Oleh : Wafi Mu'tashimah
(Siswi SMAIT Al-Amri)
Isu pemindahan ibu kota kembali menjadi 'trending topic' dimasyarakat saat ini. Karena hampir disetiap aspek pembangunan, asing dan aseng ikut turun tangan didalamnya.
Dilansir dari Tempo.co, Presiden Jokowi mengumumkan bahwa akan melibatkan ahli-ahli dari luar negeri dalm pembangunan ibu kota yang baru. Diantaranya, Mohammad Bin Zayed, putra mahkota Abu Dhabi, sebagai ketua Dewan Pengarah pembangunan, karena prestasinya dalam membangun kota Masdarai. Lalu Perdana Menteri Inggris Tony Blair, karena pengalamannya dibidang pemerintahan. Dan CEO Soft Bank Masayoshi Son, karena reputasinya yang baik dibidang teknologi dan keuangan.
Keikutsertaan asing dalam proyek ini memungkinkan mereka akan meminta imbalan suatu hari nanti kepada pemerintah Indonesia atas jasa mereka. saat diteliti kembali, ternyata aseng juga turut mengambil bagian tersendiri. Dari fakta ttersebut aroma bagi-bagi mega proyek untuk oligarki pun tercium. Ditambah pemerintah berencana hanya akan membiayai 19% dari total kebutuhan pembangunan ibu kota baru. Sisanya aan diserahkan ke swasta. Ini mirip seperti PPPC (Public Private Patner Ship). (Merdeka.com)
Karena negara hanya membiayai 19% dari total kebutuhan pembangunan, Indonesia saat ini tengah menyasar Bank Asian Infrastructure (AIIB) yang berbasis diBeijing agar mengalirkan dana ke proyek ibu kota baru. Dan dalam hal ini pihak AIIB tidak terlalu mempersalahkan. (Tirto.id)
Pasti bukan tanpa sebab Cina mau mengalirkan dananya keIndonesia. Negeri yang sedang mendominasi perekonomian dunia ini simpanan udang dibalik batu. Ada maksud tersembunyi dibalik ketersediaan mereka.
Dalam Deptbook Diplomaci: Cina's Strategic Generating of It's New Found Economic Influence and the Conference for U.S. Foreign Policy (2018), 2 akademisi Harvard Kennedy School, Sam Parker dan Gabrielle Chefitz mengatakan, bahwa berbagai investasi yang dilakukan Cina adalah untuk kepentingan politik luar negerinya. Kepentingan ini antara lain, untuk menguasai Laut Cina Selatan dan menembus batas perairan wilayah lain. (Tirto.id).
Tidak hanya sampai disitu, fakta membuktikan bahwa telah banyak negara yang tak mampu membayar utang kepada Cina harus menggadaikan kedaulatan mereka pada negara ini. Bisa dengan memberikan beberapa wilayahnya ataupun mendukung semua kebijakan Cina atas mereka walaupun merugikan masyarakat.
Bukti akan hal diatas dapat dilihat pada Tajikistan. Bagaimana saat negara tersebut tidak mampu mampu membayar hutang kepada Cina dan menggantinya dengan memberikan tanah seluas 1.158 Km persegi . Lalu begitu pula saat Srilanka tak sanggup membayar hutangnya proyek pembangunan bandara Hambantonta yang mengalami kerugian operasional yang besar. Akhirnya, dalm kesepakatan restrukturisasi utang akhir tahun 2017, sebesar 70% dari pelabuhan itu disewa dan dioperasikan Cina. Kesepakatan ini memberi pemerintah Sri Lanka pendapatan senilai US$ 1,4 miliar. Namun uang itu harus digunakan untuk melunasi utang ke Cina.
Hal senada juga terjadi pada Brunei Darussalam. Pada tahun 2014, Brunei dan Cina membentuk Brunei Tuangi Economic Corridor untuk melonjak perekonomian kedua negara, hasilnya negara tersebut tidak banyak protes terhadap klaim Cina atas kuasa nya diLaut Cina Selatan.
Sudah banyak negara yang menjadi korban dari Investasi mereka dengan Cina. Setelah mengetahui hal ini, seharusnya pemerintah menolak dana dari Cina, bukan malah meminta. Apakah Indonesia ingin menjadi korban selanjutnya?. Walhasil inilah akibat dari diterapkannya sistem kapitalistik di negeri ini. Sistem yang hanya memperhatikan kepentingan dan keuntungan bagi pemilik modal tanpa melirik pada rakyat sedikitpun. Maka, saat ini pilihan terakhir hanyalah mengganti sistem ini dengan islam. Karena hanya islam lah yang menyejahterakan seluruh masyarakatnya, tidak hanya mementingkan pemilik modal saja. Karena islam adalah rahmatan lil'alamin bukan rahmatan lilaghnia'i. Wallahu a'la bishowab