Penulis: Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.
Momentum lebaran Idulfitri 2025 menjadi pendorong pertumbuhan pinjaman di pinjaman online atau pinjol (fintech P2P lending) dan buy now pay later (BNPL) atau paylater perusahaan pembiayaan. Perihal ini Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menjelaskan dalam momen mendekati lebaran memang secara siklus akan terjadi permintaan untuk pembiayaan pinjol dan paylater. Menurutnya, pembiayaan tersebut digunakan untuk keperluan mudik dan berwisata. Mereka yang tidak punya cukup uang, lanjutnya, memilih untuk mencari pembiayaan berupa utang.
Pada momentum menjelang lebaran 2025 ini, dengan kondisi daya beli masyarakat sedang menurun, ini akan berpengaruh pada peningkatan permintaan pembiayaan. Penyaluran pembiayaan ini bahkan diperkirakan bisa lebih tinggi dibandingkan pada kinerja di tahun sebelumnya, mengingat kondisi ekonomi nasional yang sedang tidak stabil. Tidak pelak, realitas peningkatan penyaluran utang tersebut dibarengi dengan potensi meningkatnya kredit macet.
Perilaku Konsumtif Difasilitasi Transaksi Nonriil
PR besar masyarakat, khususnya kaum muslim, menjelang lebaran adalah pola hidup konsumtif. Tidak sedikit dari mereka yang menonjolkan gengsi tiap kali hari raya. Mereka merasa hari raya adalah momentum untuk mengenakan segala sesuatu yang serba baru, mulai dari pakaian, kendaraan, perabotan, hingga rumah. Terlebih karena anak-anak sedang masa liburan sekolah dan para pekerja mendapatkan cuti bersama, tradisi mudik dan silaturahmi turut makin bergeser menjadi agenda jalan-jalan ke tempat wisata.
Bagi kapitalisme, realitas seperti ini tentu sangat menguntungkan karena masyarakat rela membelanjakan uangnya tanpa ragu, bahkan sangat mengesankan pemborosan. Masyarakat toh memang hidup dalam sistem kapitalisme yang landasannya sekuler sehingga gaya hidup konsumtif dianggap sah-sah saja, apalagi momentum lebaran hanya setahun sekali.
Namun sangat disayangkan ketika sikap konsumtif tersebut berimplikasi pada pembiayaan melalui pinjol dan paylater. Kita tidak bisa menampik bahwa investasi digital adalah bagian dari arus deras di era ekonomi 4.0. Mengutip data BKPM (8-1-2025), nilai ekonomi digital Indonesia diperkirakan mencapai US$130 miliar pada 2025 dan akan tumbuh hingga US$360 pada 2030. Ini menandakan adanya potensi besar untuk investasi di sektor ini.
Selain itu, menurut data dari Statista, nilai transaksi e-commerce di Indonesia diperkirakan mencapai US$53,6 miliar pada 2025. Ini menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan pada 2020, yang hanya sekitar US$21 miliar. Platform-platform e-commerce seperti Tokopedia dan Shopee makin mendominasi pasar.
Sektor fintech juga menjadi salah satu pilar utama ekonomi digital. Laporan dari OJK menunjukkan bahwa nilai transaksi fintech di Indonesia mengalami lonjakan, dengan pertumbuhan tahunan mencapai 25% pada 2022. Layanan seperti peer-to-peer lending dan pembayaran digital semakin diminati, terutama di kalangan generasi muda.
Ini semua tentu menjadi ekosistem ekonomi yang cukup subur, bahkan kondusif, bagi perkembangan digitalisasi keuangan. Realitas ini turut didukung oleh sejumlah perusahaan pembiayaan pinjol/paylater yang tidak kalah agresif. Jelas sekali, investasi digital maupun digitalisasi ekonomi adalah kemasan yang menampilkan seolah-olah terjadi kemajuan teknologi keuangan beserta transaksi ekonomi di dalamnya.
Semua ini sekaligus menunjukkan banyak individu masyarakat kita yang tidak punya uang. Demi gaya hidup, mereka sampai rela berutang. Miris, kredit-kredit digital di e-commerce justru menjadi sesuatu yang tidak asing lagi. Kredit ini adalah nama lain utang serta salah satu wujud pinjol. Penggunaan fitur-fitur pada aplikasi keuangan digital itu sejatinya wujud transaksi ekonomi nonriil yang berpeluang menjebloskan para pengguna. Yang pasti, kredit dalam kapitalisme tidak mungkin tanpa bunga (riba), bukan?
Dampak Sistem Sekuler Kapitalisme
Mengelola dan membelanjakan harta adalah salah satu aktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun pada zaman yang didominasi kapitalisme, aktivitas membelanjakan harta bukan lagi semata untuk memenuhi kebutuhan hidup, melainkan cenderung untuk memenuhi keinginan. Akibatnya, muncul gaya hidup konsumtif, yang tidak terkecuali muncul menjelang momentum lebaran.
Perilaku seseorang bisa muncul karena dorongan kebutuhan jasmani. Kebiasaan juga kadang lahir bukan untuk memenuhi kebutuhan fisik, tetapi karena dorongan naluri, seperti naluri baqa untuk eksistensi diri. Dorongan naluri inilah yang sekarang sedang dieksploitasi oleh para pengusaha kapitalis.
Para kapitalis itu membangkitkan naluri masyarakat selaku konsumen dengan berbagai rangsangan dan pemikiran. Dengan berbagai cara mereka mengubah keinginan menjadi kebutuhan, padahal itu adalah kebutuhan semu. Tidak pelak, lebaran yang kental dengan tradisi silaturahmi malah dicederai oleh sejumlah perilaku sampingan yang bisa berakibat fatal seperti jerat pinjol. Lagi-lagi demi gaya hidup.
Lebih buruk lagi, semua ini dinaungi oleh sistem kehidupan yang saat ini negara adopsi. Negara melegalkan berbagai aktivitas yang bertentangan dengan syarak, termasuk memberi ruang bagi pinjol yang legal, yakni selama terdaftar dan diawasi OJK. Sedangkan pinjol bagaimanapun mengandung riba yang dilarang oleh syarak. Ini menegaskan bukti bahwa negara bersistem sekuler tidak berperan menjaga akidah rakyatnya. Tidak kalah ironis, pada saat yang sama rakyat tidak memiliki junnah (perisai) dari penguasa saat rakyat membutuhkan kebijakan ekonomi yang stabil, kondusif, dan tidak rawan PHK.
Mengelola Harta dan Memenuhi Keinginan
Seorang muslim semestinya mengaitkan setiap aktivitasnya dengan tujuan hidup di dunia, yakni dalam rangka beribadah kepada Allah Taala. Ini sebagaimana firman Allah dalam ayat, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS Adz-Dzariyat [51]: 56).
Untuk itu, ia harus berupaya agar apa pun yang dilakukan memiliki nilai ibadah serta mendatangkan rida Allah Taala dan menjauhkan murka-Nya. Hal ini hanya bisa diraih ketika mereka berpegang teguh pada aturan syariat, termasuk dalam membelanjakan hartanya.
Terkait pengelolaan harta, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah dalam kitab Muqaddimah ad-Dustur Pasal 132 menyatakan, “Pengelolaan kepemilikan terikat dengan izin Asy-Syari‘, baik pengelolaan dalam pembelanjaan maupun pengelolaan dalam pengembangan kepemilikan. Dilarang berlebih-lebihan, menghambur-hamburkan harta dan kikir.” (Muqaddimah ad-Dustur, 2/33).
Berikut ini adalah beberapa panduan penggunaan harta milik berdasarkan ketentuan umum tersebut:
Pertama, memastikan status kehalalan harta yang diperoleh. Hanya harta halal yang akan mendatangkan keberkahan dan rida-Nya. Jabir bin ‘Abdillah ra. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Bertakwalah kepada Allah dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR Ibnu Majah).
Kedua, membelanjakan harta sesuai status hukumnya. Semua kewajiban ditunaikan sebelum melakukan perkara sunah dan mubah. Memenuhi kewajiban nafkah (QS 2: 233), membayar utang yang sudah jatuh tempo, dan menunaikan zakat harus didahulukan sebelum digunakan untuk yang lainnya. Rasulullah saw. bersabda, “Jiwa seorang mukmin bergantung karena utangnya sampai utang itu dilunasi.” (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Seorang muslim tidak puas hanya dengan mengerjakan amalan wajib. Ia pun akan terdorong untuk memperbanyak infak sunah, seperti membantu yang kesulitan dan memberi hadiah kepada saudaranya. Banyak nas terkait anjuran untuk mengeluarkan infak sunah dan keutamaannya. Allah berfirman, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya).’ Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.’” (QS Saba’ [34]: 39).
Ketiga, tidak berlebihan dan tidak pula kikir dalam membelanjakan harta (Lihat, misalnya: QS Al-Isra’ [17]: 29; QS Al-Furqan [25]:67). Menurut Imam Ibnu Katsir, maksud dari “israf” (berlebihan) adalah membelanjakan harta dengan cara menghambur-hamburkan dan melebihi kadar yang dibutuhkan. Adapun “taqtir” adalah memangkas pembelanjaan harta sehingga kebutuhan sendiri saja tidak tercukupi. (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anil Adzim, 5/608).
Gaya konsumtif adalah salah satu buah busuk kapitalisme dan juga jebakan untuk memalingkan seorang muslim dari sikap yang harus ia miliki sebagai orang beriman. Seorang muslim semestinya menyibukkan diri dengan kegiatan yang akan mendatangkan rida Allah Taala, seperti giat menuntut ilmu dan terlibat dalam perjuangan menegakkan Islam kafah, bukan terjerumus pada perbuatan sia-sia dan menghambur-hamburkan harta demi memenuhi tuntutan keinginan sesaat.
Lebih dari itu, dalam hal ini sejatinya negara berperan penting untuk mengondisikan suasana takwa di tengah-tengah umat sebagai buah Ramadan sehingga aktivitas mereka sesuai dengan tuntunan syarak dan tidak mudah terjebak arus perilaku konsumtif. Keberadaan pinjol yang meski itu legal, tetap akan Khilafah larang keberadaannya karena memang terdapat riba di dalamnya.
Khilafah justru akan merevitalisasi distribusi harta di tengah-tengah umat, agar tiap individu umat dapat memiliki harta dan meraih kesejahteraan tanpa harus terlibat pinjol. Khilafah mengatur jenis-jenis kepemilikan sehingga tidak akan terjadi privatisasi kepemilikan umum menjadi kepemilikan individu/swasta. Khilafah akan terus mengingatkan para orang kaya yang memiliki kewajiban mengeluarkan zakat maal untuk disalurkan kepada delapan golongan sebagaimana tuntunan Al-Qur’an.
Khilafah juga akan membuka banyak lapangan kerja sehingga para suami/ayah bisa bekerja dalam rangka memenuhi kewajiban nafkah mereka terhadap keluarga yang mereka tanggung. Khilafah memiliki data valid terkait dengan warganya yang berhak mendapatkan pemberian harta dari negara, baik itu berupa harta/uang, modal usaha, maupun tanah untuk dikelola.
Sungguh, Khilafah berfungsi menjaga akidah Islam dalam diri tiap individu rakyatnya, menutup semua celah kemaksiatan, tidak akan melegalkan hal-hal yang bertentangan dengan syarak, serta menerapkan syariat Islam secara kafah. Wallahu'alam bishshawab. []