Oleh: Wafi Mu'tashimah
(Siswi SMAIT Al-Amri)
Masalah Badan Penanggulangan Jaminan Sosial (BPJS) masih belum juga tuntas. Semenjak dibentuknya, BPJS telah menuai berbagai polemik. Mulai dari hukumnya, lalu transaksinya yang sarat dengan riba, dsb. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri, pada tahun 2015, berfatwa bahwa hukum BPJS adalah haram. Dengan kenyataan ini, Indonesia yang mayoritas masyarakatnya muslim, masih menggunakan hingga saat ini.
Tidak luput pula, apa yang disampaikan oleh pemerintah. Bahwasanya pemerintah hanya menyediakan layanan dasar, selepasnya negara berlepas tangan atas layanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat. Dilansir dari Tempo.com. Menteri Kesehatan (MenKes), Terawan Agus Putranto menyalahkan pelayanan dokter yang berlebihan pada pasien, apalagi operasi caesar sebagai penyebab defisitnya anggaran BPJS.
Ia juga menyalahkan pemasangan ring jantung diIndonesia yang termasuk termurah se-Asia Tenggara. (Kompas. Id). Padahal, saat kita cermati, bukankah BPJS kesehatan dibuat untuk menjamin keselatan rakyat? Lalu kenapa saat para dokter hanya menjalankan tugasnya disalahkan? Inilah salah satu kesalahan pemerintah dan BPJS itu sendiri.
Indonesia saat ini terus menggunakan produk barat. Hal ini dilakukan meskipun dengan fakta bahwa produk barat (seperti BPJS) sudah terbukti memiliki banyak sekali mudharat. Karena barat saat ini menggunakan sistem kapitalisme yang telah rusak dari asasnya. Sistem ini menafikkan adanya andil tuhan dalam membuat aturan. Padahal fitroh segala sesuatu yang diciptakan jika memakai aturan dari selain yang menciptakan pasti akan rusak. Perhatikan saat HP menggunakan aturan mesin cuci pasti akan rusak. Begitu pula manusia saat memakai aturan dari selain yang menciptakan juga akan rusak sebagaimana HP tadi.
Dalam islam, salah satu tugas pemerintah adalah menjamin kesehatan rakyatnya, dan Islam melarang pemerintah menggunakan uang rakyat untuk menjalankan tugasnya. Negara sudah semestinya memiliki keuangan sendiri untuk memenuhi kebutuhan para pejabatnya agar fokus untuk melaksanakan fungsi dan kewajibannya sebagai ri'ayah su'unil ummah'. Karena dalam sebuah hadits dinyatakan:
"Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, dan ia dimintai pertanggung jawaban atas urusan rakyatnya" (Hr. Bukhari) .
Hal ini terealisasikan pada masa masih adanya daulah Islam. Bekas-bekas kegemilangan peradaban Islam dalam menjamin kesehatan warganya masih tetap ada hingga saat ini. Beberapa diantaranya adalah Rumah Sakit An-Nuri, yang merupakan RS pertama yang dibangun, didirikan tahun 706 M oleh khalifah Abdul Malik dari Khilafah Umayyah. Lalu Rumah Sakit Baghdad, di Bagdad, yang dibangun oleh Khalifah Harun Ar Rasyid. Juga Rumah Sakit Ahmad Bin Thulun, RS pertama di Kairo yang memiliki manajemen perawatan yang paling modern dan spesifik pada masanya.
Tanggung jawab para Khalifah dalam mengatasi masih kesehatan pun, dalam dilihat dalam sejarah. Ingat kisah Abu Ubaidah Bin Jarrah ra. Bagaimana saat beliau menjadi gubernur Syam, dan saat itu di Syam sedang merebak penyakit tha'un yang mematikan, hingga Khalifah Umar Bin Khattab, memerintahkan beliau untuk segera keluar dari Syam. Tapi beliau menolak karena paham betul atas pertanggung jawaban diakhirat kelak atas rakyat yang dipimpinnya. Dan pada akhir hayatnya beliau meninggal karena penyakit tersebut.
Maka, dari sini terbukti kan? Bahwa hanya islamlah solusi bagi masalah-masalah kesehatan yang sekarang tengah melanda umat. Dan solusi ini tidak akan terealisasikan dalam kehidupan, kecuali dalam naungan Daulah Islam semata. Wallahu a'lam bishowab.[]