Oleh: Puji Ariyanti
(Ibu dan pemerhati generasi)
Narasi radikalisme yang semakin menyeruak di permukaan seakan memposisikan bahwa Indonesia berada dalam darurat "radikal". Dengan seksama, terfokus pada isu radikalisme dan deradikalisme Islam melalui diksi horor "waspadai kaum jihadis”, “khilafah”, “wahabi”, dan lain-lain.
Hal ini menimbulkan kontroversi nasional. Sehingga masjid, kampus, majelis taklim, BUMN patut mewaspadai munculnya gejala ini. Bahkan Pendidikan Usia Dini (PAUD) pun dicurigai sebagai tempat pembibitan radikalisme.
Pembelajaran dan penilaian hasil belajar Tahun Pelajaran 2019/2020, terkait kemampuan siswa untuk mencapai suatu Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang harus dimiliki peserta didik pada setiap tingkat, kelas atau program, yang membahas tentang Pemerintahan Islam (Khilafah) dan Jihad yang tercantum dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 165 Tahun 2014 dinyatakan tidak berlaku. Kemudian diperbarui dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 183 Tahun 2019.
Dilansir CNN Indonesia Revisi terhadap konten-konten ajaran terkait khilafah dan jihad dalam pelajaran agama Islam di Madrasah melalui Kementerian Agama (Kemenag) ditegaskan dalam Surat Edaran B-4339.4/DJ.I/Dt.I.I/PP.00/12/2019 yang ditandatangani Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah Kemenag Ahmad Umar.
Kemenag melakukan revisi terhadap kompetensi inti dan Kompetensi Dasar (KI-KD) untuk pengarusutamaan moderasi beragama serta pencegahan paham radikalisme di satuan pendidikan madrasah.
Dalih Kemenag dalam pembahasan khilafah dan jihad tidak dihapus tapi diperbarui agar lebih konstruktif dan produktif. Hal demikian akan memberikan framing jahat, bahwa ajaran Islam bila dipelajari sesuai dengan pemahaman kitab mu’tabar akan bersifat destruktif dan kontraproduktif.
Akan tetapi jika memberi makna baru pada ajaran islam tentang Khilafah dan Jihad yang sejalan moderasi berarti menghadirkan makna ajaran islam tanpa landasan kitab mu’tabar.
Sejarah harus diberikan secara utuh sehingga siswa akan tahu apa saja peristiwa masa lalu dan sejarah yang pernah terjadi dalam perkembangan kebudayaan atau peradaban Islam. Materi tentang sejarah, apalagi tentang perkembangan Islam, tidak bisa diberikan sepotong-sepotong dan harus diberikan secara utuh sebagai pembelajaran. Sebab, jika diberikan secara lengkap justru akan membantu siswa memahami sejarah itu dengan benar.
Materi tentang Khilafah dan Jihad itu tetap harus ada dan jangan dihapuskan. Sejarah merupakan rentetan peristiwa yang lampau dan harus dipahami oleh para siswa sebagai sebuah pengetahuan dalam kurikulum pembelajaran. Demikian dengan sejarah Islam yang diberikan utuh membantu siswa memahami dengan benar makna Khilafah dan Jihad yang sesungguhnya.
Di tengah derasnya arus liberalisasi di kalangan umat terkhusus umat muslim. Mempertanyakan dan mengulik sejarah Islam yang telah terpatri di sepanjang peradaban Islam yang merupakan bagian dari khazanah adalah suatu kejahilan luar biasa.
Jika siswa tidak memahami bahkan tidak mengetahui sama sekali makna Jihad juga seruan Khilafah, Upaya deislamisasi terhadap ajaran Islam justru akan menimbulkan rentetan peristiwa yang memilukan bagi generasi di masa depan.
Upaya deradikalisasi Islam dengan menghapus materi Jihad dan Khilafah pada kurikulum madrasah, sejatinya semakin mengaburkan pemahaman generasi kita. Sehingga lenyaplah dalam mengenal jihad/perang atas dasar perintah Allah SWT. Hal ini akan menjadi pintu permisivisme atas bentuk segala paham. Muslim tidak lagi mengenal agamanya secara mengakar. Sehingga Idealisme sebagai muslim akan ditinggalkan seiring gencarnya moderasi Islam.
Inilah langkah liberalisasi terselubung. Dengan membumikan Islam Moderat mencerminkan propaganda asing, di mana ada sebuah upaya yang diharapkan menjadi jalan tengah dan diklaim sejalan dengan inti ajaran Islam.
Tentu saja hal ini akan membawa dampak yang buruk dan mengarah kepada benih-benih kekacauan. Karena Islam sendiri telah sesuai dengan fitrah manusia yang melekat erat dengan seluruh syariat-Nya[]
Wallahu' Alam Bissawab[]