Pandemi Corona, Saat Kapitalisme Tak Berpihak pada Nyawa


Oleh:  Pipit Agustin

Wabah tak pandang ideologi apapun,  akan tetapi kapitalisme justru berpihak kepadanya.  Pandemi Covid-19 difokuskan pada penyelamatan ekonomi ketimbang pasien bernyawa.

Sepanjang umur planet bumi, wabah bukan sekali ini terjadi. Tetapi tak banyak manusia yang mau belajar darinya. Jangankan tindakan, pada level pernyataan saja menunjukkan ketidakbecusan. Seperti yang kita saksikan dengan mata kepala kita di negeri yang kita cintai bersama. Mari kita dengar penuturan para penguasa di negeri ini. Untuk memastikan bahwa ini bukan tuduhan. Ada penguasa yang menyatakan bahwa Indonesia satu-satunya negara besar di Asia yang bebas corona.

Ada pula yang menyatakan bahwa orang yang terjangkit corona dapat sembuh dengan sendirinya. Bahkan ada yang menyatakan bahwa orang Indonesia kebal corona karena terbiasa makan nasi kucing. Tidak hanya itu, ada penguasa yang terkesan ngawur dengan mengatakan bahwa corona akan ditangani dengan senyap.

Pada level tindakan atau rencana tindakan, penguasa menempuh jalur mega diskon pesawat agar turis tetap singgah di tengah merebaknya wabah. Selain itu, mereka membuka jalur TKA asing agar segera kembali dan bekerja di dalam negeri ini sementara PHK berjamaah menyerbu para pekerja domestik. Ada lagi upaya membayar buzzer 72 miliar untuk meredam berita seputar corona. Itu dilakukan agar ekonomi tidak terimbas, investasi tetap deras.

Tidak hanya itu, remuknya pola koordinasi antara pusat dan daerah menambah remuk hati rakyat. Rakyat diminta tenang tetapi penguasa malah gaduh sendiri-sendiri. Sebenarnya tidak butuh surat peringatan WHO apalagi mengait-ngaitkan dengan kedaulatan negara segala. Semestinya, itu dibuktikan dengan gercep menangani penyebaran wabah di dalam negeri jika memang punya klaim kedaulatan. Atau jangan-jangan memang hanya 'omdo'.
Semua pola pernyataan itu bermuara pada kuatnya dugaan adanya inkompetensi negarawan dalam mengurus rakyatnya. Nyawa kapitalisme begitu hidup di dalam jiwa mereka. Takut ekonomi mati tanpa peduli nyawa rakyat.

Padahal, apa gunanya ekonomi "hidup" apabila kematian akibat wabah terus mengintai? Siapa yang mau bertransaksi?
Ada baiknya semua mata menuju pada era Muhammad saw. dan Khalifah Umar bin Khattab. Pada kedua masa itu pernah terjadi wabah mematikan, yaitu tha'un. Akan tetapi kaum Muslimin berhasil melewatinya dengan mempesona. Memang sungguh indah urusan orang beriman. Ketika ditimpa musibah ia bersabar, ketika mendapat nikmat ia bersyukur. Wabah adalah musibah yang dapat menimpa siapa saja, tanpa pandang apakah orang itu beriman atau kafir. Bedanya terlihat pada sikap dalam menyikapi wabah ini.

Bagi orang beriman, ia yakin bahwa semua wabah ini berasal dari Allah, maka sikap pertamanya adalah menguatkan keimanan kepada Allah. Hal ini dilakukan dengan berserah diri kepada-Nya, melakukan introspeksi, dan bertaubat hingga hubungan dengan Allah semakin "solid".

Selanjutnya, Islam memerintahkan ikhtiar maksimal. Nabi saw. bersabda:
"Jika kamu melihat bumi tempat wabah, maka jangan memasukinya. Jika kamu berada di sana, maka jangan keluar darinya.” (HR. Bukhari).
Hadis di atas bila ditransformasikan pada masa sekarang ini adalah kebijakan lock-down dan social-distancing.

Salah satu teladan Islam dalam mengatasi wabah sangat fenomenal belakangan ini. Yaitu pada masa Umar bin Khatthab. Beliau meminta masukan 'Amru bin Ash. Lalu ia memberikan saran agar memisahkan interaksi (social-distancing). Spektakuler, dalam hitungan hari wabah itu berhenti. Allahu Akbar!

Pelajaran dari sini bukan hanya soal kebijakan negara saja yang gercep melainkan juga loyalitas rakyat. Rakyat yang tereduksi secara benar ditambah keyakinan yang sefrekuensi dengan negara akan sangat loyal dan mudah di-manage. Dalam kondisi serba sulit seperti sekarang, rakyat yang loyal tentu akan sangat mudah memberikan dukungan bahkan membantu negara dengan suka rela.

Semua itu patut dijadikan cermin penguasa hari ini yang katanya lebih modern bermandikan kecanggihan teknologi. Agar berhenti dari berbelit-belit dan irit bicara soal Corona. Tanpa guyuran dana WHO pun semestinya sebuah negara yang mengaku berdaulat, ia akan terbuka dan transparan memberikan penerangan yang valid kepada rakyat. Dengan begitu, rakyat akan menaruh rasa percaya dan mendukung penuh.

Akan tetapi kapitalisme memang kolot. Ambisi keserakahan telah menutup mata fisik dan mata hati dari kebenaran firman Tuhan. Mereka berselisih dengan mayoritas rakyat,  bahkan menyulitkan rakyat dari pengurusan hajat pokok. Diskriminasi, persekusi, dan seabreg kebijakan tak masuk akal pun ditempuh meski inkonstitusional. Ketika rakyat dalam cerita dan kepanikan, bukannya bersimpati, penguasa malah berseloroh tak karuan. Wajar bila rakyat tak mau patuh dan taat. Ketika sebagian penguasa menyatakan larangan keluar rumah untuk menghindari wabah, justru sebagian rakyat malah bepergian ke Puncak untuk berwisata,  mudik, atau jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Ini akibat kebijakan yang tidak sinkron.

Beginilah era kapitalistik sekuler menghadapi wabah. Antara penguasa saling sikut dan terkesan gagap. Mungkin ini adalah waktu yang tepat kapitalisme menemukan "ajal" sehingga planet bumi kembali kepada "naturalisasi" yang bersumber dari aturan Pencipta dan Pemilik jagat raya.
Wallahu A'lam.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم