Oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
(Koordinator LENTERA)
Tahun 2017 pemerintah menerapkan sistem “zonasi” pada penerimaan peserta didik baru (PPDB). Hal ini diatur di dalam Pasal 15-17 Permendikbud No. 17 Tahun 2017. Salah satu latar belakang kebijakan ini adalah agar anak disekolahkan di wilayah yang dekat dengan tempat tinggal. Dengan demikian terkurangi biaya transportasi dan kemacetan lalu lintas. Juga, terhilangkan label sekolah unggulan atau favorit. Di samping itu, siswa yang berkualitas pun tidak menumpuk di sekolah tertentu.
Pada realisasinya, sistem zonasi menuai beragam polemik. Pro dan kontra pun muncul dikarenakan kurangnya sosialisasi dan penerapan yang terkesan mendadak. Di antara hal yang diributkan oleh para orangtua adalah akan hilangnya sekolah unggulan atau sekolah kawasan yang selama ini mereka banggakan. Mereka juga kecewa karena nilai UNAS tidak lagi menjadi syarat utama untuk masuk sekolah negeri.
Tak pelak, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pun menjadi sasaran kritik para orang tua. Mendikbud menegaskan sistem zonasi adalah yang terbaik untuk memperbaiki sistem pendidikan secara radikal. Sistem ini telah di terapkan di sejumlah negara sehingga dunia pendidikan mereka bisa maju seperti sekarang. Badan Litbang Kementerian yang dipimpinnya sudah melakukan kajian terhadap sistem ini jauh sebelum dirinya menjadi menteri.
Mendikbud juga merujuk negara maju seperti Amerika, Australia, Jepang, negara-negara Skandinavia, Jerman, dan Malaysia bisa maju antara lain karena menerapkan sistem zonasi. Persoalan yang dihadapi negara-negara itu pun pada awalnya sama dengan Indonesia, terkait infrastruktur dan kualitas guru yang belum merata. Secara bertahap mereka terus menyempurnakannya sehingga maju seperti sekarang.
Mencermati hal ini, memang sudah seharusnya sekolah negeri menjadi milik rakyat yang fasilitasnya harus merata dan bisa diakses oleh seluruh anak bangsa. Tidak peduli dia kaya atau miskin, tidak memandang dia nilainya bagus atau jelek, tidak membedakan dia berkebutuhan khusus atau tidak. Sekolah negeri tidak hanya untuk anak yang pintar atau mempunyai nilai UNAS bagus.
Menelaah lebih lanjut, jika dikaitkan dengan judul yang memuat istilah “neokomunisasi”, mungkin kita akan sedikit tersentak dengan kata komunis di dalamnya. Secara praktis, neokomunisme berarti bentuk baru dari gerakan komunisme. Jadi neokomunisasi dapat dimaknai sebagai proses penguatan terbenakkannya ide neokomunisme.
Neokomunisme berasal dari kata neo yang berarti baru dan komunisme yang merujuk pada suatu paham yang secara umum berprinsip menolak bentuk-bentuk kepemilikan pribadi/swasta dan beranggapan semua barang/produksi merupakan milik bersama secara sama rata, juga dalam praktiknya menolak adanya agama dan eksistensi Tuhan atau kita kenal dengan atheisme. Paham ini berkembang dari seorang warga negara berkebangsaan Jerman, Karl Marx dalam bukunya yang berjudul Manifest der Komunistischen. Buku ini merupakan dasar dari berkembangnya paham komunisme di seluruh dunia.
Sepintas, memang sepertinya tak nampak kaitan antara “zonasi” dan “neokomunisasi”. Toh yang hendak disajikan dalam ulasan ini pun sebatas “wacana”-nya, yang dengan kata lain masih berupa dugaan kuat. Ini karena melihat output sistem zonasi ke depannya, seperti ada upaya non favoritisasi sekolah negeri. Yaitu agar tidak terjadi lagi kesenjangan antara sekolah favorit dan non favorit. Padahal, andaikata mandat pengelolaan sistem pendidikan di negeri ini memang dijalankan secara sungguh-sungguh, justru solusi bagi pemerataan pendidikan bukanlah dengan zonasi. Melainkan dengan peningkatan kualitas seluruh sarana dan prasarana pendidikan, termasuk di dalamnya kualitas sekolah sebagai fasilitas utama sistem pendidikan formal. Yang artinya, semua sekolah justru bisa menjadi sekolah favorit. Serta pemenuhan hak pendidikan bagi setiap warga negara hingga tercukupi, agar tidak ada lagi anak putus sekolah atau tak mampu bayar uang sekolah.
Pasalnya, dengan zonasi, alih-alih kualitas sistem pendidikan bisa ter-upgrade. Yang mana, kualitas inilah yang masih menjadi PR besar sejak dahulu kala. Tapi yang malah terjadi, di satu sisi, sekolah favorit malah seperti diturunkan grade-nya. Begitu juga anak-anak yang berprestasi. Mereka seperti “dipaksa” bersekolah di sekolah yang non favorit tanpa pilihan lain karena sekolah tersebut yang dekat dengan rumahnya. Padahal, potensi mereka akan jauh lebih terlejitkan ketika belajar di sekolah yang bagus. Sementara di sisi lain, sekolah non favorit juga pasti ngos-ngosan jika dikarbit menjadi favorit. Terlebih, anggaran negara yang tengah terkonsentrasi membayar utang, tentu membuat pembiayaan pendidikan menuju berkualitas, jadi keteteran.
Nah, dari sini jadi semakin nampak, bahwa zonasi saat ini hanya sekedar pemerataan pendidikan dengan tetap mengalpakan kualitas. Jika sudah sampai pada level ini, maka wajar ketika nantinya sekolah-sekolah pasca zonasi menjadi sekolah yang seragam. Yang dikhawatirkan “seragam” dari sisi keburukannya. Namun demikian, suasana ini tak ubahnya ide “sama rasa, sama rata” besutan ideologi sosialisme-komunisme. Akibatnya, sekolah-sekolah akan mudah disetir oleh pemerintah. Sekolah juga bisa jadi lebih mudah menerima pesanan kurikulum ini-itu.
Pada akhirnya, sangat mungkin akan semakin sulit menemukan siswa-siswi yang cerdas lagi kritis di sekolah. Giliran ada satu atau dua siswa yang kritis, maka mendadak dilabeli radikal, garis keras, bahkan dimatikan karakternya, dsb. Hingga siswa tersebut kehilangan kekritisannya. Pola semacam ini sangat lekat dengan praktik-praktik represif ideologi sosialisme-komunisme. Yang oleh karena itu, ulasan ini mencoba mengaitkan keberadaan sistem zonasi era sekular saat ini dengan wacana neokomunisasi.
Pun jika biaya transportasi dan kemacetan lalu lintas dijadikan alasan efektivitas zonasi, maka apakah sistem tata kota dan perencanaan wilayah kita juga sudah memadai? Bukankah alih fungsi lahan mayoritas justru digunakan untuk pemukiman? Dan bukankah infrastruktur juga masih prematur untuk menjangkau semua kalangan? Faktanya bertolak belakang, bukan?
Sebagai ideologi pembanding terhadap sosialisme-komunisme, di sini satu-satunya yang layak hanyalah Islam. Karena sengkarut ideologi kapitalisme global terkini toh juga sudah menohok panca indera.
Islam mewajibkan pemerintah untuk bertanggung jawab penuh dalam pengelolaan pendidikan sesuai dengan hak setiap warga negara. Karena itu, Islam memahami bahwa antara satu sistem dengan sistem lain yang lahir dari ideologinya, adalah saling terkait satu sama lain secara holistik.
Islam tidak mempermasalahkan zonasi dari konsepnya sebagai teknis pengelolaan sistem pendidikan. Akan tetapi, di sini Islam tidak akan alpa dengan penegakan sistem lain yang mendukung sistem pendidikan ketika misalnya sistem pendidikan menghendaki teknik zonasi. Sistem lain tersebut di antaranya, sistem perencanaan wilayah dan tata kota yang efektif dan tepat guna agar semua warga negara mudah mengakses pendidikan ke sekolah-sekolah. Kemudian, perlu adanya sistem transportasi yang memadai, infrastruktur jalan raya anti kemacetan untuk menyangga rute perjalanan, sistem ekonomi untuk pembiayaan gedung sekolah dam fasilitas berkualitas, juga kurikulum yang tidak mendzholimi pengajar dan pelajar, dsb. Islam juga meniadakan standar kemajuan peradaban yang bersumber dari dunia Barat, yang beraroma sekular baik kapitalististik maupun sosio-komunistik.
Jadi intinya, zonasi jangan disandingkan dengan pengelolaan yang ala kadarnya. Pengelolaan sistem pendidikan harus dilandasi tanggung jawab ideologis, di mana pemerintah adalah pihak pengambil kebijakan. Ini semata agar sistem zonasi tak salah arah, lebih-lebih salah kaprah.[]