Menimbang Euforia Dedolarisasi


Oleh: Safiatuz Zuhriyah, S. Kom
Pegiat Literasi

Sejumlah negara Islam sedang mempertimbangkan untuk menjadikan emas sebagai alat pembayaran internasional. Gagasan tersebut pertama kali diperdebatkan sekitar tiga dekade lalu pada puncak Krisis Keuangan Asia (AFC).

Dalam Islamic Summit yang digelar pada tanggal 18-21 Desember 2019 di Kuala Lumpur Convention Center, usulan ini  mengemuka lagi. Kembali pada konsep mata uang emas, dianggap bisa menjadi  senjata negara muslim untuk bertahan dari embargo ekonomi yang dilancarkan negara barat, khususnya Amerika.

"Keputusan sepihak dengan menjatuhkan sanksi, hal itu dapat berlaku pula pada kita," kata Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohammad seperti dikutip Reuters.

Iran terkena sanksi Amerika Serikat (AS) karena dianggap masih terus melakukan pengembangan nuklir. Sementara Qatar mengalami pemutusan hubungan diplomatik dengan sejumlah negara Arab yang menjadi aliansi AS, karena dituduh membiayai teroris.

"Saya menyarankan agar kita melihat kembali gagasan perdagangan menggunakan dinar emas dan perdagangan sistem barter di antara kita. Kami serius melihat ini," katanya.

Sebelumnya, sejumlah negara juga menyuarakan buang dolar atau dedolarisasi. China merupakan salah satu yang paling gencar dalam mengurangi ketergantungan pada dolar.

Negara yang dipimpin Presiden Xi Jinping ini telah melakukan berbagai upaya buang dolar. Contohnya adalah China telah secara diam-diam mendiversifikasi cadangannya ke dalam mata uang lain serta  membangun "cadangan bayangan" atau shadow reserves.

Bukan hanya China, Rusia dan Uni Eropa juga melakukan hal yang sama. Mereka menghindari dolar AS dan menggunakan mata uang sendiri karena keharusan untuk tunduk pada yurisdiksi AS ketika mereka bertransaksi dalam dolar. Selain itu, faktanya dolar AS semakin tidak stabil, dan terpapar pada fluktuasi nilai sehingga tidak tempat digunakan sebagai mata uang internasional utama.

Dedolarisasi Melalui Dinarisasi

Rencana sejumlah negara Islam untuk menjadikan emas sebagai alat pembayaran pengganti dolar AS disebut Pemrakarsa Modern Monetary Theory (MMT), Mardigu Wowiek sebagai bagian dari upaya untuk melepas ketergantungan dolar.

Ia bahkan percaya mata uang kertas yang tak memiliki jaminan emas seperti sekarang akan banyak ditinggalkan negara di dunia. "Di 2030 mungkin (pengguna) currency tinggal 10 atau mungkin tinggal 20, tidak sebanyak sekarang," katanya kepada CNBC Indonesia dalam acara Power Lunch, Kamis (26/12/2019).

Dedolarisasi melalui penggunaan dinar berbasis emas ini diharapkan bisa menjadi patokan mata uang dunia, sehingga nantinya inflasi akan bernilai 0 dan mengubah tatanan ekonomi baru.

Ia mengatakan, banyak negara sebenarnya jengah dengan konsep mata uang yang berlaku sekarang. Perlu diketahui konsep yang sekarang dipakai, berlaku sejak 1971, saat AS mendeklarasikan akan mencetak dolar tanpa jaminan emas lagi. Menurutnya, ketika dedolarisasi terjadi, dunia sebenarnya memang sudah menantang AS dan berusaha keluar dari hegemoninya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa penggunaan mata uang emas memang mempunyai beberapa keuntungan. Di antaranya adalah bahwa standar emas dapat dengan mudah diterima dan digunakan masyarakat internasional sebagai alat pembayaran yang sah karena nilainya secara umum. Selain itu, nilai standar emas cenderung lebih stabil dibandingkan logam jenis lainnya, sehingga diharapkan dapat menjaga stabilitas nilai tukar uang. Perdagangan internasional juga cenderung meningkat dengan standar emas karena adanya kepastian kurs. Tidak ada negara yang bisa mencetak uang sesuka hatinya. Harus disesuaikan dengan cadangan emas yang dimilikinya.

Oleh karena itu, tidak heran bila penggunaan mata uang dinar emas telah dilakukan oleh masyarakat sejak dahulu.

Mampukah Dinarisasi Menjawab Tantangan?

Sebelum kedatangan  Islam,  dinar merupakan mata uang yang digunakan dalam transaksi perdagangan, baik international maupun domestik. Bangsa Arab yang dikenal  sebagai pedagang banyak melakukan  kegiatan dagang dengan bangsa Romawi Byzantium, bangsa Persia dan para pedagang lain yang melewati negeri Arab. Berbagai jenis uang dinar emas dan perak dirham beredar dalam perdagangan mereka.

Pada saat itu, kota Makkah menjadi pusat perdagangan dan pertukaran mata uang, sehingga banyak para pedagang dari berbagai negeri datang ke kota Makkah untuk bertemu dan melakukan transaksi perdagangan dengan menggunakan mata uang dinar dan dirham.

Ketika Islam datang, Rasulullah menerima keberadaan mata uang dinar dan dirham  sebagai alat pertukaran dan pembayaran. Penerimaan Rasululllah  akan mata uang dinar dan dirham disebut sebagai sunnah taqririyah (pengakuan dan penerimaan nabi atas praktek yang ada pada saat itu).

Dalam sejarah umat Islam, Rasulullah dan para sahabat menggunakan dinar dan dirham sebagai mata uang mereka. Di samping sebagai alat tukar, dinar dan dirham juga dijadikan sebagai standar ukuran  hukum-hukum syar’i, seperti kadar zakat dan ukuran pencurian. Pada masa kenabian, uang dinar dan dirham digunakan sebagai alat transaksi perdagangan oleh masyarakat Arab.

Dalam perjalanannya sebagai mata uang yang digunakan, dinar dan dirham cenderung stabil dan tidak mengalami inflasi yang cukup besar selama ± 1300 tahun. Penggunaan dinar dan dirham berakhir pada runtuhnya khalifah Islam Turki Usmani 1924.

Keinginan sebagian negeri Islam untuk melakukan dinarisasi, patut diapresiasi sebagai sinyal kebangkitan umat. Ketika menghadapi berbagai persoalan pelik tanpa solusi akibat diterapkannya sistem kapitalis, umat kembali melirik Islam sebagai solusi dalam masalah ekonomi, terutama terkait mata uang.

Namun, dengan diterapkannya standar mata uang emas secara internasional, bukan berarti permasalahan umat secara umum telah selesai dan bisa melepaskan diri dari hegemoni Barat. Ini adalah permasalahan yang kompleks terkait dengan ideologi. Yaitu diterapkannya ideologi kapitalis bersamaan dengan ditinggalkannya ideologi Islam.

Ibarat sebuah pohon, sistem ekonomi hanyalah ranting, sedangkan mata uang adalah daunnya. Setiap ranting dan daun saling berkaitan satu sama lain, tidak bisa berdiri sendiri. Baik atau buruknya pertumbuhan ranting dan daun, sangat bergantung pada akarnya. Akar itu adalah ideologi, dimana darinya tumbuh berbagai sistem aturan untuk menyelesaikan segala permasalahan manusia.

Maka, solusi Islam harus diambil secara total mulai akar hingga daun, dari asas hingga seluruh sistemnya. Penyelesaian dengan solusi Islam, tentu bukan hanya berharap aspek maslahat pada satu bidang saja. Islam harus diterapkan secara sempurna dalam seluruh aspek kehidupan sehingga rahmatan lil alamin bisa dirasakan oleh semua. Hal ini hanya bisa terwujud bila kita mengadopsi sistem politik Islam dalam institusi Daulah Khilafah Islamiyah.

Secara imani, umat Islam yakin bahwa tegaknya syariat Allah akan mendatangkan maslahat di muka bumi ini. Dan secara empiris maupun historis, khilafah telah terbukti mampu mengatasi berbagai masalah sekaligus mengantarkan umat manusia pada kehidupan yang sejahtera, mulia dan bermartabat. Hal ini telah diakui dunia, bahkan oleh para ilmuwan dan sejarawan Barat.

Sejarawan Italia, Brands Johny Burkz mengatakan, “Kesejahteraan dan kepemimpinan menjauh dari umat Islam dikarenakan mereka tidak mau mengikuti petunjuk Al Qur’an dan mengamalkan hukum dan undang-undangnya. Padahal sebelumnya sejarah telah mencatat bahwa generasi awal Islam meraih kejayaan, kemenangan, dan kebesaran. Musuh-musuh Islam tahu rahasia ini, sehingga mereka menyerang dari sisi ini. Ya, kondisi kehidupan umat Islam sekarang ini suram, karena tidak pedulinya umat ini terhadap kitabnya, bukan karena ada kekurangan dalam Al-Qur’an atau Islam secara umum. Yang obyektif adalah tidak benar menganggap sisi negatif dengan menghakimi ajaran Islam yang suci.”

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم