Hijab Syar'i, Pakaian Sesuai Al-Quran


Oleh : Indah Permatahati

Beberapa waktu lalu, sebuah pernyataan yang disampaikan oleh istri almarhum Gus Dur sempat mengemuka di hadapan publik. Pasalnya beliau menyampaikan bahwa hijab tidak wajib dipakai oleh Muslimah. Tak sampai di situ, pernyataan tersebut juga diamini oleh sang putri, Inayah Wahid. Putri keempat Gus Dur itu mengatakan bahwa istri-istri ulama terdahulu (Nyai) atau istri pendiri Nahdlatul Ulama (NU) memakai kerudung, bahkan pejuang perempuan RA. Kartini pun tidak berhijab.

Sebagai seorang Muslimah yang menggunakan Al Qur’an dan al hadits sebagai pedoman hidupnya, tentu pernyataan semacam ini cukup mengerutkan dahi, pasalnya yang digunakan sebagai landasan berpikir adalah fakta atau realitas. Seorang muslim yang menggunakan Al Quran sebagai pedoman hidup, tentu akan menyikapi semua hal yang terjadi dalam hidupnya sesuai dengan pandangan Al Quran.

Di dalam Al Quran, Allah berfirman tentang kriteria busana yang harus dikenakan oleh seorang Muslimah adalah jilbab dan khimar dalam QS. An Nur ayat 31 dan QS. Al Ahzab ayat 59. Rasulullah pun bersabda bahwa seorang muslim yang sudah baligh tidak boleh menampakkan auratnya selain wajah dan telapak tangan. Dengan berbekal keimanan atas perintah Allah, seorang muslim layaknya tidak mengambil sudut pandang lain selain apa yang sudah menjadi perintah-Nya.

Apabila sudut pandang kita adalah fakta yang tengah terjadi atau kondisi masyarakat, maka prinsip hidup kita tidak akan tegak sebagaimana perintah Allah. Sebab, keinginan masyarakat akan senantiasa berubah. Ketika membahas tentang perintah Allah, maka kiblat kita hanyalah apa yang telah Allah perintahkan, tidak lagi bercampur dengan hawa nafsu.

Fakta yang terjadi tidaklah dapat menjadi sumber hukum. Jika fakta menjadi sumber hukum, maka kebenaran akan sangat relatif. Misalnya hukum menutup aurat yang sudah wajibnya jelas dalam islam. Jika dibenturkan dengan fakta maka hukum tersebut menjadi relative. Contohnya kewajiban menutup seluruh tubuh Muslimah kecuali wajah dan telapak tangan, dibenturkan dengan fakta bahwa ada seorang tokoh Muslimah yang masih menampakkan gerai rambutnya, tidak mengenakan kerudung. Tentu sekali lagi fakta bukanlah sumber hokum. Sehingga, meskipun istri seorang kyai apabila kemudian beliau tidak mengenakan kerudung, maka hal tersebut bukanlah pembenaran bahwa kerudung itu tidak wajib.

Hal ini sama halnya dengan kita menghadapi persoalan urgen lainnya, misalnya secara nash syara’ telah jelas bahwa Allah memerintahkan kita sholat menghadap ka’bah, meskipun seluruh manusia di dunia menyelisihinya, maka sebagai seorang muslim yang beriman pada Allah, ia akan yakin tanpa ragu ia akan tetap menghadap sesuai perintah Allah meskipun semua manusia menyelisihinya.

Perintah Allah untuk menutup aurot bagi seorang Muslimah juga adalah perintah yang jelas. Ketundukan kita adalah bukti keimanan dan kecintaan pada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Sebaliknya, apabila Allah telah memerintahkan suatu hal dan kemudian kita menyelisihinya, maka itu adalah wujud kedurhakaan dan praktik pembangkangan terhadap pencipta kita. Maka, wahai Muslimah, kini iman yang berbicara, apakah engkau akan menutup aurat secara sempurna sesuai perintah Allah, ataukah akan kau ikuti hawa nafsumu dengan berbagai macam dalih. Perintah Allah tidak akan berubah hanya karena segelintir manusia menyelisihinya, karena kelak di haapan-Nya, kita akan dihisab-Nya sendiri-sendiri. Wallahu a’lam. []

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم