Oleh : Rengga Lutfiyanti
Kemiskinan masih menjadi problem besar yang belum bisa terselesaikan secara tuntas di beberapa negara termasuk Indonesia. Kemiskinan merupakan pangkal sekaligus ujung bagi munculnya berbagai problem baik politik, ekonomi, sosial, hukum, dll. Menurut Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brojonegoro, masih ada 9,4 juta jiwa penduduk Indonesia yang masih kategori miskin kronis atau sangat miskin (tirto.id, 16/01/2019). Tetapi masalah kemiskinan seringkali dikaitkan dengan perempuan, yaitu akibat ketidaksetaraan gender.
Dalam sebuah acara “Vayage to Indonesia’s Seminar on Women’s Participation for Economic Inclusiveness” di Surabaya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa, “Ketidaksetaraan gender mengakibatkan dampak negatif dalam berbagai aspek pembangunan mulai dari ekonomi, sosial, hingga pertahanan dan keamanan. Beberapa lembaga Internasioanl melihat ketidaksetaraan gender memiliki hubungan yang kuat dengan kemiskinan, ketidaksetaraan akses pendidikan, layanan kesehatan, hingga akses keuangan,” (liputan6.com, 02/08.2018).
Mungkin kita sudah tidak asing lagi mendengar istilah kesetaraan gender. Kesetaraan gender adalah pandangan bahwa semua orang harus menerima perlakuan yang setara dan tidak diskriminasi berdasarkan indentitas gender mereka yang bersifat kodrati (wikipedia). Kesetaraan gender ini merupakan sebuah gerakan yang lahir dari pengalaman historis akan ketidakadilan, penindasan, dan ketiadaan hak politik, ekonomi pendidikan, dan dasar hukum yang yang dihadapi oleh kaum perempuan di negara-negara Barat di bawah sistem sekuler yang memandang perempuan lebih rendah daripada laki-laki secara intelektual dan spiritual.
Bahkan isu perempuan dan kemiskinan dijadikan sebagai ajang kampanye global. Mereka berpendapat bahwa perempuan adalah entitas yang rentan terhadap kemiskinan. Padahal problem kemiskinan terjadi karena adanya pengelolaan SDA yang buruk dan monopoli kekayaan ditangan segelintir elit. Adanya kebijakan-kebijakan pasar kapitalisme yang cacat membuat para kapital leluasa memprivatisasi SDA yang seharusnya dikelola negara untuk rakyat. Hal ini juga diperburuk dengan adanya berbagai pinjaman berbunga tinggi dari badan-badan kapitalis seperti IMF yang menyebabkan utang besar negara, serta progam-progam penyesuaian struktural yang melumpuhkan yang dipaksakan atas negara-negara pengutang , yang mencakup pajak tinggi untuk berbagai produk.
Hal ini semakin membuktikan bahwa tidak ada korelasi antara kemiskinan dan perempuan seperti yang digaungkan oleh para pendukung kesetaraan gender. Oleh karena itu, pengarus utamaan gender dan pemberdayaan ekonomi perempuan sebagai solusi dari kemiskinan sistematis pada jutaan perempuan tak ubahnya hanyalah bentuk eksploitasi perempuan. Dimana eksploitasi perempuan malah akan menimbulkan problem baru yaitu tidak berfungsinya peran perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga (umm wa rabatul bait), gugat cerai, banyak anak yang tidak terurus atau terlantar yang kemudian mengakibatkan kerusakan atau penyakit di masyarakat seperti seks bebas, pergaulan bebas, LGBT, bullying, dll.
Berbeda halnya dengan Islam, dalam Islam SDA termasuk ke dalam milkiyah ‘am (kepemilikan umum). Maka negara wajib mengelolanya dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Dan haram memberikan kepada swasta untuk diprivatisasi. Hasil pengelolaan dapat diwujudkan secara langsung dalam bentuk subsidi pendidikan, kesehatan, keamanan, fasilitas umum, dll. Adapun secara tidak langsung pengeloalaan SDA yang mandiri ini akan membuka banyak lapangan pekerjaan sehingga memudahkan para laki-laki dalam mencari nafkah untuk keluarga mereka.
Dalam Islam, negara juga bertanggung jawab untuk menjamin kemaslahatan bagi rakyatnya. Yaitu dengan memenuhi kebutuhan dasar bagi rakyatnya. Rasulullah saw bersabda, “Imam (Khalifah) laksana pengembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya” (HR. al-Bukhari). Sungguh Islam adalah agama yang paripurna. Islam mampu memberikan solusi atas setiap problematika. Sehingga tidak ada yang tidak bisa diselesaikan oleh Islam. Maka tatlaka Islam diterapkan secara menyeluruh pada seluruh lini kehidupan, kemaslahatanlah yang akan didapatkan oleh umat.
Wallahu a’lam bishshaawab.[]