Antara Pendidikan Islam dan Metode Menghafal



Oleh : Widya Fauzi
(Revowriter Bandung)

Menghafal ialah kebiasaan orang-orang shalih. Dulu mereka sangat menghargai ingatan yang kuat dan menganggap pengembangan ingatan untuk menghafal sebagai salah satu tujuan pendidikan. Mereka terdiri dari ulama-ulama Hadits, ulama-ulama fiqih bahkan para ulama ahli Qur'an.

Akhir-akhir ini muncul paradigma yang menyatakan bahwa metode hafalan telah berakhir dan harus digantikan oleh metode yang lebih maju, yaitu metode pemahaman. Metode hafalan dianggap sebagai metode yang sudah kuno yang tak memiliki nilai kreativitas.

Benarkah demikian?

Kata menghafal berasal dari kata  حفظا – يحفظ – حفظ yang berarti menjaga, memelihara dan melindungi. Dalam kamus Bahasa Indonesia kata menghafal berasal dari kata hafal yang artinya telah masuk dalam ingatan tentang pelajaran atau dapat mengucapkan di luar kepala tanpa melihat buku atau catatan lain. Kemudian mendapat awalan me- menjadi menghafal yang artinya adalah berusaha meresapkan ke dalam pikiran agar selalu ingat. Kata menghafal dapat disebut juga sebagai memori.

Menurut penelitian terbaru, menghafal mampu meningkatkan kinerja otak. Semakin banyak menghafal maka sel-sel dalam otak akan berkembang dan saling menyambung menjadi satu dalam kesatuan yang lebih luas. Maka dampaknya adalah otak/ingatan akan lebih kuat,tidak mudah lupa dan lebih cepat dalam mengingat/menyimpan Informasi/Ilmu. Menurut Majdi Ubaid Al-Hafizh dalam buku 9 langkah mudah menghafal al-qur’an, daya ingat bisa diperkuat dengan latihan-latihan. Riset menunjukan adanya peningkatan kemampuan otak sebesar 30% bagi orang yang terbiasa latihan setidaknya 12 menit setiap hari. Erick Johnson, 1985 menegaskan bahwa ada sel-sel urat saraf yang berkembang saat kita menghafal. Artinya bahwa menghafal memiliki pengaruh yang besar untuk memperkaya sel-sel otak dan menambah ikatan di antara satu sel dengan sel yang lain.

Namun, saat ini konsep menghafal sudah mulai ditinggalkan bagi sebagian besar pelajar. Bahkan ada wacana akan dihapuskan dalam proses kegiatan belajar mengajar. Seorang Pendidik dan Peserta didik lebih memilih metode lain dalam mengelola informasi atau ilmu yang dipelajarinya. Menghafal dianggap membosankan, menyita waktu lama dan tidak ramah otak. Menghafal dianggap kurang efektif dalam pembelajaran.

Sangat disayangkan sekali ketika metode menghafal sudah mulai ditinggalkan, dianggap kuno dan tidak ramah otak.

Mengapa?

Karena jika kita lihat dari sudut pandang Islam, sebenarnya metode menghafal adalah metode yang sangat penting. Dimana metode menghafal ini menjadi dasar dalam Pendidikan Islam. Hal ini sejalan dengan Islam yang telah lebih dulu mengenalkan konsep pendidikan anak usia dini pada umatnya dalam bentuk institusi pendidikan disebut Kuttab. Kuttab muncul pertama kali di zaman Nabi, kemudian  menyebar  ke  berbagai  negara  seiring  dengan  penyebaran  Islam.  Kuttab adalah  tempat  utama  di  dunia  Islam  untuk  mengajari  anak-anak. 
Adapun tahapan belajar yang diterapkan merujuk pada Hadits tahapan belajar dalam Islam yakni :

1. Pendengaran sebelum penglihatan

2. Hati sebelum akal

3. Membaca sebelum menulis

4. Menghafal sebelum menganalisa

5. Iman sebelum al-Qur’an

Bukankah seseorang akan mampu memahami, menganalisis dan mengaplikasikan suatu ilmu jika orang tersebut telah menghafal dengan baik dan benar?

Bagaimana mau memahami, menganalisis dan mengaplikasikan suatu ilmu dengan cepat, efektif dan efisien jika tidak ada hafalan ilmu yang tersimpan dalam otak, ingatan dan hatinya.

Jika sudah demikian, otak sudah tidak berfungsi maksimal sebagaimana mestinya. Ilmu-ilmu yang seharusnya di hafal dan tersimpan dalam otak, kini tersimpan dalam buku-buku, HP, Komputer dll. Maka yang terjadi pelajar zaman sekarang sangat sedikit sekali meyimpan ilmunya dalam otak/ingatan. Mereka lebih memilih cara praktis, cara instan untuk menyimpan ilmu.  Jika sewaktu-waktu ilmu yang telah dipelajari akan digunakan mereka segera membuka ilmu tersebut dalam buku catatan, HP dan Komputer. Maka ketika buku, HP, Komputer hilang, hilang pula-lah ilmu yang sudah dipelajarinya.

Memang, dunia pendidikan tidak boleh menghasilkan SDM yang hanya pandai menghafal tanpa memahami makna dan menginternalisasi pemahamannya. Akan tetapi jika pemahamannya itu tidak dilandasi pada tuntunan wahyu, maka ia hanya akan menghasilkan generasi materialistik dan egois saja.

Pada akhirnya akankah dunia pendidikan mencapai hasil akhir yang diinginkan, yakni lahir Insan-Insan beriman berilmu yang mampu menjadi lentera penerang  tidak hanya di dunia tapi juga di akhiratnya?

Wallahu'alam bish Shawab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم