Oleh : S Fitriah Kurniawati, Amd.Kep
Harga bawang putih beberapa hari terakhir kian menjulang. Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) Selasa (7/5) mencatat, rata-rata harga bawang putih nasional mencapai Rp63.900 per kilogram (kg) (cnnindonesia.com/10/05/2019). Harga bawang putih di DKI Jakarta sudah tercatat Rp87.500 per kg. Harga bawang putih di beberapa daerah bahkan ada yang sudah menyentuh Rp100 ribu (cnnindonesia.com/08/05/2019).
Krisis pangan kini mengancam hampir seluruh pelosok dunia, tanpa terkecuali Indonesia. Penyebabnya tidak lain adalah kenaikan harga produk pangan yang sulit terbendung . Semua harga bahan pokok naik pada angka yang tidak masuk akal, salah satunya nya adalah bawang putih dan bawang merah, jenis bumbu ini adalah jenis pangan yang wajib ada di setiap masakan dan secara otomatis pasti ada di setiap dapur rumah tangga. Tetapi kenaikan kedua jenis bahan pangan ini sangat di rasakan dan di keluhkan para ibu rumah tangga.Ini hanya sebagian komoditas pangan yang harganya naik meroket, tetapi pastinya akan disusul oleh komoditas - komoditas pangan lainnya.
Semua ini tidak lepas dari kebijakan organisasi dunia yang terus mendorong liberalisasi perdagangan. Negara- negara berkembang yang sebagian besar di Asia justru terperangkap dengan kebijakan meliberalisasi sektor pangan.
Di dalam negeri dampak kenaikan harga kedua komoditi ini pasti akan diikuti oleh komoditas pangan lainnya, seperti beras, gula, minyak goreng dan lain sebagainya.
Ironisnya berbagai kebijakan pertanian dan pangan yang diambil pemerintahtidak masuk akal, mulai harga cabe yang naik dan salah satu menteri menganjurkan tanam cabe di rumah masing - masing, harga beras naik dan salah satu menteri menganjurkan jangan makan beras tapi beralih ke singkong, harga daging sapi naik dan kembali solusi yg di utarakan adalah masyarakat di anjurkan konsumsi keong.
Tidak hanya itu, pemerintah Indonesia melakukan langkah privatisasi dan liberalisasi terhadap produk pertanian dan pangan yang berakibat pada dikuasainya sektor pertanian dan pangan nasional oleh swasta dan asing. Akibatnya rakyat semakin sengsara. Apalagi saat ini rakyat mengalami permasalahan di segala bidang mulai kenaikan BBM, kenaikan TDL, biaya kesehatan yang mahal, bahkan diberitakan BPJS akan di naikkan, serta krisis pendidikan. Dan ini terjadi juga sebagai akibat dari dampak kebijakan pemerintah yang melakukan liberalisasi perdagangan, industri, pertanian ,kesehatan dan pendidikan.
Untuk mengatasinya, jelas diperlukan suatu sistem alternatif yang mampu mengatasi krisis pangan akibat dari rusaknya sistem kapitalisme. Dan sistem alternatif tersebut harus mampu mengatasi permasalahan pangan mulai dari hulu sampai hilir. Dan sistem alternatif itu adalah sistem ekonomi Islam.
Sistem ekonomi Islam yang di terapkan oleh Negara Khilafah di yakini mampu mengatasi masalah krisis pangan. Sebagai sebuah agama yang sempurna, Islam memiliki konsep dan visi dalam mewujudkan ketahanan pangan. Islam memandang pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi per individu. Seorang pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak bila ada satu saja dari rakyatnya yang menderita kelaparan.
Syariah Islam juga sangat menaruh perhatian pada upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan. Dalam Islam, tanah-tanah mati yaitu tanah yang tidak tampak adanya bekas-bekas tanah itu diproduktifkan, bisa dihidupkan oleh siapa saja baik dengan cara memagarinya dengan maksud untuk memproduktifkannya atau menanaminya dan tanah itu menjadi milik orang yang menghidupkannya itu. Rasul bersabda; “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud).
Selanjutnya, siapapun yang memiliki tanah baik dari menghidupkan tanah mati atau dari warisan, membeli, hibah, dsb, jika ia telantarkan tiga tahun berturut-turut maka hak kepemilikannya atas tanah itu hilang. Selanjutnya tanah yang ditelantarkan pemiliknya tiga tahun berturut-turut itu diambil oleh negara dan didistribusikan kepada individu rakyat yang mampu mengolahnya, tentu dengan memperhatikan keseimbangan ekonomi dan pemerataan secara adil.
Syariah Islam juga menjamin terlaksananya mekanisme pasar yang baik. Negara wajib menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi pasar, seperti penimbunan, kanzul mal (QS at-Tawbah [9]: 34), riba, monopoli, dan penipuan. Negara juga harus menyediakan informasi ekonomi dan pasar serta membuka akses informasi itu untuk semua orang sehingga akan meminimalkan terjadinya informasi asimetris yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku pasar mengambil keuntungan secara tidak benar.
Dari aspek manajemen rantai pasok pangan, kita dapat belajar dari Rasul saw yang pada saat itu sudah sangat konsen terhadap persoalan akurasi data produksi. Beliau mengangkat Hudzaifah ibn al-Yaman sebagai katib untuk mencatat hasil produksi Khaybar dan hasil produksi pertanian. Sementara itu, kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand bukan dengan kebijakan pematokan harga.
Praktek pengendalian suplai pernah dicontohkan oleh Umar bin al-Khaththab ra. Pada waktu tahun paceklik dan Hijaz dilanda kekeringan, Umar bin al-Khaththab ra menulis surat kepada walinya di Mesir Amru bin al–‘Ash tentang kondisi pangan di Madinah dan memerintahkannya untuk mengirimkan pasokan. Lalu Amru membalas surat tersebut, “saya akan mengirimkan unta-unta yang penuh muatan bahan makanan, yang “kepalanya” ada di hadapan Anda (di Madinah) dan dan ekornya masih di hadapan saya (Mesir) dan aku lagi mencari jalan untuk mengangkutnya dari laut”.
Demikianlah konsep dan nilai-nilai syariah Islam memberikan kontribusi pada penyelesaian masalah pangan. Konsep tersebut tentu baru dapat dirasakan kemaslahatannya dan menjadi rahmatan lil alamin bila ada institusi negara yang melaksanakannya. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengingatkan pemerintah akan kewajiban mereka dalam melayani urusan umat, termasuk persoalan pangan dengan menerapkan syariah yang bersumber dari Allah SWT, pencipta manusia dan seluruh alam raya. Wallahu ‘alam.