Penulis: Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.
Presiden Prabowo Subianto menerima delapan taipan di Istana Kepresidenan Jakarta, pada Kamis (6-3-2025). Mereka adalah Anthony Salim, Sugianto Kusuma (Aguan), Prajogo Pangestu, Boy Thohir, Franky Widjaja, Dato Sri Tahir, James Riady, dan Tomy Winata.
Dalam pertemuan tersebut, Prabowo menyinggung perihal situasi global maupun Tanah Air. Ia menyampaikan perihal pelaksanaan makan bergizi gratis (MBG), infrastruktur, industri tekstil, swasembada pangan dan energi, industrialisasi, hingga Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara. Pada kesempatan tersebut, ia juga berdiskusi mengenai perkembangan program-program utama yang tengah dijalankan oleh pemerintah. Ia pun mengapresiasi dukungan para pengusaha tersebut terhadap berbagai kebijakan pemerintah.
Menutup Mata
Sayang, momentum tersebut justru bisa dikatakan sebagai preseden buruk bagi kepemimpinan baru ini. Pertemuan itu menunjukkan bahwa penguasa sama saja dengan menutup mata karena para konglomerat itu adalah pihak-pihak yang selama ini menimbulkan banyak masalah di negeri kita.
Tidak tanggung-tanggung, berbagai masalah yang mereka timbulkan cukup pelik dan jelas-jelas membuahkan ketakadilan bahkan kezaliman bagi rakyat kecil. Sebagai contohnya, kasus perampasan lahan di Pulau Rempang, PIK 2, IKN, kelangkaan minyak goreng, judi online, dan lainnya. Alih-alih menindak tegas para pelaku kezaliman yang telah menyusahkan rakyat, pertemuan itu menegaskan bahwa negara justru menjadikan urusan rakyat sebagai bancakan bagi para pemilik modal.
Kita juga bisa membandingkan dengan perlakuan penguasa terhadap berbagai polemik yang melibatkan dan menimpa publik, seperti aksi demonstrasi Indonesia Gelap, fenomena #KaburAjaDulu, dan badai PHK khususnya di PT Sritex. Mengapa penguasa tidak mengundang rakyat/perwakilannya ke Istana, sedangkan mereka nyata-nyata telah menjadi pihak yang butuh didengarkan pengaduannya?
Penguasa Memihak Pengusaha
Sungguh, dengan ini rasanya tidak salah jika kita lantas mengatakan bahwa negara telah tergadai di tangan para taipan. Nyatanya toh memang demikian. Berbagai kebijakan penguasa juga cenderung memihak para konglomerat. Sedangkan rakyat malah menjadi bulan-bulanan serta selalu menjadi korban ketakadilan.
Salah satu contoh yang cukup kasat mata adalah perihal pajak. Di satu sisi, rakyat adalah pihak yang dihujani berbagai jenis pajak secara bertubi-tubi. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) bahkan menjadi dua jenis pajak yang berkontribusi paling besar sebagai sumber pajak dalam postur APBN kita.
Terlebih Kemenkeu baru saja merilis Laporan APBN edisi Februari 2025, yang menyatakan bahwa realisasi penerimaan pajak Januari 2025 tercatat Rp88,89 triliun atau 4,06% dari target, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sebagai pembanding, realisasi penerimaan pajak Januari 2024 mencapai Rp152,89 triliun. Sungguh, ini adalah "kode keras" bahwa pajak akan makin beraneka ragam atau bisa juga dinaikkan nominalnya. Namun ini juga sekaligus sinyal kuat bahwa berbagai subsidi terancam dicabut.
Belum lagi perihal pembiayaan kebutuhan hidup yang lain dari masyarakat, seperti pendidikan dan kesehatan. Meski isu pendidikan gratis telah bergaung sejak masa kampanye Pilpres, nyatanya pendidikan adalah sektor yang babak belur akibat kebijakan efisiensi anggaran. Sektor kesehatan pun tidak kalah karut marut, bahkan sejak pembiayaannya menggunakan skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh BPJS.
Kondisi makin sulit ketika pada Desember 2024 BPJS merilis daftar 144 penyakit yang pengobatannya harus dioptimalkan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). Meski pasien dinyatakan tetap bisa dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (FKTL) atau rumah sakit, namun tentu saja kenyataan di lapangan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada proses birokrasi dan administrasi yang rumit jika hendak berobat ke rumah sakit menggunakan pembiayaan dengan dana BPJS.
Namun pada saat yang sama, penguasa nyatanya memang lebih "sayang" kepada para konglomerat dibandingkan kepada rakyat. Penguasa bahkan rela menggunakan aparat sebagai alat pelindung bagi kepentingan kapitalistik milik para pengusaha, sedangkan semestinya aparat adalah pengayom masyarakat. Hal ini tampak dari sejumlah kasus bentrokan antara aparat dengan warga akibat upaya penggusuran terhadap warga demi realisasi Proyek Strategis Nasional (PSN). Kasus Rempang, IKN, PIK 2, dan proyek Geothermal di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah sedikit bukti nyata dalam hal ini.
Lebih menyakitkan lagi ketika kita menyadari bahwa penguasa memberikan pengurangan pajak (tax holiday), keringanan pajak (tax allowance), bahkan pengampunan pajak (tax amnesty) kepada para pengusaha dengan dalih agar investasi subur dan pertumbuhan ekonomi tercapai. Dengan kekayaan yang mereka miliki, para orang kaya itu juga bisa membeli hukum, bahkan mereka sendiri juga kebal hukum.
Namun lagi-lagi nyatanya PPN dan PPh adalah dua jenis pajak yang diambil dari rakyat dan memiliki porsi paling besar dalam postur APBN. Sedangkan pada saat yang sama, tingkat konsumsi rumah tangga ternyata juga berperan sentral sebagai penopang utama angka pertumbuhan ekonomi di negeri kita. Ini menegaskan bahwa posisi rakyat akan selalu menjadi pihak yang dihisap uangnya oleh penguasa, tetapi kebijakan penguasa tidak pernah memihak rakyat. Bukankah ini menunjukkan bahwa penguasa menipu rakyatnya? Jika sudah begini, layakkah rakyat masih membela sistem yang sejatinya juga tidak pernah melindungi mereka?
Saatnya Meninggalkan Sistem Busuk
Sistem sekuler kapitalisme yang terwujud dalam demokrasi adalah sistem busuk, rusak, dan merusak. Sistem kapitalisme tidak ubahnya hukum rimba, bahwa yang kuat secara keuangan/kekayaan adalah pihak yang menang dan pasti dimenangkan. Ini karena uang/kekayaan adalah sesuatu yang perannya sangat menonjol dalam kapitalisme.
Tidak heran, para pembela dan pengemban ideologi kapitalisme beserta seluruh derivatnya adalah mereka yang begitu memuja dan menghamba pada uang. Kita bisa membayangkan jika wujud kekuasaan beserta pemegang kebijakan di negeri kita seperti itu, tentu saja rakyat kecil akan terus menjadi pihak yang kalah, dikalahkan, bahkan senantiasa dipaksa mengalah.
Rasulullah saw. telah mengingatkan dalam hadis, "Sebaik-baik pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian cintai dan mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian benci dan membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian." (HR Muslim).
Rasulullah saw. juga bersabda, "Seseorang yang diberi amanat oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu mati ketika sedang menipu rakyatnya, maka Allah mengharamkan baginya surga." (HR Muslim). Ini adalah kabar dan sekaligus peringatan dari Rasulullah saw.. Jika ada seorang pemimpin yang menipu rakyatnya, juga memperdaya mereka secara diam-diam atau terang-terangan, ini sungguh musibah besar. Terlebih jika dalam diri pemimpin itu beserta orang-orang di sekelilingnya terdapat sifat ringan berdusta, mudah melempar tanggung jawab, dan tidak malu mengkhianati perkataan sendiri. Inilah sosok pemimpin yang tidak menyayangi rakyatnya.
Lebih dari itu, di dalam kitab Ajhizatu Daulati al-Khilafah fii al-Hukmi wa al-Idarati disebutkan bahwa sistem pemerintahan Islam bukanlah sistem demokrasi menurut pengertian hakiki demokrasi, baik dari segi bahwa kekuasaan membuat hukum—menetapkan halal dan haram, terpuji dan tercela—ada di tangan rakyat, maupun dari segi tidak adanya keterikatan dengan hukum-hukum syariat dengan dalih kebebasan.
Orang-orang kafir memahami betul bahwa kaum muslim tidak akan pernah menerima demokrasi dengan pengertian hakiki itu. Oleh karena itu, negara-negara kafir penjajah (khususnya AS saat ini) berusaha memasarkan demokrasi di negeri-negeri kaum muslim melalui upaya penyesatan (tadhlîl), bahwa demokrasi merupakan alat untuk memilih penguasa.
Mereka mampu menghancurkan perasaan kaum muslim dengan seruan demokrasi, dengan menyatakan bahwa demokrasi adalah alat untuk memilih penguasa. Hal ini bertujuan untuk memberikan gambaran sesat kepada kaum muslim, seakan-akan perkara yang paling mendasar dalam demokrasi adalah pemilihan penguasa. Mereka juga berupaya menutupi dan menyembunyikan bagian mendasar dari demokrasi itu sendiri, yang sejatinya terletak pada tindakan menjadikan kewenangan membuat hukum serta menetapkan halal dan haram berada di tangan manusia, bukan di tangan Tuhan manusia.
Untuk itu, menonjolnya posisi para konglomerat yang difasilitasi oleh penguasa adalah konsekuensi logis dari penerapan sistem sekuler demokrasi kapitalisme dalam kehidupan bernegara. Ini pula yang sedang dipertontonkan di negeri kita. Penguasa bisa seenaknya sendiri mengatur negara padahal membuat rakyat sengsara.
Sungguh, paradigma kepemimpinan Islam adalah memosisikan penguasa sebagai pengurus (raa'in) dan pelindung (junnah) bagi rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda, "Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR Bukhari). Juga dalam hadis, "Sesungguhnya imam (khalifah) itu junnah (perisai), di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya." (HR Bukhari-Muslim).
Sifat yang diberikan oleh Rasulullah saw. bahwa imam adalah perisai (junnah) merupakan pemberitahuan (ikhbâr) yang mengandung pujian terhadap eksistensi seorang imam/khalifah. Ikhbâr ini merupakan tuntutan karena ikhbâr dari Allah dan Rasulullah saw. jika mengandung celaan, merupakan tuntutan untuk meninggalkan sehingga itu berupa larangan. Jika mengandung pujian, itu merupakan tuntutan untuk melakukan.
Jika aktivitas yang dituntut itu pelaksanaannya memiliki konsekuensi terhadap tegaknya hukum syariat atau pengabaiannya memiliki konsekuensi terabaikannya hukum syariat, tuntutan itu bersifat tegas. Dengan kata lain, perintah untuk menaati imam/khalifah merupakan perintah untuk mengangkatnya.
Dalam rangka mengurus urusan rakyat itu, negara Islam (Khilafah) akan menerapkan tata aturan menurut syariat Islam kafah. Khilafah adalah negara mandiri dan bebas dari sandera kepentingan tertentu. Khilafah tidak tunduk kepada manusia, alih-alih para kapitalis, melainkan hanya tunduk kepada aturan Allah dan Rasul-Nya karena kedaulatan hanya ada di tangan hukum syarak. Dengan ini, negara memiliki wibawa dan independensi. Pengaruh gurita kepentingan seperti taipan maupun kapitalis lainnya sebagaimana dalam sistem demokrasi kapitalisme pun bisa dicegah.
Khilafah ditegakkan dalam rangka menyolusi seluruh problematik masyarakat, termasuk sistem ekonomi dan keuangan yang membuat negara mampu menyejahterakan rakyatnya dengan ketersediaan anggaran yang kuat, berkelanjutan, dan tanpa ketergantungan pada swasta maupun pihak asing.
Atas dasar ini, sungguh urgen untuk terus menyadarkan umat dan membuka wawasan mereka perihal kebusukan sistem kepemimpinan sekuler demokrasi kapitalisme. Satu-satunya langkah yang tepat adalah meninggalkan dan membuang demokrasi, bukan lagi memperbaikinya. Pada saat yang sama, perjuangan untuk kembali pada sistem Islam adalah sebuah keniscayaan. Perjuangan penegakannya membutuhkan kontribusi dari kaum muslim seluruhnya tanpa boleh ditawar-tawar lagi. Wallahualam bishshawab.[]