Hubungan Kurang Tenaga Ahli Rumkit dengan Sistem Zona




Oleh : Eva Fauziyah

(Analis Muslimah Voice)


Di Rumkit alias rumah sakit kalau kita mau bertemu dokter spesialis itu ibarat mencari mutiara di lautan luas. Kalau belum waktunya, tidak akan indah hasilnya.

Saya berpikir begini. Ini sekolah banyak. Tapi jumlah dokter ahli di rumkit-rumkit koq sedikit?
Sepertinya memang sistem pendidikan kita arahnya bukan untuk mencetak tenaga ahli. Saya tidak tahu ya, persisnya jumlah dokter spesialis yang muda-muda yang mengabdi di rumkit-rumkit itu. Tapi pokoknya yang sangat terasa, dokter spesialis yang bertanggung jawab atas pasien rawat jalan atau rawat inap rata-rata dokter senior yang bertugas tidak di satu atau dua rumah sakit saja.

Jadi para ahli yang muda-muda kemana? Apa tidak dicetak? Atau pindah dari Indonesia? Ataukah tidak dipercaya oleh rumkit karena kualifikasi dokter-dokter muda yang tidak sehandal dokter-dokter yang senior yang jam terbangnya tinggi.

Tapi, begini saya sebagai seorang guru merasa bahwa sebagian besar siswa saya atau sebagian lulusan sekolah menengah atas mencukupkan diri setelah lulus dia bekerja. Toh, ijazah sudah bisa dibuat untuk mencari kerja. Memilih langsung bekerja dianggap lebih 'elegan' daripada mencetak diri menjadi tenaga ahli. Bahkan parahnya, ada yang punya main seat bahwa Indonesia tidak bisa menjadi tenaga ahli jadi tidak apa-apa jika tenaga ahli kita ambil dari luar. Dan apa bagaimana dengan Pak Habibi? Beliau orang Indonesia. Dan bagaimana dengan anak-anak berprestasi di olimpiade-olimpiade? Bukan sebagian besar pemenangnya adalah anak Indonesia?

Jadi dimana letak kesalahannya? Sehingga lulusan-lulusan banyak yang tidak tercetak menjadi tenaga ahli.

"Sistem Zonasi Mengurangi Tenaga Ahli"

Akhir-akhir ini ramai dibicarakan tentang runyamnya sistem zonasi yang intinya membuat akses masuk sekolah favorit dibatasi padahal antusias orangtua ingin memasukkan ke sekolah terbaik sangat tinggi dan ini lumrah saja kalau orang tua menginginkan anaknya diusahakan untuk masuk sekolah terbaik.

Sistem zonasi dianggap solusi agar tidak terjadi 'kastanisasi' di antara sekolah-sekolah dan agar terjadi pemerataan akses masuk sekolah. Sehingga tersebar siswa baik yang pintar dan siswa yang tidak pintar.

Tapi yang perlu dicermati ada yang namanya daya saing. Daya saing di sekolah-sekolah favorit itu tinggi dan serius berbeda dengan daya saing di sekolah-sekolah yang tidak favorit, daya saing rendah. Siswa biasanya hanya mencukupkan apa yang ada. Tidak terpicu untuk mendapatkan hal yang lebih tinggi lagi.

Daya saing yang tinggi, virus belajar, fasilitas yang memadai kemudian didukung dengan input siswa yang baik semuanya diolah jadilah output yang baik, calon tenaga ahli untuk negeri ini. Inilah yang terganggu ketika sistem zonasi diberlakukan. Jadi tinggalkan saja sistem zonasi karena itu akan semakin mengganggu lahirnya tenaga-tenaga ahli di negeri ini.

Sekolah Favorit vs Sekolah Non Favorit

Biarkan saja sekolah favorit itu tetap ada. Sekolah-sekolah yang tidak favorit juga harus diubah jadi sekolah-sekolah terbaik dengan menata kurikulum sehingga sesuai dengan perkembangan siswa didik, menambah fasilitas yang mendukung pembelajaran misal jika ada kelas bahasa ya harus ada laboratorium bahasa yang bisa digunakan setiap hari. Membangun keyakinan kepada para siswa didik bahwa menuntut ilmu itu pahalanya tinggi dan jika ilmu itu bisa dimanfaatkan dan disebarkan para akan jadi amal jariyah bagi dia walau sudah meninggal. Dan itu semua telah ada dalam sistem pendidikan Islam.

Jadi bicara-bicara soal rumkit, sebagai guru saya ingin anak didik saya itu banyak yang jadi dokter spesialis dan ahli manajemen rumkit, bukan banyak yang jadi 'cleaning service'.

Mohon dimaafkan. Wallahu a'lam bisshowab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم