Oleh: Rina Yulistina, SE
Kontributor Muslimah Voice
Hari batik Nasional yang jatuh pada 2 Oktober silam, disambut dengan harapan baru oleh Pemkot Madiun. Ya, Pemkot Madiun berambisi untuk memperjuangkan batik lokal khas Madiun dengan cara mempromosikan hasil kerajinan batik Kota Madiun ke tingkat nasional dan internasional. (radarmadiun.com)
Ambisi yang dimiliki oleh Pemkot menjadi angin segar bagi pembatik lokal. Terdapat 33 perajin batik yang rutin memproduksi tergabung dalam PKBKS, lima diantaranya bersertifikasi. Mereka membuat paguyuban dan sempat melakukan study banding ke Solo. Selain itu, terdapat pelatihan membatik disetiap kelurahan yang telah disediakan sarana dan prasarana. (radarmadiun.com)
Dengan mengoptimalkan produksi batik diharapkan perekonomian para pembatik meningkat, apalagi batik telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan dunia. Bukankah itu menjadi sesuatu kebanggaan tersendiri oleh Bangsa ini?
Kebanggaan memiliki warisan dunia memang layak untuk dijaga dan dilestarikan, ambisi yang dimiliki oleh Pemkot Madiun layak diapresiasi. Namun sayang ditengah gema gempitanya para pembatik dan Pemkot ada mara bahaya yang menyayat yaitu banjirnya impor kain batik dari China. Banjirnya impor bukan hanya terjadi di tahun ini saja berdasarkan data BPS selama tiga tahun terakhir (2016-2018), volume impor kain terus meningkat dengan tren sebesar 31,80%. Pada 2016, impor kain tercatat sebesar 238.219 ton, kemudian pada 2017 naik menjadi 291.915 ton, dan terus naik menjadi 413.813 ton pada 2018.
Negara asal impor kain, di antaranya China, Korea Selatan, Hongkong, dan Taiwan. Volume impor kain Indonesia terbesar berasal dari China dengan pangsa impor sebesar 67,86% pada 2018, kemudian 63,61% pada 2017, dan 61,42% pada 2016 dari total impor Indonesia.
Sudah bisa dibayangkan bagaimana nasib perajin lokal jika pasar yang seharusnya menjadi surga bagi produk lokal dilahap oleh produk impor. Apalagi harga kain China jauh lebih murah dibanding lokal. Ini adalah masalah dan tak bisa dibiarkan. Pengrajin dan pemkot tak bisa berjuang sendiri. Karena permasalahan ini tidak hanya menyangkut di kota Madiun saja namun seluruh perajin Indonesia menerima getah dari kebijakan pemerintah pusat.
Pada dasarnya ada peraturan Menteri Perdagangan terkait impor yaitu Nomor 64/M-DAG/PER/8/2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 85/M-DAG/PER/10/2015 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil. Namun fakta dilapangan peraturan tersebut seperti macan ompong yang tak bisa menggigit.
Perjanjian perdagangan bilateral antara China dan Indonesia yang mendasari adanya impor. Kebijakan impor yang dilakukan oleh Indonesia merupakan bukti nyata betapa lemahnya posisi politik ekonomi internasional sehingga bisa didekte oleh negara lain. Indonesia tak memiliki power untuk mencegah impor, keikutsertaan Indonesia dalam ajang G20 menambah daftar hitam ketidak sangguban bangsa ini untuk mandiri. Indonesia menjadi sasaran empuk pangsa pasar dunia. Inilah wujud kapitalisme global mencengkeram negara ini, mengobrak abrik kedaulatan rakyat.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh Islam, di dalam ekonomi dan politik internasional islam perjanjian perdagangan sangat diperhartikan. Jika perjanjian tersebut membuat negara tak berdaulat dan rakyat sengsara maka perjanjian tersebut diputus. Islam mengajarkan untuk tidak mudah impor, impor hanya dilakukan jika bernar benar kondisi negara tak sanggub memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga tak ada jalan keluar yang lain selaim harus impor.
Sudah selayaknya islam tidak hanya dipraktekan dalam hal ibadah sholat dan puasa saja, namun dalam hal yang lainnya islam mempunyai seperangkat aturan yang jelas.[]