Oleh : Septa Yunis
(Analis Muslimah Voice)
Rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta dipindah ke Kalimantan semakin massif disuarakan. Gagasan ini adalah gagasan lama, sudah berapakali pemerintahan dan Presiden Republik ini mengucapkan hal itu. Mulai dari Sang Pendiri Republik, Ir Soekarno hingga yang terakhir adalah Presiden Joko Widodo.
Dilansir dari detikfinance.com (16/8/2019) Wacana memindahkan ibu kota tercetus saat Bung Karno berada di Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada 17 Juli 1957. Saat itu Sukarno mengunjungi kota itu bersama Duta Besar Amerika Serikat Hugh Cumming Jr, Dubes Uni Soviet D. A. Zhukov, serta Sri Sunan Pakubuwono XVII. Presiden berada di Palangkaraya untuk menancapkan tiang pancang bakal kota itu. Ia sempat berkata bahwa Palangkaraya yang artinya 'Tempat Suci, Mulia dan Agung' itu akan dijadikan Ibu Kota Negara.
Di Era Jokowi, wacana pemindahan ibukota didengungkan sejak tahun 2017. Alasan pemindahan ini didasari oleh salah satunya karena Jakarta yang dianggap sudah terlalu padat. Alasan lain adalah upaya memeratakan kesejahteraan agar tidak hanya terpusat di Jawa. Selain itu, banjir dan macet juga menjadi pertimbangan untuk memindahkan pusat pemerintahan Indonesia. Wacana yang awalnya dinilai hanya wacana, tampaknya diseriusi benar oleh Presiden Jokowi. Hal ini dibuktikan dengan Presiden Jokowi meminta izin kepada DPR terkait hal tersebut. Seperti yang dilansir detikfinance.com, Pagi ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta izin kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memindahkan ibu kota ke Kalimantan dalam pidato kenegaraan di Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI. Selain itu, Jokowi juga sudah berkunjung ke Kalimantan untuk mengecek ibukota yang baru.
Jika benar alasan pemindahan ibukota adalah macet dan banjir, Jokowi telah mengkonfirmasikan kegagalannya mengurus negara. Hal ini sebenarnya menampar Jokowi sendiri, pasalnya dalam kampanyenya Jokowi menyampaikan akan menangani keruwetan yang ada di Jakarta, termasuk banjir dan macet. Namun faktanya, dengan pemindahan ibukota, Jokowi terkesan melarikan diri dari permasalah Jakarta yang paling kompleks.
Rencana pemindahan ibukota ini, banyak mendapat sorotan dari berbagai pihak, salah satunya Pengamat Tata Kota Nirwono Yoga dari Universitas Trisakti, dirinya menilai rencana ini juga sebagai hal yang sia-sia. perencanaan pemindahan ibu kota yang tidak matang juga dapat berdampak buruk ke depannya. Nirwono mencontohkan Putrajaya di Malaysia dan Canberra di Australia yang diibaratkannya seperti “kota mati” karena tidak dapat menarik masyarakat sebab tidak memiliki denyut kehidupan seperti di kota biasanya.
Suara lain datang dari Pengamat ekonomi dari INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) Bhima Yudhistira Adhinegara menyatakan bahwa ada dampak lain yang muncul dari rencana pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta. Jika hal itu terjadi, Bhima memprediksi masyarakat di sekitar ibu kota baru akan dirugikan dan kondisi itu akan turut menciptakan inflasi.
Selain itu, pemindahan ibukota ini akan memekan anggaran yang tidak sedikit. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan biaya yang dibutuhkan untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke kota lain di luar Pulau Jawa sekitar Rp323 triliun – Rp466 triliun. Hal ini akan berpotensi terjadinya mega korupsi dalam proyek pemindahan ibukota tersebut.
Jokowi seharusnya mengkaji ulang untuk pemindahan ibukota tersebut. Selain memakan anggaran yang tidak sedikit, proyek ini di duga kuat ada kaitannya dengan OBOR (One Belt One Road) yang diprakarsai oleh China. Seperti diketahui, 23 Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/Mou) antara pebisnis Indonesia dan China telah diteken setelah pembukaan KTT Belt and Forum Kedua di Beijing, Jumat (26/4/2019). Menteri Koordinator Bidang Maritim Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, dengan ditekennya MoU ini, berarti proyek kerja sama Indonesia dan China One Belt One Road (OBOR) atau yang dikenal dengan sebutan empat koridor siap dilaksanakan.
Pemerintah seharusnya melihat risiko gagal bayar proyek-proyek yang diinisiasi OBOR ini. Sri Lanka contohnya, setelah tidak mampu membayar utang, akhirnya Pemerintah Sri Langka melepas Pelabuhan Hambatota sebesar US$1,1 triliun. Jika Ibu Kota baru negeri tercinta ini dibangun dengan menggunakan dana dari OBOR, ketika gagal bayar maka Ibu Kota Indonesia akan menjadi milik China?
Selain resiko yang diakibatkan proyek OBOR, kegagalan-kegagalan yang dialami beberapa negara akibat pemindahan ibukota, seharusnya menjadi pertimbngan Jokowi. Seperti diketahui, Berdasarkan catatan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), ada beberapa bukti konkret pemindahan ibu kota berakhir dengan kegagalan. Seperti Australia yang memindahkan ibukotanya ke Canberra menjadi contoh konkret. Wilayah tersebut sambung, justru sepi dan tidak diminati oleh penduduk setempat untuk bermukim dalam jangka waktu lama.
Ini seharusnya menjadi contoh dan pertimbangan, namun sepertinya Jokowi enggan untuk mempertimbangkannya. Karena bisa jadi, pemerintah sudah disetir oleh kepentingan para kapitalis Asing. Inilah pemerintahan jika tidak bisa berdaulat, hanya akan menjadi cukong para kapitalis asing dan aseng. Dan hanya bisa bersembunyi dibawah ketiak Asing. Ironis sekali.[]