Forum, bercerita kepada Huffingtonpost tentang pengalamannya dulu hampir dinikahkan dini. Pada usia 13, atas dasar kesulitan finansial, Sanita sempat ingin dinikahkan orangtuanya.
Ia menolak. “Jika Bapak dan Ibu menghentikan pernikahan ini dan membiarkan saya melanjutkan pendidikan, saya akan membayar seluruh biaya yang Bapak dan Ibu habiskan buat saya. Jika Bapak dan Ibu memaksa saya menikah, maka saya tidak akan punya apa-apa lagi,” ujarnya.
Dengan macam-macam prestasinya kini, Sanita bisa menunjukkan kepada kedua orangtuanya bahwa itu semua didapatkan sebagai hasil dari pendidikan yang begitu diperjuangkannya. Berbagai kepelikan yang dialami perempuan saat berupaya mengecap pendidikan pun mengakibatkan lebih kecilnya angka perempuan yang meraih gelar doktor atau menjadi periset dibanding laki-laki.
Survei Pusat Data dan Statistik Pendidikan (PDSP) Kemendikbud tahun 2013 menunjukkan, persentase perempuan pengajar perguruan tinggi sebesar 40,58%, sementara pengajar perguruan tinggi laki-laki sebesar 59,42%. Kemendikbud memandang, adanya persepsi bahwa perempuan hanya bertanggung jawab dalam urusan domestik membuat mereka kurang termotivasi untuk mengambil gelar S2 atau S3 sebagai syarat pengajar perguruan tinggi.
Kecenderungan lebih sedikitnya perempuan peneliti atau doktor tidak hanya ditemukan di Indonesia. Di negara maju macam Amerika Serikat pun, jumlah perempuan penerima gelar doktor masih lebih rendah dibanding laki-laki. Survei National Science Foundation pada rentang 2010-2014 menunjukkan, terdapat 72.446 perempuan dan 104.425 laki-laki peraih gelar doktor (tirto.id, 18/3/2020).
Entitas PBB untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women) dan Plan International merilis laporan jelang sesi ke-64 Komisi Status Perempuan dengan memaparkan bahwa jumlah anak perempuan yang putus sekolah turun 79 juta orang dalam dua dekade terakhir, dan dalam satu dekade terakhir anak perempuan memiliki kemungkinan lebih besar untuk melanjutkan ke sekolah menengah dibanding anak laki-laki.
Laporan setebal 40 halaman berjudul “Era Baru untuk Anak Perempuan, Merangkum Kemajuan 25 Tahun” itu melaporkan juga bahwa anak perempuan lebih tidak beruntung ditingkat sekolah dasar, dengan 5,5 juta lebih banyak anak perempuan dibandingkan anak laki-laki yang putus sekolah di seluruh dunia. Kemajuan global dalam mengurangi jumlah anak putus sekolah di tingkat dasar mengalami stagnasi, baik untuk anak perempuan maupun laki-laki sejak tahun 2007.
Pada 1995, dunia termasuk Indonesia mengadopsi Beijing Declaration and Platform for Action, agenda kebijakan paling komprehensif untuk kesetaraan gender, dengan visi mengakhiri diskriminasi terhadap wanita dan anak perempuan, kata laporan itu. Namun, 25 tahun kemudian, diskriminasi dan stereotip yang membatasi masih lazim ditemukan (satuharapan, 5/3/2020)..
Artinya kampanye BPFA+25, yang mengangkat kesetaraan gender sebagai solusi ini mengalami kegagalan secara program. Sebab disisi lain anak perempuan mendapatkan pendidikan menjadi lebih baik namun tak menyentuh tingkat kesejahteraannya sama sekali. Mengapa program sedemikian ruwet namun tak membawa hasil? Sebab kebijakan itu turun atas satu standar hidup yang salah bin batil, yaitu sekularisme. Pemisahan agama dari kehidupan.
Kegagalan program BPFApun menyentuh perempuan Indonesia. Yang seharusnya kesempatan lebih terbuka untuk mengenyam pendidikan tinggi, namun tetap saja tak bisa mengantar pada kondisi sejahtera.
Dan sepanjang kita masih mengambil peraturan dari sistem kapitalis sekular, maka kita tidak akan pernah menuntaskan persoalan perempuan. Karena sekuler menghalangi negara menempatkan perempuan dengan statusnya yang mulia. Negara gagal menjamin kesejahteraan bagi rakyatnya, kemudahan kesempatan kerja bagi para suami, biaya yang layak untuk sekolah anak-anak dan terjangkaunya kebutuhan asas hidup sehingga perempuan rentan terjebak dalam kondisi dilema. Antara membantu mencari nafkah dengan mengurus anak dan keluarga di rumah.
Dari semua formula yang ditawarkan organisasi dunia, termasuk PBB dengan program UN womennya, dengan menganggap kesetaraan perempuan satu-satunya yang bisa mengangkat harkat perempuan lebih baik, ternyata tak satupun yang berhasil. Nasib perempuan di berbagai belahan dunia belum sejahtera.
Maka yang kita butuhkan adalah solusi Islam. Sejahtera bagi perempuan dalam pandangan Islam tak sekedar dijamin pendidikannya. Namun juga ada jaminan bagaimana seorang perempuan itu bisa berperan dalam rumah tangganya dengan baik dan sempurna, Ia bisa menyediakan gizi bagi anak dan suaminya dengan mudah, tanpa harus ia keluar dari rumah dan menjadi tulang punggung keluarga.
Sebab anak adalah generasi penerus bangsa. Majunya peradaban dan diakui sebagai pemimpin bangsa adalah ketika para ibu mampu menjalani fitrah dipundak mereka dengan baik. Perempuan justru di dorong berkiprah di ranah domestik tanpa menghalanginya aktif di ranah umum asalkan tidak melanggar hukum syara.
Maka, perlu dipertegas lagi, kesetaraan gender yang diusung Women Nation, sesungguhnya hanyalah program sia-sia yang tak akan pernah sampai kepada tujuan. Sebab, program itu hanya menghalangi fitrah perempuan sebagaimana yang sudah diciptakan Allah SWT. Wallahu a' lam bish showab.[]