Oleh: Rina Yulistina
(Kontribu
Kantor perwakilan dagang AS mencoret Indonesia dari daftar negara berkembang. Berita ini ramai diberitakan di tanah air. Ada yg bangga karena indonesia akhirnya naik level namun banyak diantaranya bertanya2 kenapa Indonesia secara tiba-tiba naik level dari berkembang menjadi maju? Beberapa alasan di kemukakan oleh USTR (United States Trade Representative) yang menyebabkan Indonesia naik level yaitu pertumbuhan ekonomi dan aktivitas perdagangan secara global.
Alasan yang dilontarkan oleh USTR patut untuk dipertanyakan. Apa iya ekonomi Indonesia bertumbuh? Apa iya aktivitas perdagangan Indonesia secara global berkembang pesat? Jika kita cermati bersama, alasan Indonesia naik level menjadi sesuatu yang sangat janggal. Bagaimana bisa dikatakan ekonomi Indonesia bertumbuh? Jika pergerakan angkanya tak pernah beranjak dari angka 5%? Apa iya ekonomi Indonesia bertumbuh jika inflansi senantiasa setia menemani kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang menyebabkan rakyat sekarat? Apa iya perdagangan Indonesia secara global berkembang pesat? Bukankah banyak pabrik yang tutup gara-gara diserbu barang impor? Bukankah neraca perdagangan Indonesia sering defisit?
Alasan yang diutarakan oleh USTR tak bisa dinalar. Lantas apa yang mendasari Kantor perwakilan dagang AS mencoret Indonesia dari daftar negara berkembang? Ternyata usut punya usut alasan AS mencoret Indonesia dan beberapa negara lainnya seperti Brazil, China, India, dan Afrika Selatan disebabkan karena Donald Trump frustasi disebabkan World Trade Organization (WTO) memberikan perlakuan khusus terhadap negara-negara berkembang dalam perdangan internasional berupa GSP (Generalized System of Preferences). Perlakuan khusus tersebut berupa memberikan subsidi ekspor hasil pertanian, memberikan hak proteksi produk domestik ketika kebanjiran impor, dan memberikan kebijakan penimbunan stok bahan pangan pokok di atas batasan domestik subsidies.
Pemberian perlakuan khusus dari WTO ke negara berkembang inilah yang membuat AS merugi sebagai negara maju, karena produk negara berkembang bisa dijual lebih murah dan dapat menggilas produk sejenis di negara maju. Sehingga sangat jelas AS merasa tidak mendapatkan keuntungan dari adanya GSP. Bahkan Donald Trump mengatakan "AS juga bagian dari negara berkembang," di forum internasional di Davos, Swiss. Pernyataan tersebut jelas bahwa Donald Trump sangat frustasi dengan perang dagang yang membuat neraca perdagangan AS terseok-seok.
AS tentu tak ingin nasib negaranya terancam, sebagai negara adi kuasa AS tak ingin kekuatannya bergeser dan digantikan oleh negara lain seperti China misalnya. Oleh karena itu secara sepihak AS memutuskan negara yang mendapatkan keuntungan dengan adanya GSP cepat-cepat dinaikan levelnya sebagai negara maju supaya mereka tak mendapatkan hak istemawa lagi. Keputusan sepihak AS dikecam oleh banyak pihak apalagi China menjadi negara utama yang menolak menjadi negara maju, bahkan China tegas mengatakan bahwa AS telah melakukan upaya investigasi dan meremehkan sistem perdagangan multilateral negara-negara lain.
Sikap menolak China dibarengi oleh ketakutan Indonesia. Iya, Indonesia takut masuk level menjadi negara maju. Dengan menjadi negara maju otomatis GSP yang dinikmati oleh Indonesia akan dicabut itu artinya beban tarif bagi produk ekspor Indonesia bakal membengkak. Ketika tarif membengkak, nasib ekspor Indonesia akan hancur, para eksportir tak akan kuat. Indonesia tak akan sanggub bersaing dengan negara lain sehingga neraca perdagangan Indonesia bukan lagi difisit namun bisa karam. Per Januari 2020 ini saja telah defisit sebesar USD 864 juta. Apalagi jika GSP dicabut, apa jadinya?
Dari sini bisa kita tarik kesimpulan bahwa negara yang memiliki ideologi bisa bebas dengan leluasanya mengambil keputusan sepihak untuk memindahkan suatu negara ke level lain, ideologi kapitalis menjadi poros AS untuk mengatur percaturan politik ekonomi dunia.
AS dengan mudahnya mengotak ngatik aturan dan memaksa suatu negara untuk tunduk dengan aturan yang dia buat, lembaga internasional semacam WTO tak sanggub bertindak apapun. Bahkan WTO sendiri didirikan oleh negara maju yaitu AS, Jepang, Kanada dan Uni Eropa. Sudah sangat jelas lembaga yang didirikan sendiri tidak akan menjadi pagar makan tanaman. Sehingga kebijakan WTO tidak akan berbeda dari kebijakan AS. Contoh kecilnya pada tahun 2019 Indonesia mendapatkan denda dari WTO sebesar Rp 5,04 triliun dikarenakan AS keberatan dengan regulasi impor yang dibuat oleh Indonesia berupa produk hortikultura dan perternakan. Indonesia dipaksa impor ke AS setiap tahunnya untuk produk apel, anggur, citrus, kentang, bawang, bunga, jus, buah kering, sapi, daging sapi, dan ayam.
Pada sejatinya meskipun Indonesia mendapatkan GSP untuk ekspor toh jika AS merasa keberatan dengan regulasi impor Indonesia, AS dengan entengnya memberikan hukuman ke Indonesia lewat WTO. Sehingga jelas apapun aturan yang ada di dalam WTO tidak akan pernah menguntungkan negara berkembang namun hanya akan menguntungkan AS dan negara sekutu lainnya.
AS dan negara sekutu lainnya menjadikan negara lainnya sebagai santapannya. Maka Maha Benar Allah atas segala firmannya. Rasulullah telah mengajarkan bagaimana cara Islam melakukan perjanjian luar negeri. Islam tidak memperbolehkan melakukan perjanjian dengan negara kafir harbi fi'lan yang nyata-nyata memusuhi Islam, seperti AS dan sekutunya.[]