Ruruh Hapsari, ST
(Pengamat Sosial)
/Politik Identitas Menyeruak/
Dalam pernyataannya, Menteri Agama Fachrul Razi menegaskan tidak boleh ada penistaan simbol keagamaan maupun kekerasan terhadap pemeluk agama lain (CNN Indonesia.com). Tidak boleh ada pemisahan antara identitas keagamaan dan identitas kebangsaan. Bila dua hal tadi dipisah akan menimbulkan radikalisme, sekulerisme dan liberalisme, lanjutnya. "Dalam negara Pancasila, siapa pun, dengan alasan apa pun, tidak diperkenankan melakukan propaganda anti-agama, penistaan terhadap ajaran agama dan simbol-simbol keagamaan, menyiarkan agama dengan pemaksaan, ujaran kebencian, dan kekerasan terhadap pemeluk agama yang berbeda," kata Fachrul.
Fachrul menuturkan agama dan negara saling membutuhkan dalam kehidupan berbangsa. Dia berpendapat penguatan identitas keagamaan dan kebangsaan tak boleh dipisahkan ataupun dipertentangkan.
Seperti diketahui bahwa sejak Basuki Tjahaya Purnama menistakan Alquran, rakyat Indonesia seakan terbelah. Sejak itu pembelaan terhadap Islam, Alquran dan kaum muslimin menyeruak dengan terjadinya aksi 212. Jutaan kaum muslimin di seluruh Indonesia tumpah ruah.
Menyuarakan pembelannya terhadap Islam Alquran juga kaum muslimin. Seakan kekuatan yang dahsyat ini sedang bangkit dan ditakuti lawan. Sinyal ketakutakan ini ditangkap oleh pemerintah. Sehingga bentuk peredaman agar rakyat tidak bergejolak dilakukan dalam bentuk apapun.
/Intoleransi Menjadi Target/
Dalam pernyataannya, menag mengangkat kasus intoleransi yang dimaksud seperti pelarangan upacara peringatan kematian Ki Ageng Mangir di, Yogyakarta. Pelarangan ibadah Natal di Sumatera Barat serta penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah di berbagai daerah.
Toleransi di Indonesia sudah berjalan ratusan tahun. Terbukti tidak ada penyerangan antar mereka, dan tidak ada yang harus dikhawatirkan. Seperti toleransi yang sudah berjalan di Banten. Di tengah Kesultanan Banten lama yang merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Banten yang berdiri sejak abad 16 Masehi oleh Sultan Maulana Hasanuddin. Ia merupakan putra salah satu Wali Songo, Sunan Gunung Jati, berdiri sebuah vihara bagi agama Buddha dengan nama Vihara Avalokitesvara yang telah berdiri sejak 1652 sampai sekarang. Sekitar 800 meter dari vihara, berdiri sebuah masjid yang juga menjadi ikon Banten, yakni Masjid Agung Banten. Sampai sekarang dua bangunan itu masih berdiri tegak tanpa ada kerusuhan (Kompas.com).
Sementara di Malang terdapat gereja Immanuel yang berdampingan dengan masjid jami' kota Malang. Mereka juga saling menghormati rutinitas ibadah masing-masing tanpa ada kericuhan selama kurang lebih 150 tahun (Suara Jatim. id).
Jakarta sebagai ibukota juga terdapat Istiqlal dan Katedral yang berdampingan tanpa ada permasalahan antar keduanya. Sehingga toleransi bukan lagi hal yang harus diajarkan lagi kepada bangsa ini.
Sementara pelarangan upacara peringatan kematian Ki Ageng Mangir dan penyerangan jamaah Ahmadiyah terdapat perbedaan fakta. Hal ini bukan termasuk kasus intoleransi.
"Jangan-jangan ada penyimpangan agama atau kepercayaan,” ujar Kepala Polisi Resor Bantul Ajun Komisaris Besar Polisi Wachyu Tri Budi Sulistiyono. Ia membantah polisi menghentikan upacara kematian Ki Ageng Mangir. Menurut dia, polisi datang ke lokasi untuk mengamankan agar tidak terjadi konflik, tambahnya (Tempo.co). “Polisi tidak menghentikan. Kami hanya minta upacara dipercepat karena rawan konflik,” kata Wachyu.
Begitu pula pada jamaah Ahmadiyah. Sejak 1980 MUI menyatakan aliran ini sesat, maka seiring itulah terjadi banyak penyerangan terhadap mereka. Karena dianggap jamaah Ahmadiyah tidak kembali pada ajaran Islam yang lurus. Dan sikap kurang tegasnya pemerintah terhadap mereka yang disinyalir ada peran asing dibalik penyebarannya.
/Islam Menjawab Permasalahan/
Dalam Islam, toleransi sudah bukan hal asing dan tidak pernah ada permasalahan tentang hal itu. Sejarah mencatat dengan tinta emas bagaimana toleransi yang terbangun di Madinah pada masa Rasulullah. Islam dan Yahudi berbaur di dalam pemerintahan yang satu dengan sistem aturan Islam. Penduduk non muslim pun ikut berjihad di bawah bendera ar royah. Semua itu dilandasi oleh keimanan. Semua aktivitas bila didasari dengan adanya ruh iman, maka amal yang dihasilkanpun tanpa paksaan. Dalam surat Al Kafirun juga telah jelas batasan bagaimana bertoleransi itu. Bukan memburu non muslim untuk beribadah sesuai ajaran Islam. Negara juga harus melindungi seluruh warga negaranya dari kasus yang demikian.
Namun bila dalam masyarakat terdapat aliran sesat, maka negara harus tegas mengantisipasinya. Seperti yang terjadi pada jamaah Ahmadiyah. Negara sebagai institusi pelindung ummat harus melakukan cara-cara antara lain tabayyun. Setelah jelas apa yang mereka lakukan maka langkah berikutnya adalah melakukan mediasi. Kemudian melakukan diskusi dan argumentasi yang jelas bahwa apa yang mereka lakukan itu melenceng. Namun bila cara-cara tadi tidak digubris maka harus diambil langkah tegas dengan memerangi mereka. Seperti yang terjadi pada Musailamah Al kadzab.
Bila negara menjadi pelindung rakyat dengan dasar ideologi yang sohih maka keamanan juga persatuan akan tercipta. Tentunya rahmat Allah juga akan teraih. Wallahu alam. []