Guru Sejahtera, Generasi Terjaga


Oleh: Sriana

(Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)


Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Kata-kata itu sangat melekat di benak kita. ketika ingat betapa besarnya sumbangsih seorang guru dalam mendidik kita. Sejak dari bangku sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Tentunya kita tidak akan bisa membalasnya dengan apapun dan sampai kapanpun.

Profesi sebagai guru pun selalu mendapat tempat mulia di setiap masa. Misi yang diemban pun tak tanggung-tanggung, menghasilkan anak didik yang mampu mengoptimalkan fungsi akal yang di anugerahkan Allah swt, sehingga mampu bersyakhsiah (berkepribadian) Islam.

Terlepas dari berseliwerannya berita-berita yang mengupas sisi kelam oknum yang berprofesi sebagai guru. Pernahkah kita menilik sisi lain dari kehidupan mereka?

Ketika media mengupas dan memviralkan perilaku bejat seorang oknum guru bukan berarti lantas kita menganggap semua orang sama. Toh guru juga manusia biasa. Dibalik ketegasan dan wibawanya di depan siswa, tidak tertutup kemungkinan kealpaan diri melanda mereka.

Bagaimana perasaan kita ketika melihat seorang guru yang terpaksa harus nyambi pekerjaan lain agar dapur mereka tetap mengepul. Karena amprah yang mereka terima sangat tidak logis. Bahkan, profesi sebagai pemulung pun mereka lakoni demi berjalannya roda kehidupan mereka.

Sementara, mereka harus berjibaku dengan tugas mengajar dan mendidik. Sistem PBM yang kadang cukup menyulitkan. Harus berkutat dengan segala macam administrasi sekolah. Proses di atas kertas dituntut lebih sempurna.

Apakah seperti itu makna tanpa tanda jasa? Apakah mereka harus bekerja suka rela?

Sehingga sangat tidak layak ketika seorang kepala negara tidak mengetahui bagaimana keadaan yang sebenarnya. Atau hanya kura-kura dalam perahu. Pura-pura tidak tahu.

Gaji guru honorer yang sangat minim di negeri ini tak pernah habis tuk dibahas. Strata kelas yang sangat tinggi pun bisa kita temukan di dunia pendidikan. Bisa kita bayangkan, layakkah seorang guru yang sudah menghabiskan waktu, tenaga dan hartanya untuk mencerdaskan generasi hanya dihargai 300ribu perbulan.? Bahkan banyak yang kurang dari itu.

Padahal jika dilihat dari kinerja,  kapabilitas mereka, dan profesionalitas tenaga honorer, tidak kalah dibanding yang sudah ASN. Apalagi mereka yang telah mengabdi puluhan tahun dan tetap menyandang gelar honorer abadi, karena tertutupnya kesempatan tuk diakui legal di sebuah instansi tak kunjung datang jua, sementara waktu semakin senja.

Lagi-lagi hati ini begitu rindu dengan cahaya Islam yang begitu adil memperlakukan manusia. Termasuk guru yang keberadaannya sangat diperhitungkan untuk menghasilkan generasi cemerlang.

Pernah pada masa Rasulullah saw, beliau membebaskan tawanan orang kafir saat perang Badar dengan jaminan mereka mau mengajarkan 10 orang anak kaum muslimin, membaca dan menulis

Apalagi kalau berbicara gaji,  tepatnya penghargaan atas jasa seorang guru. Pada masa kekhilafahan gaji seorang guru ngaji sebanyak 15 dinar perbulan. 1 dinar sama dengan 4,25gram emas. Jika misalnya harga emas per gram saat ini kisaran 600ribu, berarti 1 dinar sama dengan Rp. 2.550.000. Jika 15 dinar berarti Rp. 38.200.000/ bulan.

MasyaAllah. Fantastis bukan. Hanya Islam yang mampu menjamin kesejahteraan seperti itu. Sehingga para guru bisa fokus dalam menjalanlan amanah.

Semoga para penguasa negeri ini sadar akan pentingnya menjamin kehidupan para tenaga pendidik. Tanpa mereka apa jadinya generasi kita. Jika ingin mereka optimal menjalankan tugas, maka optimalkan pula hak mereka.

Wallahu'alam bishawab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم