Nur Sholeha
“Eh- eh, ada si buruk rupa.”
“Ada nenek ompong, ups!”
“Ih jerawatnya banyak banget, perawatan sana!”
“Boro-boro perawatan. Beli skincare aja paling nggak kuat hahaha.”
“Hahaha sobat miskin dateng. Dulu kaya sekarang jadi sobat miskin, haha.” aku paham, semua hinaan itu mengarah kepadaku.
Ya, semua orang di kelas selalu menghinaku karena rupaku yang tak seperti dulu. Termasuk seseorang yang ku kagumi juga ikut menghina, dan menjauhiku.
Aku tak tahan mendengar semua hinaan mereka. Aku berlari ke luar kelas, dan memilih berlari ke arah taman untuk menangisi keadaan.
“Almahyra, masa kamu gitu aja baper, sih?” suara cempreng Zahra menggema di telingaku tapi aku tetap tidak peduli jika kupingku berdengung akibat teriakan Zahra.
“Jangan dengerin Omongannya Yusuf, dan teman-teman lainnya, ya.” aku tetap diam tidak mengeluarkan sura sedikitpun. Hatiku masih sakit karena semua orang menghina, dan meremahkanku. Seoalah-olah aku adalah orang yang paling menjijikkan di dunia ini.
“Kok nangis, sih!” aku menoleh ke arah Zahra yang melihat wajahku berderai air mata. Aku melihat jelas raut khawatir di wajahnya, aku memeluknya dan menangis sejadi-jadinya.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki mencela kumpulan yang lain, boleh jadi yang di cela itu lebih baik dari mereka. Dan jang pula sekumpulan perempuan mencela kumpulan lainnya, boleh jadi yang dicela itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Hujuraat:11) aku melepas pelukanku dari Zahra. Aku mengernyit karena tidak begitu paham dengan ucapan Zahra.
“Allah Ta’ala melarang dari perbuatan sikhriyyah terhadap manusia, yaitu sikap merendahkan orang lain dan menghina mereka. Dalam hadits Nabi tatkala beliau bersabda, ‘Sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain’ maksudnya adalah menghina dan menganggap orang lain lebih rendah, adalah perbuatan haram.” aku mengangguk paham setelah Zahra menyelesaikan ucapannya.
“Kamu harus sabar ya, Alma. Zahra yakin Alma bisa ngelewatin ini semua. Nggak usah didengerin omongan Yusuf, atau omongan temen-temen yang ngatain kamu buruk rupa, jelek, jerawatanlah, omponglah, sobat miskin, dan omongan yang menyakitkan. ” aku menghela nafas lega mendengar ucapan Zahra, merasa bebanku hilang karena kalimat-kalimat indahnya.
“Zahra, makasih kamu sudah selalu ada buat aku. Selalu member--” “sssttttt... aku ini teman kamu, sahabat kamu. Jadi, sudah sepantasnya aku menolong sahabatku.” seulas senyum terbit di wajah Zahra.
“La Tahzan Innallaha ma’ana. Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” aku mengangguk dan tersenyum tulus ke arah Zahra.
***
Setelah pulang sekolah, Zahra berkunjung ke rumah kecilkuepatnya kontrakan kecil yang disewa sama Umi dan Abiku. Kini, aku dan keluargaku tinggal di kontrakan yang kecil. Sebelum perusahaan yang Abi kelola bangkrut, hidupku terasa nikmat, aku dengan sombongnya membangga-banggakan kemewahan yang aku punya, dan membanggakan parasku yang nyaris sempurn. Hingga Allah mengambil semuanya dariku. 2 hari setelah Abiku mengalami kebangkrutan, aku mengalami kecelakaan hingga membuat gigi depanku hilang, membuat fisikku tak sempurna lagi.
Dulu, ketika keluargaku masih tercukupi aku masih sering melakukan perawatan, kini semuanya tak terurus termasuk wajah dan tubuhku, sudah tidak ada lagi perawatan, sudah tidak ada lagi shoping harian. Setelah mengetahui keadaanku yang sekarang, teman-temanku menjauhiku, menghinaku, mencela, dan meremehkanku.
Hanya Zahra lah yang mau berteman denganku. Aku bersyukur karena Allah telah mengirimkanku sahabat setulus Zahra yang masih mau berteman dengan si buruk rupa ini.
“Zahra,” Zahra menghentikan aktifitasnya bermain laptop.
“Hm?”
“Allah maafin aku nggak, ya?” aku menunduk malu mengucapkan kalimat itu. Zahra yang semula menghadap ke arah laptop, beralih menghadap ke arahku.
“Al-ghafur, Ar-rahim...” lagi-lagi aku mengernyit karena sama sekali tidak paham ucapan Zahra, “Allah Maha pemaaf, Maha pengampun, dan Allah Maha penyayang.” imbuhnya dengan senyum yang menghiasi wajah ayu-nya.
“Tapi, aku merasa nggak pantes gitu, merasa udah jauh banget sama Allah. Inget Allah aja pas aku butuh, pas aku lagi sedih. Aku merasa dibodohin oleh dunia, nyeselnya pas semuanya sudah berantakan. ” aku terisak ketika kalimat itu lolos dari mulutku.
“Jangan gadaikan akhiratmu dengan duniamu. Bahkan, bagi orang-orang muslim dunia bagaikan penjara, dan bagi orang-orang kafir dunia bagaikan surga (terasa nikmat).” aku masih terisak. Hingga tidak bisa menjawab ucapan-ucapan Zahra.
“Kamu tahu, nikmat yang Agung itu nikmat iman dan nikmat islam.” aku semakin menangis kala mengingat dulu sebelum aku seperti saat ini. Almahyra yang dulu, adalah Almahyra yang sombong, yang lupa nikmat-nikmat Allah, terlalu sibuk dengan dunia. Ya, aku terlalu jauh dari Allah, bahkan sangat jauh.
Aku menggeleng mengingat semua dosa-dosa yang pernah ku buat, “Aku nggak pantes, Ra.”
“Bertaubatlah sebelum nyawa sampai kerongkongan. Kita nggak pernah tahu Ma kapan maut akan menjemput kita. Maka dari itu, saat di dunia harus memperbanyak amal sholih. Percayalah, Allah mengampuni hamba-hamba-Nya yang bertaubat.” Zahra menyodorkan tissue kepadaku. Ku ambil lembaran tissue dari tangannya, menghilangkan air mata yang masih terus mengalir.
“Insyaa Allah, Ra, aku siap untuk memperbaiki semuanya. Siap untuk lebih dekat lagi dengan-Nya.” seulas senyum ku tunjukkan padanya, meskipun air mataku terus mengalir. Zahra memelukku, dan kamipun menangis bahagia secara bersamaan.
“Allahku, terimakasih engkau mengirimkan sahabat sepertinya. Lindungilah dia selalu, aku menyayanginya...”
[]