Oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
(Koordinator LENTERA)
Diketahui, Tony Blair dan Masayoshi Son mengunjungi Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Istana Merdeka. Kunjungan Mantan Perdana Menteri Inggris dan CEO Softbank itu adalah untuk melanjutkan pembahasan mengenai Ibu Kota Negara baru. Berhubung mereka adalah dua dari tiga orang bersama Sheikh Mohammed bin Zayed (MBZ) dari Uni Emirat Arab, yang telah ditunjuk sebagai penasihat Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN).
Tak hanya mematangkan konsep pembangunan IKN, kehadiran kedua tokoh tersebut membahas besaran investasi yang bakal diberikan untuk megaproyek tersebut. Masayoshi dan Blair akan berinvestasi di sana.
Hal ini, menurut Blair, merupakan suatu kegembiraan tersendiri karena menjadi bagian dari proyek akbar pemindahan ibu kota negara Indonesia. Blair juga menyatakan dunia luar juga akan merasa bersyukur atas semua inspirasi yang telah diberikan ini.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ibu kota negara adalah kota tempat kedudukan pusat pemerintahan suatu negara. Ibu kota juga sebagai tempat dihimpunnya unsur administratif, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Status ibu kota ditetapkan berdasarkan konstitusi atau undang-undang. Ibu kota adalah kota atau munisipalitas penting yang biasanya menjadi tempat kedudukan pusat administrasi pemerintahan.
Namun dalam praktik pemerintahan, di beberapa negara, pusat pemerintahan tidak berkedudukan di ibu kota. Adakalanya, tempat kedudukan cabang-cabang pemerintahan, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif, berada di lokasi yang berbeda-beda.
Secara historis, pusat ekonomi besar suatu negara atau suatu wilayah sering menjadi titik perhatian kekuasaan politik, hingga kemudian menjadi ibu kota melalui proses penaklukan atau penggabungan. Konvergensi kekuatan politik dan ekonomi atau budaya juga mempengaruhi penentuan ibu kota. Adakalanya juga, beberapa negara memindahkan ibu kota mereka karena alasan politik atau ekonomi.
Republik Indonesia sendiri tercatat pernah beberapa kali berpindah ibu kota, yakni antara tahun 1945-1950, dari Jakarta ke Yogyakarta lalu ke Bukittinggi sebelum kembali ke Jakarta hingga saat ini.
Rencana pindah ibu kota memang sudah digagas bahkan sejak era Presiden pertama Soekarno. Hingga kemudian kembali direncanakan di era Jokowi. Sejak medio 2019 lalu, hal ini sudah santer diberitakan. Presiden Jokowi telah memastikan ibu kota baru akan berada di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Pada perkembangannya, rencana pemindahan ibu kota ke Kaltim ternyata diiringi keterlibatan asing dan tentunya juga penanaman investasi oleh asing. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sangat banyak investor yang berminat untuk menanamkan koceknya di IKN ini.
Investasi untuk ibu kota baru akan mengalir melalui dana abadi atau Sovereign Wealth Fund (SWF). UEA tidak sendiri, namun juga melibatkan SoftBank dan International Development Finance Corporation (IDFC) dari Amerika Serikat. Uang di SWF inilah yang akan disalurkan ke sejumlah proyek, salah satunya pembangunan ibu kota baru. Nantinya investasi asing di ibu kota baru akan menyasar pendidikan tinggi, rumah sakit hingga pusat penelitian berstandar internasional.
Selain investasi, pihak asing juga akan membantu mendesain ibukota baru. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono pernah menyebut bahwa tiga negara yakni Amerika Serikat, China dan Jepang, menawarkan bantuan untuk merancang desain ibu kota baru. Menteri Basuki juga pernah mengatakan, rencananya ada beberapa konsultan asing yang ditugasi oleh negaranya untuk membantu desain ibu kota baru.
Namun dari semua ulasan itu, ada juga satu hal yang masih harus diperhatikan, yakni terkait aspek lingkungan. Ini karena diantara alasan pemindahan ibu kota adalah Jakarta yang rawan banjir. Dalam hal ini, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Nur Hidayati atau yang akrab disapa Yaya, menilai lokasi calon ibu kota baru di Penajam Paser Utara, Kutai Kartanegara dan sekitarnya rawan bencana ekologis akibat tambang batubara dan kerusakan hutan di wilayah hulu. Belum apa-apa, saat ini saja lokasi calon ibu kota baru tersebut sedang dilanda bencana banjir.
Yaya juga meragukan kajian dari pemerintah. Sebab menurutnya, kehadiran ibu kota baru di lokasi tersebut akan semakin meningkatkan kerentanan ekosistem yang saat ini sudah rusak. Ia juga mempertanyakan tentang upaya pemulihan dan konsep green city (kota ramah lingkungan) dari pemerintah yang masih rancu. Terlebih, rencana pembangunan ibu kota ini bukan rencana kecil, sehingga diharapkan ada kajian yang serius.
Mencermati hal ini, pemerintah seharusnya lebih jeli jika memang benar-benar ingin menjadikan ibu kota baru ini untuk sebaik-baik kepentingan rakyat. Meski alasan Jokowi melibatkan asing dalam proyek ibu kota baru lantaran ingin ibu kota baru Indonesia menjadi persembahan untuk dunia, namun pemerintah seharusnya mempertimbangkan tingkat kepercayaan rakyat terhadap “niat baik” pemerintah untuk membangun ibu kota baru bertaraf dunia untuk rakyatnya.
Jika memang benar ingin membangun ibu kota baru dengan niat tulus untuk kepentingan rakyat, mengapa harus mempersembahkannya untuk dunia? Seharusnya pemerintah lebih memperhatikan poin ini. Adanya campur tangan asing, berarti semakin menguatkan opini di tengah-tengah rakyat bahwa akan semakin besar pula intervensi kepentingan asing di negeri ini.
Dan inilah yang akan terjadi. Keterlibatan asing justru akan menjadikan pengambilan keuntungan ekonomi juga tersalurkan kepada asing, bukan untuk rakyat. Yang ada, rakyat akan semakin diperas. Saat ini, di mana belum ada ibu kota baru saja, peran asing sudah terasa dominan mengendalikan jalannya kebijakan. Apa kabarnya nanti jika asing sudah masuk secara praktis bahkan di level ibu kota kita? Bukankah ini sama saja memberikan karpet merah bagi penjajahan politik ekonomi bahkan hilangnya kedaulatan negara?
Sikap tegas sangatlah dibutuhkan untuk membebaskan negeri zamrud khatulistiwa ini dari cengkeraman dan penindasan asing. Kesungguhan penguasa dalam menjalankan amanah kepemimpinannya terhadap rakyat akan menutup jalan dominasi asing. Penguasa akan selalu berupaya menjaga posisi negara yang dipimpinnya sebagai negara yang mandiri dan berdaulat. Namun tentu saja tidak mungkin sikap tegas ini diambil oleh penguasa yang memihak asing.[]