Oleh Ajeng Najwa,S.IP
Wirausaha, pengamat politik dan ekonomi
Beberapa tahun terakhir ini santer diberitakan tentang radikalisme yang disebut sebut sebagai kedoknya Khilafah. Konflik ras digoreng sedemikian rupa agar bisa memojokkan khilafah. Menkumham juga menyatakan opini pribadinya bahwa khilafah itu merusak(kumparan.news 3/1/2020). Khilafah dituding sebagai penyebab konflik antar agama, suku dan kelompok.
Kalimat yang diucapkan para petinggi negara jelas tidak sesuai fakta. Apalagi sempat terucap bahwa tanpa khilafah pun, negara saat ini sudah sesuai dengan Islam. Agaknya para pemimpin kita kurang benar-benar memahami fakta.
Secara hukum, Indonesia masih banyak menerapkan hukum warisan Belanda. Hukum Islam hanya diterapkan di beberapa bagian saja. Tidak ada kesesuaian antara ucapan pak Menkumham dengan kenyataan yang terjadi saat ini.
Seolah olah segala masalah sumbernya adalah usaha penegakan khilafah. Pemerintah secara berjamaah menunjukkan jarinya pada khilafah jika dimintai pertanggungjawaban atas masalah yang tak kunjung usai di negara ini.
Tak kurangkah segala permasalahan di negara ini terjadi akibat salah pilih sistem pemerintahan? Tak cukupkah banyaknya kasus korupsi dan kenakalan remaja akibat tidak diberlakukannya hukum Islam secara menyeluruh? Justru karena tebang pilih hukum Islam inilah, pemerintah jadi semakin kesulitan menyelesaikan permasalahan dalam negaranya sendiri. Islam dianggap makanan prasmanan di meja makan yang bisa dicomot sesuka hati, dan ditinggalkan semaunya sendiri.
Semua tuduhan itu jelas tidak sesuai fakta. Tinta sejarah menuliskan betapa agungnya sistem buatan Sang Pencipta untuk mengatur sebuah negara. Bahkan di masyarakat yg bhineka seperti inipun, khilafah mampu berlaku adil dan menyejahterakan rakyatnya. Sejarah mencatat sejak zaman Khulafaur Rasyidin hingga kekuasaan Turki Utsmani terbukti mempu merawat perbedaan suku, ras, bahkan agama sekalipun. Tak ada satupun yang dipaksa masuk Islam. Karena telah dituliskan oleh Allah dalam QS Al Baqarah 256 "Laa Ikroha fiddiiin...." Kaum Non muslim masih tetap boleh beribadah, bahkan memakan babi sekalipun tak ada larangan. Di manakah sisi radikalisnya? Mana kah yang dianggap berbahaya?
Khilafah jelas tak membahayakan siapapun. Khilafah justru akan menciptakan rumah yang nyaman bagi siapapun, kecuali bagi para kapitalis yang justru selama ini menuding denga seribu telunjuknya menuduh khilafah adalah sumber kerusakan. Mereka yang ingin hidup selama-lamanya, sebebas-bebasnya, tanpa ada aturan, khususnya dalam kepemilikan ekonomi. Khilafah bahaya bagi orang-orang yang haus kekuasaan dan harta benda. Bahkan Khilafah bisa merugikan orang-orang dzalim yang inginnya menguasai hajat hidup banyak orang.
Jauh sebelum para kapitalis tersebut lahir, Rasulullah pernah bersabda:
Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Hadits ini bukan sekedar bacaan pengantar tidur, tapi hadits ini benar-benar diterapkan pada saat zaman Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, hingga Turki Utsmani.
Karena nantinya khilafah akan membatasi kepemilikan seseorang. Apalagi yang berhubungan dengan kebutuhan banyak orang, maka akan dikelola oleh negara sebagai wujud pelayanan pemerintah. Tapi sayang sekali, jajaran pemerintah yang hobi menuding dengan seribu telunjuknya pada Khilafah seperti gagal paham dengan hadits dan fakta sejarah ini.
Seperti yang dikatakan Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin baru-baru ini, saat menanggapi kerugian salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) karena tarifnya yang murah(muslimah news.com, 13/12/2019)
Ma’ruf Amin menyoroti rendahnya tarif air bersih yang diterapkan perusahaan air minum di daerah. Hal ini menjadi salah satu penyebab kerugian di perusahaan air minum daerah. Dia mencontohkan tarif air bersih di DKI Jakarta dan Depok hanya berada di kisaran Rp7 ribu per meter kubik. Cara seperti ini membuat perusahaan air minum kesulitan karena tarif itu masih di bawah full cost recovery(CNBC Indonesia, 2/12/2019). Sampai di sini, tergambar jelas kan, bagaimana gagal pahamnya pemerintah memandang posisi kekuasaannya saat ini? Cukup mudah bukan, memahami bahwa pemerintah kini jauh dari aturan Islam dalam membangun negara? Pemerintah saat ini bak ayah yang tak bertanggungjawab dalam merawat anak-anaknya. Ayah yang justru sengaja membuat anak-anak nya sengsara.
Padahal, jika mau serius belajar dan tunduk pada kebenaran, sangat banyak yang bisa didapatkan tentang bagaimana Islam mengatur negara dan kehidupan ini, salah satunya sebagaimana dijelaskan dalam hadits :
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Hadits yang telah terucap ribuan tahun silam oleh sabda Rasulullah mulia ini tak hanya sekedar ucapan klise, akan tetapi ini nyata diberlakukan dalam negara yang menjadikan Islam sebagai dasar hukumnya. Bahkan Ummar Bin Khattab pernah menumbuk gandum sendiri untuk menghidangkan makanan pada salah satu rakyatnya yang lapar. Bagi para Khalifah, jabatan sebagai kepala negara bukan sekedar ajang unjuk baqa' atau pemuas hasrat kekuasaan saja. Tapi tugas sebagai Khalifah adalah amanah amat berat yang harus ditunaikan sebaik-baiknya, hingga dahulu para calon Khalifah tak ada yang mau berebut kekuasaan seperti sekarang ini. Mereka paham betul bagaimana konsekuensinya di dunia maupun di akhirat. Tidak seperti zaman sekarang di mana kekuasaan diperebutkan sebagai ajang tambahan pemasukan bulanan, atau bahkan modal untuk bersenang-senang semata.
Maka, janganlah lagi ada tuduhan keji. Bukan khilafah yang merusak, tetapi pola pikir kita yang telah gagal paham memahami syariat. Kita sibuk membangun toleransi hingga ternyata kita juga terlalu toleran terhadap pemikiran selain Islam. Percayalah, Khilafah akan tuntas menyejahterakan kita, dan sebentar lagi kebangkitan ummat akan segera terjadi, bagaimanapun cara mereka menghujani khilafah dengan seribu telunjuk tuduhan yang sangat keji.