Oleh: Puji Ariyanti
(Ibu dan pemerhati generasi)
Seperti dilansir CNN Indonesia, Perum Bulog menyatakan akan membuang 20 ribu ton cadangan beras pemerintah yang ada di gudang mereka. Nilai beras tersebut mencapai Rp160 miliar. Menurut aturan yang berlaku yaitu Permentan nomor 38 tahun 2018, beras yang disimpan melebihi empat bulan berpotensi atau mengalami penurunan mutu, maka harus dimusnahkan.
Betapa ironis dan sangat disayangkan padahal 19,4 juta orang Indonesia tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan (Warta Ekonomi.co.id 3/4/2018) Kemiskinan makin marak di setiap sudut negeri. Bayi dan anak-anak terpapar gizi buruk, kurang gizi, stunting dan lain sebagainya.
Menurut mantan kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) Rizal Ramli era Presiden Abdurrahman Wahid Penyebabnya adalah sisa impor ugal-ugalan yang dilakukan Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita bersama para menteri pendukungnya senilai Rp 160 miliar. (3/12/'19)
Kuota impor yang ditetapkan pemerintah terlalu besar tahun lalu. Makanya sisa berasnya masih menumpuk hingga sekarang. Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas) mengatakan: dari total 1,8 juta ton beras yang diimpor, yang terpakai hanya 150 ribu ton. “Sampai sekarang beras kami tidak keluar, kami menyerap terus dari petani, sekarang kebutuhan beras di pasar melimpah, kami tidak bisa operasi pasar", kata Buwas. Stok yang melimpah pun membuat harga beras cenderung turun sejak Februari lalu. (Dkatadata.co.id 16/5'19)
/Jika ditilik dari fakta yang ada benarkah Indonesia membutuhkan import beras?/
Kepala Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementerian Pertanian, Suswandi menyampaikan bahwa produksi gabah kita dalam satu tahun mencapai 5 juta ton yang jika dikonversikan akan menjadi 3 juta ton beras. Sementara, kebutuhan konsumsi nasional adalah sekitar 2,6 juta ton beras. Artinya kita masih surplus sekitar 400 ribu ton. (detik.com 17/1/18)
Dengan kondisi seperti itu mestinya pasokan dalam negeri akan lancar. Yang pada akhirnya akan berkorelasi terhadap stabilnya harga beras. Sehingga kita tidak perlu lagi impor.
Kondisi pasar pangan di Indonesia sungguh menyedihkan. Bayangkan Aktivitas pasar pangan hampir 100% diwarnai aksi kartel atau monopoli. Bagaimana peran Perum Bulog dalam menjaga kestabilan harga pangan dalam negeri? Perum Bulog hanya berkontribusi sekitar 6%. Artinya, 94% pasar pangan di negeri ini dikuasai pelaku kartel.
Kondisi tersebut jelas merugikan masyarakat karena harga pangan dikendalikan oleh para kartel yang bisa menentukan harga seenaknya. Situasi ini sudah berlangsung lama, tetapi sepertinya tak ada upaya menghentikan. Dengan kata lain, terjadi pembiaran.
Kondisi pasar pangan yang memprihatinkan tersebut bukanlah isapan jempol karena masalah tersebut dibeberkan langsung Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas). Memberi ruang hidup yang subur para pelaku kartel menjadi kontradiktif atas langkah pemerintah selama ini yang terus berupaya menstabilkan harga pangan. Sebab, kekuatan kartel yang bisa mengendalikan harga di pasar selain mengancam ketidakstabilan harga juga bisa menjadi pendorong laju angka inflasi yang tinggi.
Buruknya masalah Pangan Nasional adalah buah dari kebijakan liberalisme yang mengadopsi ekonomi kapitalisme.
World Trade Organization (WTO) yang dirumuskan sejak 1/1/1995 adalah Kerangka liberalisasi perdagangan komoditi pertanian yang tertuang dalam Perjanjian Umum Bidang Pertanian atau Agreement on Agriculture (AoA). Hal ini semakin meliberalkan seluruh pasar pertanian mulai dari hulu hingga ke hilir. Termasuk mengizinkan masuknya transnational corporation (TNCs). Akibatnya, persaingan bebas dan konsep survival of the fittest berlangsung antara korporasi raksasa dengan petani-petani kecil.
Indonesia sebagai anggota WTO "dipaksa" membuka seluruh pasar pertanian bagi dunia internasional. Kebijakan yang membingungkan. Di satu sisi Bulog adalah sebuah instrumen tata niaga beras petani. Namun di sisi lain justru Pemerintah membuka kran liberalisasi perdagangan. Seharusnya Bulog diberi kewenangan mengelola tata pangan bagi masyarakat, bukan malah bersaing dengan pihak korporasi. Sungguh ironi.
Tidak salah jika selama ini antara para pejabat terkait seolah masih saja abai akan peran dasar mereka dalam melayani urusan bahan pangan pokok negara yang besar ini. Sistem kerja yang terdesentralisasi dan minim antisipasi, tak pelak menunjukkan keseriusan kerja yang gagal. Padahal mengelola ketersediaan beras sebagai bahan pangan pokok, adalah bagian dari ikhtiar untuk mencapai target periodik yang terukur dan terencana.
Semua ini melengkapi bukti bahwa Negara korporasi lebih melindungi kepentingan pebisnis dibanding menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Mereka mempermainkan hajat hidup rakyat.[]