Pajak Naik; Beban Rakyat Kian Berat




Oleh : Endang Setyowati

Rakyat Indonesia awal tahun ini mendapatkan kado pahit dari pemerintah, yaitu dengan dinaikkannya PPN 12%, beberapa alasannya adalah untuk memperkuat penerimaan negara, pembiayaan untuk infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan program sosial.

Seperti dikutip dari BBCNews, 30/12/2024, Pemerintah akhirnya memutuskan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025, meski dihujani kritik. Kenaikan PPN ini amanat UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan. Beleid itu diteken di masa pemerintahan Joko Widodo.

Pemerintah sempat mengeklaim kenaikan PPN jadi 12% hanya berlaku untuk barang dan jasa premium.
Namun para pakar ekonomi menilai, klaim itu tidak sepenuhnya benar. Semua komoditas, kecuali sembako, akan mengalami kenaikan harga mulai dari proses produksi hingga distribusi.

Lembaga riset ekonomi Celios menghitung jika PPN menjadi 12%, maka kelompok miskin akan mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp101.880 per bulan.
Sementara kelompok rentan miskin diperkirakan bakal mengalami lonjakan pengeluaran Rp153.871 per bulan dan kelompok menengah Rp354.293 per bulan.

Besaran angka itu didapat dengan asumsi inflasi tahun 2025 sebesar 4,1% yang kemudian diolah berdasarkan data pengeluaran rumah tangga dan komoditas yang dikenakan pajak 12%.
Itu mengapa, kenaikan PPN menjadi 12%—seperti diprediksi sebelumnya—tetap akan diberlakukan walaupun menuai keributan di masyarakat. 

Sementara pemerintah belum berani memajaki orang kaya lewat pajak kekayaan. Padahal, perhitungannya, dengan mengambil 1%-2% saja pajak kekayaan per tahun dari 50 orang terkaya Indonesia, pemerintah bisa mengantongi setidaknya Rp80 triliun.
Angka itu lebih tinggi dari target penerimaan negara dengan menaikkan PPN 12% sebesar Rp75 triliun.

Dengan dinaikkannya pajak, serta banyaknya para pekerja yang terkena PHK menjadikan daya beli masyarakat akan menurun, juga banyaknya orang yang menganggur akan memicu adanya kriminalitas untuk melakukan tindakan apa saja agar dapat bertahan hidup, selain itu juga mengakibatkan banyak orang yang putus asa, sehingga melakukan bunuh diri.

Dalam sistem ekonomi Kapitalisme saat ini, pendapatan yang utama berasal dari pajak. Pajak sendiri diwajibkan kepada seluruh masyarakat, 
dan ternyata pendapatan negara dari sektor pajak bisa mencapai 80,32%(BPS 2023).

Walaupun pemerintah telah mengklaim banyak program bantuan yang digelontorkan untuk rakyatnya yang salah satunya dengan adanya BLT( Bantuan Langsung Tunai) yang katanya meringankan hidup rakyat.
Yang mana sebenarnya negara memaksakan kebijakan dengan membuat narasi seolah berpihak kepada rakyat.

Namun sejatinya abai terhadap penderitaan rakyat, dan negara hadir hanya seperti regulator saja yang hanya menyediakan dan akan mencari keuntungan dari rakyatnya. Kebijakan ini menguatkan profil penguasa yang populis otoriter, yaitu suatu kepemimpinan populer yang mengklaim didukung oleh rakyat, tetapi dibalik itu ada sifat dan kepentingan sewenang-wenang atau otoriter.

Dilakukan untuk menstabilkan kondisi politik agar program-program rezim penguasa berjalan lancar tanpa hambatan yang berarti. De facto program-program penguasa mengarah kepada corak pembangunan Kapitalisme neoliberal.

Sedangkan dalam Islam, mewajibkan penguasa sebagai raa'in yaitu mengurus seluruh kebutuhan rakyatnya sesuai dengan aturan yang ditetapkan dalam Islam serta tidak menimbulkan antipati pada rakyat serta tidak akan membuat rakyat menderita.
Sistem ekonomi yang diterapkan dalam pemerintahan Islam menjadikan APBN tidak berbasis pajak. Penguasa dalam Islam adalah pelayan rakyat, bukan malah menjadi pemalak rakyat.

Pajak di dalam Islam dikenakan ketika baitul mal dalam keadaan kosong. 
Jadi pajak bukan pungutan yang bersifat terus menerus, namun insidental yakni  ketika uang dalam baitul mal kosong, dan yang ditarik pajak hanya orang muslim, laki-laki dan mampu.

Dalam sistem pemerintahan Islam, sumber pemasukan APBN sebetulnya sangatlah banyak dan berlimpah. Ada ghanimah, fai, kharaj, dan jizyah. Selain itu diantara sumber terbesar APBN dalam pemerintah Islam dari harta milik umum. 

Sebagai contoh negara kita potensi pendapatannya dari SDA sangat besar. Di antara potensi pendapatan besar negeri ini misalnya dari emas, batu bara, minyak mentah, gas alam nikel, tembaga belum lagi hasil dari hutan dan laut yang mana nilainya bisa lebih besar dari kebutuhan APBN setiap tahunnya.

Dengan banyaknya pendapatan negara dalam daulah Islam, maka akan mencukupi kebutuhan seluruh rakyatnya. Semisal di negeri kita ini, jikalau negara mau mengelola harta kepemilikan umum, dari hasil SDA(Sumber Daya Alam) saja, maka hasilnya akan melimpah-ruah.

Jika SDA yang begitu besar tidak diserahkan kepada swasta asing dan aseng, sehingga dikelola negara dengan sebaik-baiknya dan hasilnya di kembalikan lagi untuk rakyatnya maka akan menyejahterakan semua rakyat dalam semua bidang.
Sehingga negara tidak perlu lagi menarik pajak dari rakyatnya, seperti saat ini.

Karena pemimpin dalam Islam hanya akan menerapkan aturan yang berasal dari Allah SWT, sehingga menjadikan rahmat bagi seluruh penduduk bumi.
Jika kita ingin bebas pajak dan rakyat sejahtera maka wajib menerapkan syariat Islam secara kaffah. Karena hukum Islam adalah hukum sempurna yang adil dan berasal dari sang pencipta yaitu Allah SWT.

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama