Endah Sulistiowati, Tri Widodo, dan AM. Pamboedi
Presiden Prabowo Subianto dalam kesempatan sebelumnya mengumumkan indeks anggaran program makan bergizi gratis bagi anak-anak dan ibu hamil ditetapkan senilai Rp10.000 per anak/ibu hamil, per hari. "Kalau kita rinci program makan bergizi ini nanti rata-rata minimumnya, atau rata-rata kita ingin memberi indeks per anak, per ibu hamil itu Rp10.000 per hari kurang lebih," kata Prabowo di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (29/11/2024).
Pemerintah akan mengalokasikan Rp 71 triliun pada tahun depan untuk melaksanakan program makan bergizi gratis (MBG) untuk anak-anak dan ibu hamil. Anggaran sebesar ini untuk penyediaan makanan per porsi Rp 10 ribu untuk anak/ibu hamil per hari.
Kabarnya bulan November lalu beberapa daerah melaksanakan program makan siang gratis ini sebagai uji coba selama 25 hari dengan dana 2,25 milyar. Program ini diuji cobakan di Jawa Tengah, tepatnya di Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Brebes, dan Kabupaten Kebumen. Uji coba ini melibatkan 2000 siswa dari mulai kelas 1 hingga kelas 6 SD.
Bayangkan, hanya untuk 2000 siswa bergilir selama 25 hari di 3 kabupaten sudah menyedot dana 2,25 milyar. Apakah itu akan menyelesaikan kasus stunting, atau malah akan menambah masalah baru?
Latar Belakang Program Makan Siang Gratis (Makan Bergizi Gratis)
Seperti kita ketahui bersama, ketika melaksanakan kampanye pada perhelatan pilpres 2024 lalu, pasangan Prabowo-Gibran menawarkan salah satu program unggulannya (janji kampanye), yakni makan siang gratis untuk anak-anak Pra SD (anak usia dini) hingga SMA/SMK. Diperkirakan, pra SD (anak usia dini) sebanyak 30 juta anak, SD sebanyak 24,0 juta murid dan SMP sebanyak 9,8 juta murid. Kemudian untuk SMA & SMK 10,2 juta murid, untuk para santri di pesantren total ada 4,3 juta orang, dan untuk ibu hamil ada 4,4 juta jiwa.
Seiring hasil rekapitulasi KPU, dengan salah satu program unggulan tersebut, akhirnya pasangan Prabowo-Gibran benar-benar terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2024-2029. Pada kesempatan lain, Prabowo menjelaskan, program makan siang gratis yang kini disebut makan bergizi gratis (MBG), akan dijalankan menggunakan alokasi dana APBN untuk pendidikan dan perlindungan sosial. Menurutnya, anggaran 2024 untuk pendidikan dan perlindungan sosial saja sangat besar dan dirasa cukup untuk memulai program ini.
Untuk memulai membahas satu per satu permasalahan-permasalahan yang tersebut pada materi diskusi kali ini, penulis terlebih dulu hendak mendedah latar belakang atau tujuan diadakannya program MBG. Tentu, bahwasannya cita-cita _founding fathers dan mothers_ untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur, belum tampak nyata terwujud dari beberapa kali periode pergantian atau estafet kepemimpinan pemerintahan. Mulai tahun 1945 hingga 2024.
Dalam kalimat lainnya, kaum papa masih mendominasi dan menghantui pada masyarakat Indonesia. Terlebih pada tragedi pandemi Covid 2019 lalu menginfeksi Indonesia. Banyak masyarakat yang harus kehilangan mata pencahariannya atau terkena PHK. Begitupun peradaban manusia yang telah memasuki Revsos 5.0 dan juga kehadiran AI pada era Revind 4.0. Menambah ancaman ketimpangan sosial semakin besar.
Program MBG sebenarnya tidak terlalu baru. Sepanjang informasi yang penulis himpun, dasar hukum atau kebijakan program ini ialah Perpres No. 42/2013 yang ditandatangani oleh mantan Presiden Soesilo B. Y. Perpres tersebut mengatur tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Perpres No. 42/2013 sendiri merupakan amanat daripada UU No. 36/2009 Tentang Kesehatan yang saat ini telah dicabut dan diubah bentuk dan metodenya menjadi _omnibus law_ kesehatan (UU No. 17/2023).
Sementara, Perpres No. 42/2013 juga telah dicabut pada tahun 2021 oleh presiden Joko Widodo dan berganti menjadi Perpres No. 72/2021 Tentang Percepatan Penurunan Stunting. Pada salah satu poin konsiderasinya, menyatakan bahwa Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan perbaikan Gizi belum dapat mengakomodasi upaya pelaksanaan percepatan penurunan stunting secara efektif.
Sebelum mendedah persoalan pada poin A materi ini lebih lanjut, ada baiknya kita mengetahui lebih dulu definisi tentang stunting. Stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, yang ditandai dengan panjang
atau tinggi badannya berada di bawah standar yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
Jadi, perbedaan antara Perpres No 42/2013 dan Perpres No. 72/2021 adalah kalau di dalam Perpres No. 42/2013 mengatur tentang kebijakan percepatan perbaikan gizi, sedangkan di dalam Perpres No. 72/2021 mengatur tentang percepatan penurunan stunting yang disebabkan karena kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang. Disamping juga melakukan Intervensi Spesifik dan Intervensi Sensitif.
Adapun Intervensi Spesifik adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk mengatasi penyebab langsung terjadinya Stunting. Dan, Intervensi Sensitif adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk mengatasi penyebab tidak langsung terjadinya stunting.
Sasaran Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi pada Perpres No. 42/2013 meliputi:
a. masyarakat, khususnya remaja, ibu hamil, ibu menyusui, anak di bawah usia dua tahun;
b. kader-kader masyarakat seperti Posyandu, Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga, dan/atau kader-kader masyarakat yang sejenis;
c. perguruan tinggi, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan dan keagamaan;
d. Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
e. media massa;
f. dunia usaha; dan
g. lembaga swadaya masyarakat, dan mitra pembangunan internasional.
Sedangkan Pelaksanaan Percepatan Penurunan Stunting pada Perpres No. 72/2021 dengan kelompok sasaran meliputi:
a. remaja;
b. calon pengantin;
c. ibu hamil;
d. ibu menyusui; dan
e. anak berusia 0 (nol) - 59 (lima puluh sembilan) bulan.
Dampak Minimnya Anggaran Program Makan Bergizi Gratis Bagi Perbaikan Gizi Anak
Presiden Prabowo Subianto dalam konferensi pers di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, Jumat (29/11/2024) mengurangi anggaran Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dari Rp15 ribu menjadi Rp10 ribu per orang. Penyesuaian ini dilakukan dengan mempertimbangkan keterbatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Meski anggaran menurun, Prabowo memastikan bahwa kualitas dan nilai gizi makanan yang disediakan tetap terjaga.
Namun peneliti dari Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS), Muhammad Anwar, mengungkapkan bahwa alokasi anggaran MBG sebesar Rp10 ribu per orang dinilai tidak realistis untuk mencukupi kebutuhan gizi harian yang ideal. Terlebih lagi, di tengah kondisi ekonomi yang sulit saat ini, harga bahan pangan terus mengalami kenaikan.
Menurut simulasi yang dilakukan oleh IDEAS, rata-rata biaya untuk memenuhi kebutuhan gizi dalam satu porsi makanan seimbang berkisar antara Rp20 ribu hingga Rp30 ribu. Anggaran ini mencakup berbagai komponen penting, seperti satu porsi nasi yang biasanya dihargai Rp3.000 hingga Rp5.000, lauk utama seperti ayam, ikan, atau daging yang memerlukan biaya sekitar Rp10.000 hingga Rp15.000, serta sayuran yang membutuhkan tambahan sekitar Rp5.000.
Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan gizi, buah-buahan juga dibutuhkan dengan biaya sekitar Rp3.000 hingga Rp5.000 per porsi. Namun, biaya tersebut belum mencakup susu UHT, yang juga penting sebagai sumber protein dan kalsium bagi anak-anak, dengan harga rata-rata sekitar Rp3.000 hingga Rp4.000 per kotak kecil.
Angka-angka tersebut juga merupakan perkiraan untuk wilayah yang memiliki akses yang baik terhadap pasokan pangan. Sementara itu, di daerah terpencil, harga bahan makanan biasanya lebih tinggi akibat rantai distribusi yang panjang, keterbatasan infrastruktur, serta ketergantungan pada pasokan dari luar wilayah. Situasi ini semakin memperbesar tantangan bagi program makan bergizi gratis dengan anggaran hanya Rp10 ribu per orang, sehingga hampir tidak mungkin menyediakan makanan bergizi yang layak di daerah-daerah pelosok.
Simulasi itu sejalan dengan fakta di lapangan. Ketua Koperasi Warteg Nusantara (Kowantara), Mukroni, menyatakan bahwa dengan uang Rp10 ribu di warteg biasanya hanya tersedia tiga pilihan. Pilihan pertama adalah orek tempe dan kerang balado, namun nasi yang didapat hanya setengah porsi. Pilihan kedua terdiri dari usus ayam, teri balado, kentang balado, dengan nasi setengah porsi juga. Sedangkan pilihan ketiga adalah nasi satu porsi lengkap dengan sayur saja.
Oleh karena itu dengan anggaran terbatas seperti Rp10 ribu, dianggap sulit untuk mencukupi kebutuhan gizi yang seimbang. Terlebih lagi, makanan bergizi tidak hanya memerlukan variasi bahan, tetapi juga kuantitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan tubuh, khususnya dalam menjaga kesehatan jangka panjang.
Pemotongan anggaran untuk program makan bergizi gratis dari Rp15 ribu menjadi Rp10 ribu menimbulkan kekhawatiran mengenai kemampuan untuk mencukupi kebutuhan gizi harian, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak. Risiko utamanya adalah program ini mungkin terlihat baik secara politis, tetapi kurang efektif secara substansi dalam mengatasi permasalahan gizi di masyarakat. Jadi program makan bergizi gratis dengan anggaran Rp10 ribu dikhawatirkan lebih menjadi sekadar “omon-omon” karena telah menjadi janji kampanye dibandingkan bentuk keseriusan pemerintah untuk meningkatkan gizi anak Indonesia.
Strategi Meningkatkan Gizi pada Generasi
Kita juga tidak bisa memungkiri bahwa generasi di negeri ini dilanda krisis berlapis. Realitasnya, kendala pembangunan generasi tidak hanya terjadi di sektor pendidikan, tetapi juga terdapat faktor lainnya seperti hedonisme pemikiran, kesejahteraan ekonomi, dan liberalisasi media. Apalagi menyangkut kondisi ekonomi nasional yang sudah sangat rapuh, solusi Indonesia untuk keluar dari status negara middle income trap tidak bisa sekadar bergantung pada angka-angka palsu pertumbuhan ekonomi.
Demikian halnya dengan kualitas generasi, untuk mencapainya jelas tidak bisa hanya sekadar mengisi perutnya, melainkan harus menjamin dan menjaga pemikirannya agar terisi sebagai calon konstruktor peradaban sahih. Hal ini karena peradaban kufur adalah peradaban rusak yang pasti gulung tikar. Dengan begitu sungguh rugi jika suatu negeri ingin mencetak generasi berkualitas tetapi malah untuk mengisi peradaban kufur.
Untuk itu, dalam menanggulangi berbagai faktor penyebab krisis ini, tentu saja membutuhkan solusi yang bersifat sistemis, sehingga tidak bisa hanya sebatas pada realisasi program makan siang gratis. Perubahan yang hendak diemban oleh generasi berkualitas juga harus perubahan hakiki.
Peningkatan kualitas SDM juga memang perlu. Masyarakat harus paham masalah gizi agar tidak sekadarnya menyediakan makanan untuk keluarga. Protein hewani wajib tersedia, misalnya. Sayangnya, membentuk SDM yang paham saja tidak cukup. Percuma SDM-nya paham, tetapi mereka tidak mampu membeli makanan bergizi tersebab ketiadaan uang. Bukanlah SDM berkualitas juga termasuk kualitas gizinya?
Sesungguhnya, semua problem ini lahir akibat penerapan kapitalisme. Kapitalisme membuat si miskin makin terpuruk, sedangkan si kaya kian hidup bergelimang harta. Kebijakan yang lahir pun berdasarkan sekularisme, materialisme, liberalisme, hingga kepentingan golongan tertentu. Sehingga meskipun ada program - program untuk mengatasi stunting semua tidak menyentuh pada akar permasalahan.
Allah Swt., berfirman, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-Araf: 96).
Ayat di atas mengandung perintah untuk bertakwa kepada Allah Taala. Takwa ini dalam segala aspek, baik dalam ibadah ritual maupun perihal mengurus rakyat.
Islam mewajibkan negara (Khilafah) mengurusi kebutuhan masyarakat. Pemimpin (khalifah) wajib memahami bahwa hal tersebut merupakan amanah yang akan dimintai pertanggungjawabannya. Islam mewajibkan penguasa hanya mengambil hukum Islam dalam membuat aturan sehingga kebijakan yang lahir bukan karena kepentingan individu/golongan.
Sistem keuangan Khilafah yang dikelola melalui baitulmal berasal dari berbagai pos, seperti jizyah, kharaj, ganimah, fai, hingga pengelolaan SDA. Dana yang ada akan digunakan untuk menyejahterakan rakyat dan dialokasikan untuk mewujudkan pendidikan, kesehatan, serta keamanan secara gratis dan berkualitas. Khilafah tidak pernah menyerahkan pengelolaan SDA kepada individu apalagi individu asing.
Umar bin Khaththab pun pernah membangun suatu rumah yang diberi nama , “daar al-daaqiq’ (rumah tepung) antara Makkah dan Syam. Di dalam rumah itu tersedia berbagai macam jenis tepung, korma, dan barang-barang kebutuhan lainnya. Tujuan dibangunnya rumah itu adalah untuk menolong orang-orang yang singgah dalam perjalanan dan memenuhi kebutuhan orang-orang yang perlu sampai kebutuhannya terpenuhi.
Kemuliaan sikap Umar bin khattab ini juga diikuti oleh para pemimpin berikutnya. Mereka semuanya sama, ingin melaksanakan amanah dipundaknya untuk menjaga sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sehingga kita pun dapat menjumpai pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, meskipun masa kepemimpinannya cukup singkat (hanya 3 tahun), umat Islam terus mengenangnya sebagai khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat. Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu, berkata, “Ketika hendak membagikan zakat, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan.” (Ibnu Abdil Hakam, Sîrah ‘Umar bin Abdul ‘Azîz, hlm. 59).
Pada masanya, kemakmuran tidak hanya ada di Afrika, tetapi juga merata di wilayah lain, seperti Irak dan Bashrah. Begitu makmurnya rakyat, sehingga Gubernur Bashrah saat itu pernah mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, “Semua rakyat hidup sejahtera sampai saya sendiri khawatir mereka akan menjadi takabur dan sombong.” (Abu Ubaid, Al-Amwâl, hlm. 256).
Pada masa keemasan bahkan di akhir kekuasaan Ustmani kita menemukan surat-surat yang menunjukkan kehebatan Utsmani dalam menjamin, melindungi dan memakmurkan waganya ataupun orang asing pencari suaka tanpa pandang bulu. Tersebutlah surat sertifikat tanah yang diberikan tahun 1519 kepada para pengungsi Yahudi yang lari dari kejamnya Inkuisisi Spanyol pasca jatuhnya pemerintahan Islam di Al-Andalus. Kemudian surat ucapan terima kasih dari Pemerintah Amerika Serikat atas bantuan pangan yang dikirim Khalifah ke sana yang sedang dilanda kelaparan (pasca perang dengan Inggris) abad ke-18. Juga surat jaminan perlindungan kepada Raja Swedia yang diusir tentara Rusia dan mencari eksil kepada Khalifah pada 7 Agustus 1709. Ada juga surat tertanggal 13 Robi’ul Akhir 1282 H (5 September 1865) yang memberikan izin dan ongkos kepada 30 keluarga Yunani yang beremigrasi ke Rusia namun kembali ke wilayah Ustmani, karena di Rusia justru mereka sengsara.
Semua ini tentu saja semakin membukakan mata hati kita bahwa begitulah kisah nyata dan bersejarah kaum Muslim pada masa lalu. Semuanya menjadi sebuah keajaiban yang benar-benar didambakan. Kondisi umat saat ini sesungguhnya juga sangat mendambakan keajaiban ini hadir kembali. Mereka mendapatkan solusi dari permasalahannya, uluran tangan dari sesama muslim juga mendapatkan sosok pemimpin sebagaimana Umar bin Khattab. Ataupun Umar bin Abdul Aziz, sehingga umat Islam dapat merasakan kesejahteraannya, terjauhkan dari kekhawatiran, ketakutan dan penderitaan, serta terjaga keamanannya.
Sehingga kesejahteraan, terpenuhinya gizi generasi bukan menjadi mimpi atau utopia semata. Karena kesejahteraan bukan menjadi program semata, tapi memang menjadi hal yang diupayakan dan juga sebagai tanggung jawab negara. Wallahu'alam.[]
===°°°===
*Ref.:*
- Berbagai artikel media online