Apa di Balik Polemik Materi Khilafah dan Jihad di Kurikulum Madrasah?



Oleh : Saptaningtyas
(Muslimah Peduli Generasi, Palembang)

Belum lama menjabat, kementrian agama seolah tak berhenti bermanuver membuat kebijakan yang menuai kontroversi. Usai kebijakan terkait pengawasan masjid dan majelis taklim, Kemenag kemudian berencana menghapus materi khilafah dan jihad dalam kurikulum pendidikan agama Islam di madrasah.

Penghapusan istilah khilafah dan jihad tertuang Surat Edaran B-4339.4/DJ.I/Dt.I.I/PP.00/12/2019. Surat edaran itu ditandatangani oleh Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah Kemenag, Ahmad Umar pada 4 Desember 2019. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah radikalisme. Kemenang kemudian menginstruksikan menarik semua mata pelajaran yang mengandung konten khilafah dan jihad.

Terang saja keputusan Kemenag ini menabuh gaduh. Bagaimana tidak, khilafah dan jihad adalah bagian dari ajaran Islam. Dalam fiqh siyasi, khilafah merupakan bagian dari khazanah pemikiran politik Islam yang pernah diterapkan dalam sejarah Islam.

Keputusan Kemenag ini ditolak Wakil Ketua Komisi VIII DPR dari Fraksi Golkar Ace Hasan Syadzily. Ia meminta Menteri Agama Fachrul Razi tak perlu menghapus konten ajaran tentang khilafah dan jihad dalam pelajaran agama Islam di madrasah CNNIndonesia.com, Senin (9/12).

Nada tak sependapat juga disampaikan Ketua Umum DPP Persatuan Guru Madrasah Indonesia (PGMI) Syamsuddin. Ia menilai, jika ingin menangkal paham-paham radikal, caranya bukan penghapusan materi secara total. Sebab, jika hal itu dilakukan, menurut dia, akan menutupi sejarah yang pernah terjadi dalam peradaban Islam.

Usai viral dan menuai banyak kritik, Kemenag kemudian memberikan penjelasan tidak ada penghapusan materi melainkan pengalihan. Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah, A Umar, mengatakan materi kekhalifahan semula berada di mata pelajaran Fikih beralih ke Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) dengan diarahkan sebagai wawasan terkait keragaman sistem pemerintahan. Perubahan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) No 183 tahun 2019 tentang Pedoman Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Bahasa Arab di Madrasah serta KMA No.184 tahun 2019 tentang Pedoman Implementasi Kurikulum pada Madrasah.

/Moderasi Islam dan Islamofobia/

Pengkajian mendalam terhadap kebijakan yang diambil oleh Kemenag terhadap ajaran Islam dan umatnya, menunjukkan bahwa negeri yang berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia ini seolah sedang mengidap Islamofobia. Lihat saja, atas nama proyek deradikalisasi, diambilah kebijakan sertifikasi ulama, pengawasan masjid dan majelis taklim, dan kini hendak ada perubahan kurikulum terkait materi khilafah dan jihad.

Tidak ada hentinya. Islam dan ajarannya terus dituduh. Radikalisme dan terorisme disematkan pada umat Islam. Jihad dan khilafah dianggap inspiratif bagi lahirnya radikalisme dan terorisme. Dengan demikian deradikalisasi adalah deislamisasi. Deradikalisasi tak ubahnya menyuburkan Islamofobia.

Sekalipun wacana penghapusan materi khilafah dan jihad dari kurikulum madrasah tidak terjadi melainkan dialihkan dari pelajaran fikih kepada SKI, namun wacana ini tetap saja tidak menghilangkan stigma negatif Islam. Kesan yang diperoleh tetap sama, khilafah dan jihad tetaplah diposisikan sebagai materi ajar yang mesti 'dipinggirkan' . Hanya dipelajari sebatas romantika sejarah, tanpa tuntutan untuk diterapkan. Lain halnya jika ia dibahas dalam bab fikih, maka akan jelas kedudukannya sebagai bagian dari seruan yang diwajibkan Allah bagi umat Islam.

Artinya, peralihan ini sama halnya dengan melanggengkan moderasi Islam. Sedangkan moderasi Islam sejatinya adalah upaya menjauhkan umat Islam dari ajaran Islam yang paripurna. Islam seakan diperlemah dengan dibelah dalam dua bagian, Islam religi dan Islam politik. Ajaran Islam hanya boleh diterapkan pada aspek religi semata seperti sholat, zakat, haji, dzikir, doa, dan semisalnya. Sementara ajaran Islam yang mengatur urusan politik, pemerintahan, ekonomi, pertahanan, hubungan luar negeri dan semisalnya dikategorikan sebagai Islam politik yang harus dimarginalkan. Hingga sering digaungkan jargon, "Jangan bawa-bawa Islam untuk urusan politik."

Inilah fakta moderasi Islam. Tidak diperkenankan ada Islam politik. Bagi yang menghendaki ajaran Islam diterapkan secara menyeluruh kemudian distigmatisasi sebagai radikal. Hal ini juga yang menjadi asal mula deradikalisasi hingga berujung pada dimarginalkannya ajaran khilafah dan jihad.

Upanya Islamofobia dan moderasi Islam ini sejalan dengan harapan negara-negara penjajah barat seperti Amerika Serikat. Telah nyata bagaimana AS menggaungkan 'war on radikalism' setelah strategi 'war on terorism' yang juga disematkan pada umat Islam.

Strategi ini dilakukan barat untuk membendung kebangkitan umat Islam. Sebab keberadaan Islam politik dianggap sebagai ancaman bagi hegemoni barat. Apabila umat Islam bangkit secara politik, maka barat akan kehilangan tempat untuk menerapkan sistem keuangan ribawinya, maupun sistem politik dan hukum kapitalisnya yang telah gagal menyejahterakan masyarakat. Maka untuk menutupi keburukannya, kemudian mereka menuduhkan khilafah dan jihad sebagai ancaman, tidak relevan dan lain sebagainya.

Strategi menjauhkan umat Islam dari ajaran Islam yang hakiki pernah dilakukan oleh penjajah. Adalah Snouck Hurgronje seorang tokoh Orientalis Barat berhasil melemahkan upaya perjuangan bangsa melawan penjajah dengan menjauhkan Islam politik dari dada kaum muslimin. Dia memahami bahwa sumber kekuatan umat adalah pada ajaran Islam itu sendiri. Dengan berbagai cara kemudian ia berhasil mengubah pemikiran dan sudut pandang muslimin terhadap ajaran Islam. Umat menjadi sekular, memisahkan Islam dari kehidupan, hingga umat Islam berhasil dirusak dan dilemahkan karenanya.

/Khilafah dan Jihad Ajaran Mulia/

Dengan demikian upaya memarginalkan khilafah dan jihad adalah sebuah kesalahan besar. Khilafah dan jihad adalah bagian dari ajaran Islam, bagian dari fikih Islam. Ulama mu'tabar tidak ada yang menyelisihi bahwa khilafah dan jihad adalah sebuah perintah Allah, bahkan wajib hukumnya.

Ketika kita meyakini bahwa Islam adalah agama yang haq yang diturunkan Allah SWT, maka sudah sepatutnya bagi umat Islam untuk memahami dan meyakini ajaran Islam secara menyeluruh. Oleh karenanya, ketika Islam disampaikan kepada para generasi muslim harus juga disampaikan secarah utuh, agar anak-anak memahami ajaran Islam secara utuh pula.

Apabila kita meyakini bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam, maka sudah pasti khilafah dan jihad juga akan membawa rahmat bagi semesta alam. Khilafahlah sistem pemerintahan yang mampu menjamin diterapkannya syariah Islam secara kaffah. Sementara syariah Islam adalah muara datangnya rahmat Allah.

Khilafah juga mampu menjaga persatuan umat. Kebinekaan adalah sebuah keniscayaan, namun bisa disinergikan dan dipersatukan oleh khilafah hingga hampir 2/3 dunia selama lebih dari seribu tahun lamanya.

Begitu pula halnya dengan jihad. Jihad adalah kewajiban yang mulia. Jihad terbukti memberikan spirit pada bangsa untuk terlepas dari penjajahan. Semangat jihad ini kelak yang akan menjadikan bangsa ini kuat. Sejalan dengan cita-cita bangsa untuk menghapuskan segala bentuk penjajahan di atas dunia.

Demikianlah ajaran - ajaran Islam semestinya didudukkan. Tidak selayaknya dimarginalkam ataupun di-reinterpretasi-kan yang justru dapat mengubah makna dan tujuan sebuah syariat yang diturunkan oleh Sang Maha Pencipta. Sebab tiada pantas manusia yang lemah ini mengubah makna, meminggirkan, mengerdilkan, menafikan apalagi berusaha menghapus ajaran dan perintah Allah Yang Maha Kuasa.
Wallaahu’alam.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم