Oleh : Nusaibah Al Khanza
(Pemerhati Kebijakan Publik)
Sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui. Mendapat pemasukan dari pajak, dan kesehatan rakyat terwujud. Mungkin itu yang saat ini ingin dicapai oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Dikutip dari Liputan6.com, bahwa Menkeu mengajukan usulan pengenaan cukai minuman berpemanis kepada Komisi XI DPR RI.
Terkait minuman berpemanis yang dikenakan cukai, dia menyasar produk yang mengandung pemanis dari gula maupun buatan (sintetik).
"Yang sudah siap konsumsi, jadi kaya kopi sachet, yang isi banyak sekali gulanya," imbuhnya.
Selain untuk meningkatkan pendapatan negara, rencana ini juga bisa berdampak pada kesehatan. Setidaknya dengan meningkatnya harga, masyarakat bakal pikir-pikir untuk mengonsumsi minuman berpemanis. (Merdeka.com)
Namun, apakah memungut pajak demi kesehatan merupakan suatu cara yang tepat? Padahal, menarik cukai dari minuman manis artinya menaikkan harga jual. Hal itu pasti akan berdampak pada menurunnya daya beli dan pasti berimbas pada turunnya penghasilan para pedagang.
Justru, hal itu dapat memicu ulah nakal para produsen. Mereka akan menggunakan segala macam cara dan tipu daya untuk menekan biaya produksi. Tak peduli apakah cara itu membahayakan konsumen atau tidak.
Misal saja seperti menggunakan bahan pengawet berbahaya, pewarna kimia berbahaya, atau menggunakan bahan plastik kualitas buruk sebagai wadah, dsb. Sekali lagi, ini adalah akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalis dalam sistem sekuler. Sehingga dalam melakukan usaha pun, hanya berorientasi pada keuntungan semata. Hal ini sangat bertentangan dengan Islam.
Allah SWT berfirman: "Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 188)
Kebijakan tersebut justru semakin menunjukkan bahwa negara ini benar-benar ambisius untuk mendapatkan pemasukan yang tinggi dari pajak. Hingga hampir seluruh komoditi harus dipungut pajak. Apa saja dikenakan pajak.
Sungguh, hal ini kian menampakkan kebobrokan sistem Kapitalis yang hanya berorientasi pada pemasukan negara melalui pajak. Meski pajak itu mencekik rakyat kecil, negara seolah tak peduli. Kalau sudah begitu, rakyat terbebani. Bukannya rakyat sehat, yang ada justru rakyat makin melarat.
Hal tersebut akan berbeda ketika negara menerapkan Islam sebagai aturan kehidupan. Segala aspek kehidupan berlandaskan pada keimanan dan ketakwaan, demi meraih ridho Allah SWT.
Sehingga, para produsen yang beriman akan menyandarkan perbuatannya pada bagaimana menurut hukum Syara'. Pun dalam hal memproduksi minuman dan makanan, mereka akan mengacu pada syariat Islam yang hanya memperbolehkan memproduksi makanan dan minuman yang halal dan toyyib (dari bahan halal dan baik).
Sebab, mereka telah paham bahwa setiap yang mereka lakukan akan dihisab kelak di akhirat. Dengan begitu, kesehatan masyarakat akan tercapai ketika kehalalan dan kebaikan makanan/minuman tersebut terwujud.
Allah SWT berfirman: "Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya." (QS. Al-Isra' 17: Ayat 36)
Para produsen tak akan berlaku curang, karena takut terhadap dosa yang akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Dan, karena orientasi dari para pelaku ekonomi bukan pada keuntungan semata, namun juga pada ridho Allah.
Sedangkan dari sisi negara sebagai pelindung dan pelayan rakyat, negara yang berlandaskan Islam tidak akan menjadikan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara. Namun, pajak hanya dipungut ketika kondisi negara sedang dalam keadaan darurat keuangan/krisis. Kondisi itu biasanya terjadi pada musim paceklik atau ketika sedang terjadi perang. Itu pun tidak dipungut kepada seluruh rakyat. Melainkan hanya pada kaum laki-laki yang mampu/kaya saja.
Lalu dari mana negara Islam mendapat anggaran jika tanpa memungut pajak? Tentu saja dari memanfaatkan pengelolaan SDA yang tidak diserahkan kepada asing. Juga dari zakat mal, jizyah, khazraj, ghanimah, fai dan iuran sukarela/sedekah rakyat dan sebagainya yang semua itu asas nya bukan berdasarkan paksaan. Namun sukarela dan keikhlasan, karena dilakukan atas dasar iman dan takwa kepada Allah.
Yang dapat dilakukan saat ini adalah harus tetap menyeru dan menasihati pemerintah, bahwa pemungutan pajak yang mereka lakukan adalah sebuah kezaliman kepada rakyat sehingga harus segera dihentikan.
Kemudian juga tetap menyeru kepada penguasa negeri-negeri Muslim agar meninggalkan kemungkaran, dan segera kembali menerapkan aturan Islam secara kaffah agar negeri ini mendapat berkah.
"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Al-A'raf 7: Ayat 96)[]