Anak-Anak Gaza dan Kemunafikan Dunia Internasional



Andini Nisaul Qaumy 


Gaza kembali menjadi panggung penderitaan paling nyata dalam sejarah kemanusiaan modern. Sejak agresi brutal Israel kembali digencarkan pada akhir 2023, tak kurang dari 100 anak di Gaza dilaporkan terbunuh setiap harinya (erakini.id 5 April). Jumlah anak-anak yatim pun melonjak hingga menyentuh angka 39.000 jiwa. Angka ini bukan sekadar statistik. Ini adalah potret nyata dari kegagalan sistem dunia dalam melindungi kehidupan yang paling tak berdosa adalah anak-anak.


Sungguh ironis. Di tengah gegap gempita dunia internasional memperingati Hari Anak Internasional dan mendeklarasikan komitmen terhadap hak asasi manusia, justru di Gaza hak paling dasar untuk hidup direnggut secara terang-terangan. Di hadapan kamera. Di hadapan dunia. Namun dunia hanya menatap tanpa bertindak.


 Dunia Diam Karena Sistemnya Rusak


Konvensi internasional, lembaga HAM, hingga Dewan Keamanan PBB—semuanya lumpuh ketika menyangkut kepentingan politik dan ekonomi negara adidaya. Amerika Serikat, sekutu utama Israel, menjadi pelindung utama kejahatan zionis di Gaza. Veto demi veto mereka layangkan agar Israel tidak tersentuh sanksi, seberat apapun kejahatannya.


Dunia melihat anak-anak dibantai, tapi tidak bertindak. Bukan karena tidak bisa, tapi karena tidak mau. Dan ini bukan hanya soal diamnya para penguasa. Ini adalah hasil dari sistem global yang memang tidak dibangun untuk menegakkan keadilan, tetapi untuk melanggengkan dominasi pihak kuat atas yang lemah.


Gaza Butuh Lebih dari Doa dan Donasi


Sudah saatnya kita sadar bahwa solusi untuk Gaza tidak bisa diserahkan kepada lembaga internasional. Donasi, bantuan medis, bahkan boikot sekalipun tidak akan mampu menghentikan rudal dan peluru. Karena yang sedang terjadi adalah penjajahan brutal yang didukung sistem global.


Gaza butuh perlindungan sejati. Bukan dari komunitas internasional yang impoten, tapi dari kekuatan politik dan militer umat Islam sendiri. Dan sejarah sudah membuktikan bahwa satu-satunya institusi yang pernah menjalankan peran itu secara nyata adalah khilafah


Khilafah dan Jihad: Solusi Tuntas, Bukan Retoris


Selama lebih dari 13 abad, khilafah Islam menjadi pelindung kaum Muslim dari penjajahan dan agresi. Khilafah tidak pernah tinggal diam ketika darah umat ditumpahkan. Ia mengirim pasukan, membuka wilayah, dan menjadikan pembelaan terhadap umat sebagai kewajiban syar’i, bukan pertimbangan diplomatik.


Dalam konteks Gaza hari ini, solusi tuntas tidak lain adalah jihad fi sabilillah yang dipimpin oleh negara Islam (khilafah). Bukan jihad individual atau kelompok, tapi jihad institusional yang sah, terorganisir, dan menjadi bagian dari politik luar negeri Islam.


Tanpa khilafah, jihad akan terus tercerai-berai. Umat akan terus teriak tanpa daya. Tapi dengan khilafah, jihad menjadi alat riil pembebasan. Seperti dulu, begitu pula seharusnya kini.


Mengapa Kita Harus Peduli?


Karena setiap Muslim punya kewajiban untuk tidak berpangku tangan melihat saudaranya dizalimi. Karena kelak, anak-anak Gaza yang selamat akan tumbuh dan bertanya: “Di mana kalian ketika kami dibantai?”


Jika kita hanya menjawab, “Kami donasi dan berdoa,” maka itu tidak cukup. Kita harus menjadi bagian dari perjuangan besar untuk menegakkan kembali sistem Islam yang akan melindungi mereka dan seluruh umat dari kedzaliman.


Khilafah dan jihad bukan slogan. Mereka adalah solusi syar’i dan historis terhadap kejahatan sistemik seperti yang menimpa Gaza. Dan perjuangan menuju itu harus dimulai dari kesadaran umat. Kesadaran bahwa sistem dunia saat ini bukan tempat berpihaknya keadilan. Bahwa solusi sejati hanya datang dari Islam, bukan dari demokrasi, bukan dari kapitalisme, dan bukan dari meja-meja PBB.


Jika kita benar-benar peduli pada Gaza, maka saatnya kita perjuangkan solusi yang nyata tegaknya kembali khilafah dan kembalinya jihad sebagai pelindung kehormatan umat.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama