Endah Sulistiowati
(Dir. Muslimah Voice)
Sosial media (sosmed) menjadi salah satu momok (hantu) yang menakutkan bagi rezim saat ini. Jamaah fesbukiyah, jamaah whatsap piah, jamaah tweteriyah, serta jamaah instagramiyah mereka memang sudah teruji kesolidannya. Aksi Bela Islam I, II, III semua berawal dari sosmed, mereka para peserta aksi belum pernah saling bertemu ataupun duduk Bersama saling tukar pendapat, tapi mereka bisa bergerak Bersama dalam satu komando dan satu tujuan. Demikian pula Reuni Akbar 212, semua terorganisir rapi dengan sosmed.
Melalui para jamaah sosmed inilah, kecurangan Pemilu 2019 satu per satu terkuak. Kesalahan demi kesalahan rezim pun akhirnya tampak. Meninggalnya panitia KPPS yang mencapai 700 lebih pun terupdate disosmed, yang sampai saat ini menyisakan misteri. Bahkan masyarakat tahu betapa brutalnya Aparat dalam menghadapi aksi massa sampai menimbulkan korban jiwa saat pengumuman KPU 21-22 Juni 2019 juga melalui jejaring sosmed. Demikian sidang MK pun tidak luput dari pantauan umat melalui sosmed, yang hasilnya tentu saja sangat mengecewakan.
Disisi yang lain, banyak dari para pendakwah, ustadz, tokoh, dan lawan politik rezim yang harus menikmati hidup dibalik jeruji besi karena tulisan mereka diakun sosmed melukai rezim. Saking paranoidnya terhadap social media, rezim harus men-shutdown semua medsos pada moment-moment tertentu yang diagendakan rakyat untuk bertemu, berkumpul dan menyuarakan aspirasinya. Luar biasa, ini sebenarnya adalah pengakuan secara inplisit bahwa rezim punya salah terhadap rakyatnya. Kalau rezim tidak bersalah, maka tidak ada alasan menjadikan sosmed sebagai sasaran, apalagi dibatasi dan diawasi.
/Negara Harusnya Mengayomi, Tidak Memata-matai Rakyatnya/
Beberapa waktu lalu bahkan Kepala Staf Kepresidenan mendukung grup Whatsapp untuk dipantau (Jateng.Sindonews.com), sehingga pemerintah bisa mengawasi perbincangan rakyat melalui grup-grup whatsapp. Na'udzubillah, sedemikian paranoidnya rezim ini terhadap rakyatnya sehingga harus masuk keranah-ranah privasi dan menurunkan harga diri mereka sedemikian rupa.
Padahal Islam mengharamkan seorang pemimpin memata-matai rakyatnya (muslim maupun non muslim yang terikat perjanjian dengan negara), dan hal ini termasuk dosa besar. Nabi saw bersabda, artinya, “Sungguh, seorang amir (pemimpin) akan mendurhakai rakyatnya, bila ia memburu kecurigaan pada mereka”. [HR. Abu Dawud dari Abu Umamah].
Ibnu ‘Abbas ra meriwayatkan dari Rasulullah saw, artinya, “Orang yang menyadap pembicaraan orang lain dan mendengarkan apa yang mereka tidak akan suka bila tahu ia telah mendengarnya, kedua telinganya akan dituangi dengan cairan kuningan nanti pada hari Kiamat.” [HR.Thabaraniy dalam Mu’jam al-Kabir].
Seharusnya yang wajib dimata-matai oleh Negara/pemerintah adalah musuh yang mengancam Kedaulatan negeri ini, bukan malah bergandengan tangan dengan mereka. Karena dengan sikap seperti ini akan semakin memperlebar jarak antara rakyat dengan penguasa. Jadi, kalau rakyat sudah tidak percaya dengan pemimpinnya, ini bukan salah rakyat.[]
(Dir. Muslimah Voice)
Sosial media (sosmed) menjadi salah satu momok (hantu) yang menakutkan bagi rezim saat ini. Jamaah fesbukiyah, jamaah whatsap piah, jamaah tweteriyah, serta jamaah instagramiyah mereka memang sudah teruji kesolidannya. Aksi Bela Islam I, II, III semua berawal dari sosmed, mereka para peserta aksi belum pernah saling bertemu ataupun duduk Bersama saling tukar pendapat, tapi mereka bisa bergerak Bersama dalam satu komando dan satu tujuan. Demikian pula Reuni Akbar 212, semua terorganisir rapi dengan sosmed.
Melalui para jamaah sosmed inilah, kecurangan Pemilu 2019 satu per satu terkuak. Kesalahan demi kesalahan rezim pun akhirnya tampak. Meninggalnya panitia KPPS yang mencapai 700 lebih pun terupdate disosmed, yang sampai saat ini menyisakan misteri. Bahkan masyarakat tahu betapa brutalnya Aparat dalam menghadapi aksi massa sampai menimbulkan korban jiwa saat pengumuman KPU 21-22 Juni 2019 juga melalui jejaring sosmed. Demikian sidang MK pun tidak luput dari pantauan umat melalui sosmed, yang hasilnya tentu saja sangat mengecewakan.
Disisi yang lain, banyak dari para pendakwah, ustadz, tokoh, dan lawan politik rezim yang harus menikmati hidup dibalik jeruji besi karena tulisan mereka diakun sosmed melukai rezim. Saking paranoidnya terhadap social media, rezim harus men-shutdown semua medsos pada moment-moment tertentu yang diagendakan rakyat untuk bertemu, berkumpul dan menyuarakan aspirasinya. Luar biasa, ini sebenarnya adalah pengakuan secara inplisit bahwa rezim punya salah terhadap rakyatnya. Kalau rezim tidak bersalah, maka tidak ada alasan menjadikan sosmed sebagai sasaran, apalagi dibatasi dan diawasi.
/Negara Harusnya Mengayomi, Tidak Memata-matai Rakyatnya/
Beberapa waktu lalu bahkan Kepala Staf Kepresidenan mendukung grup Whatsapp untuk dipantau (Jateng.Sindonews.com), sehingga pemerintah bisa mengawasi perbincangan rakyat melalui grup-grup whatsapp. Na'udzubillah, sedemikian paranoidnya rezim ini terhadap rakyatnya sehingga harus masuk keranah-ranah privasi dan menurunkan harga diri mereka sedemikian rupa.
Padahal Islam mengharamkan seorang pemimpin memata-matai rakyatnya (muslim maupun non muslim yang terikat perjanjian dengan negara), dan hal ini termasuk dosa besar. Nabi saw bersabda, artinya, “Sungguh, seorang amir (pemimpin) akan mendurhakai rakyatnya, bila ia memburu kecurigaan pada mereka”. [HR. Abu Dawud dari Abu Umamah].
Ibnu ‘Abbas ra meriwayatkan dari Rasulullah saw, artinya, “Orang yang menyadap pembicaraan orang lain dan mendengarkan apa yang mereka tidak akan suka bila tahu ia telah mendengarnya, kedua telinganya akan dituangi dengan cairan kuningan nanti pada hari Kiamat.” [HR.Thabaraniy dalam Mu’jam al-Kabir].
Seharusnya yang wajib dimata-matai oleh Negara/pemerintah adalah musuh yang mengancam Kedaulatan negeri ini, bukan malah bergandengan tangan dengan mereka. Karena dengan sikap seperti ini akan semakin memperlebar jarak antara rakyat dengan penguasa. Jadi, kalau rakyat sudah tidak percaya dengan pemimpinnya, ini bukan salah rakyat.[]