KEMISKINAN MASSAL, KONDISI LATEN SISTEM KAPITALISME



Oleh: Ummu Aisyah

Bank Dunia baru saja merilis laporan bertajuk Aspiring Indonesia, Expanding the Middle Class. Di dalam laporan tersebut dijelaskan, meski pemerintah telah berhasil menekan angka kemiskinan di bawah 10 persen, sebanyak 45 persen atau mencapai 115 juta populasi penduduk Indonesia masuk kategori rentan atau terancam bisa kembali masuk kategori miskin. World Bank Acting Country Director untuk Indonesia Rolande Pryce mengatakan, kelompok tersebut adalah yang berhasil keluar dari garis kemiskinan, tetapi belum berhasil masuk ke dalam kelompok kelas menengah. (Kompas.com, 30/1/2020).

Kemiskinan masih menjadi problem dunia, tidak hanya di negara berkembang namun juga negara-negara maju. Saat ini kemiskinan yang menimpa umat lebih merupakan kemiskinan struktural/sistemik, yakni kemiskinan yang diciptakan oleh sistem yang diberlakukan oleh negara/penguasa. Itulah sistem kapitalisme-liberalisme-sekularisme.

Sistem inilah yang telah membuat kekayaan milik rakyat dikuasai dan dinikmati oleh segelintir orang. Di negeri Indonesia telah lama terjadi privatisasi sektor publik seperti jalan tol, air, pertambangan gas, minyak bumi dan mineral. Akibatnya, jutaan rakyat terhalang untuk menikmati hak mereka atas sumber-sumber kekayaan tersebut yang sejatinya adalah milik mereka. Akibat lanjutannya, menurut laporan tahunan Global Wealth Report 2016, Indonesia menempati negara keempat dengan kesenjangan sosial tertinggi di dunia. Diperkirakan satu persen orang kaya di Tanah Air menguasai 49 persen total kekayaan nasional.

Di sisi lain rakyat seolah dibiarkan untuk hidup mandiri. Penguasa/negara lebih banyak berlepas tangan ketimbang menjamin kebutuhan hidup rakyatnya. Di bidang kesehatan, misalnya, rakyat diwajibkan membayar iuran BPJS setiap bulan. Artinya, warga sendiri yang menjamin biaya kesehatan mereka, bukan negara. Dalam konteks global, di semua negara yang menganut kapitalisme-liberalisme-sekularisme telah tercipta kemiskinan dan kesenjangan sosial. Hari ini ada 61 orang terkaya telah menguasai 82 persen kekayaan dunia. Di sisi lain sebanyak 3.5 miliar orang miskin di dunia hanya memiliki aset kurang dari US$ 10 ribu.

Standar kemiskinan pun ditetapkan berdasarkan pendapatan, bukan pada terpenuhinya pemenuhan kebutuhan pokok. PBB pada tahun 2015 telah merevisi pengukuran kemiskinan ekstrem yang semula 1,25 dolar (AS) menjadi 1,9 dolar (AS). Berdasarkan standar ini orang dinyatakan sangat miskin jika memiliki pendapatan/pengeluaran kurang dari 1,9 dolar perhari (sekitar Rp 27.550,- perhari).

Bayangkan, setiap orang dengan pengeluaran Rp 27.550,- ribu rupiah perhari, misalnya, dianggap telah sejahtera. Mereka dianggap bukan orang miskin, padahal dengan uang sebesar itu kemungkinan hanya cukup untuk makan sehari, ditambah jika anggota keluarga tidak hanya satu. Lagi pula, manusia hidup tak cuma butuh makan. Manusia hidup juga butuh pakaian, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, biaya transportasi, dll. Faktanya, semua itu tidak gratis. Sehingga wajar, meski angka kemiskinan menurun, realitas di lapangan tidaklah demikian.

Berbeda dengan Islam, kemiskinan tidak dinilai dari besar pengeluaran atau pendapatan, tetapi dari pemenuhan kebutuhan asasiyah (pokok) secara perorangan. Kebutuhan pokok itu mencakup sandang, pangan, perumahan, kesehatan dan pendidikan secara layak. Allah SWT berfirman yang artinya:
“Kewajiban para ayah memberikan makanan dan pakaian kepada keluarga secara layak”. (TQS al-Baqarah [2]: 233).
“Tempatkanlah para istri di tempat mana saja kalian bertempat tinggal menurut kemampuan kalian. Janganlah kalian menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka”
(TQS ath-Thalaq [85]: 6).

Bahkan dalam Islam, orang baru dikatakan kaya atau sejahtara jika memiliki kelebihan harta di atas 50 dirham. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:
“Tidaklah seseorang meminta-minta, sementara ia kaya, kecuali pada Hari Kiamat nanti ia akan memiliki cacat di wajahnya.” Ditanyakan kepada beliau, “Ya Rasulullah, apa yang menjadikan ia termasuk orang kaya?” Beliau menjawab, “Harta sebesar 50 dirham…”
(HR an-Nasa’I dan Ahmad).

Mengomentari hadis di atas, syaikh Abdul Qadim Zallum menyatakan, “Siapa saja yang memiliki harta sebesar 50 dirham—atau setara dengan 148,75 gram perak, atau senilai dengan emas seharga itu—yang merupakan kelebihan (sisa) dari pemenuhan kebutuhan makan, pakaian, tempat tinggal; juga pemenuhan nafkah istri dan anak-anaknya serta pembantunya—maka ia dipandang orang kaya. Ia tidak boleh menerima bagian dari zakat (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwâl fî ad-Dawalah al-Khilâfah, hlm. 173).

Jika satu dirham hari ini setara dengan Rp 50 ribu saja, maka 50 dirham sama dengan Rp 2,5 juta. Kelebihan harta di atas 2,5 juta itu tentu merupakan sisa dari pemenuhan kebutuhan pokoknya (makanan, pakaian, perumahan; juga nafkah untuk anak, istri dan gaji pembantunya).

Dalam mengentaskan kemiskinan, Islam memiliki cara: pertama, secara individual, Allah SWT memerintahkan setiap Muslim yang mampu untuk bekerja mencari nafkah untuk dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 233). Rasulullah saw. juga bersabda:

“Mencari rezeki yang halal adalah salah satu kewajiban di antara kewajiban yang lain” (HR ath-Thabarani).

Jika seseorang miskin, ia diperintahkan untuk bersabar dan bertawakal seraya tetap berprasangka baik kepada Allah sebagai Zat Pemberi rezeki. Haram bagi dia berputus asa dari rezeki dan rahmat Allah SWT. Nabi saw. bersabda:
“Janganlah kamu berdua berputus asa dari rezeki selama kepala kamu berdua masih bisa bergerak. Sungguh manusia dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merah tanpa mempunyai baju, kemudian Allah ‘Azza wa Jalla memberi dia rezeki”. (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).

Kedua, secara jama’i (kolektif), Allah SWT memerintahkan kaum Muslim untuk saling memperhatikan saudaranya yang kekurangan dan membutuhkan pertolongan. Rasulullah saw. bersabda:
“Tidaklah beriman kepadaku siapa saja yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan, padahal ia tahu”.

(HR ath-Thabrani dan al-Bazzar).
Ketiga, Allah SWT memerintahkan penguasa untuk bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya, termasuk tentu menjamin kebutuhan pokok mereka. Rasulullah saw. bersabda:
“Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus”
(HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).

Sebagai kepala negara, Rasulullah saw. menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya dan menjamin kehidupan mereka. Pada zaman beliau ada ahlus-shuffah, mereka adalah para sahabat tergolong dhuafa. Mereka diizinkan tinggal di Masjid Nabawi dengan mendapatkan santunan dari kas negara. Saat menjadi khalifah, Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab biasa memberikan insentif untuk setiap bayi yang lahir demi menjaga dan melindungi anak-anak. Beliau juga membangun “rumah tepung” (dar ad-daqiq) bagi para musafir yang kehabisan bekal. Khalifah Umar bin Abdul Aziz membuat kebijakan pemberian insentif untuk membiayai pernikahan para pemuda yang kekurangan uang. Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah dibangun rumah sakit-rumah sakit lengkap dan canggih pada masanya yang melayani rakyat dengan cuma-cuma.

Hal di atas hanyalah sekelumit peran yang dimainkan penguasa sesuai dengan tuntunan syariah Islam untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya. Karena itu saatnya kita mencampakkan sistem selain Islam yang telah terbukti mendatangkan musibah demi musibah kepada kita. Sudah saatnya kita kembali pada syariah Islam yang berasal dari Allah SWT. Hanya syariah-Nya yang bisa menjamin keberkahan hidup manusia. Mustahil kemiskinan bisa dientaskan bila dunia, termasuk negeri ini, masih menerapkan sistem kapitalisme-liberalisme-sekulerisme. Bahkan Oxfam International yang meriset data kesenjangan di atas menyebut fenomena ini sebagai “gejala sistem ekonomi yang gagal!”. "Ledakan miliarder bukanlah pertanda ekonomi yang berkembang namun merupakan gejala dari sistem ekonomi yang gagal. Orang-orang yang membuat pakaian kami, merakit telepon kami dan menyediakan makanan kami dieksploitasi untuk memastikan persediaan barang murah, dan meningkatkan keuntungan perusahaan dan investor miliarder,' ujar Winnie Byanyima, Direktur Eksekutif Oxfam International. (Tirto.id, 22/01/2018).[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم