Memilih Pemimpin Baru dalam Pilkada Serentak: New Hope ataukah No Hope?




Endah Sulistiowati (Dir. Muslimah Voice)

Mengutip dari KOMPAS.com - Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi mengumumkan bahwa pemerintah akan menetapkan tanggal 27 November 2024 sebagai hari libur nasional. Penetapan ini berkaitan dengan pelaksanaan pencoblosan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 yang dijadwalkan pada hari tersebut.

Tahun 2024 bisa juga disebut sebagai tahun politik di Indonesia, pasalnya di tahun ini diselenggarakan 2 kali pemilu. Pertama, pemilu untuk memilih presiden dan legislatif. Kedua, pemilu untuk memilih kepala daerah. Jawa Timur sendiri sebagai salah satu daerah yang menjadi barometer perpolitikan nasional, turut hadir menyelenggarakan pilkada tahun ini. 

Pilkada 2024 akan diselenggarakan di 37 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota Seluruh masyarakat Indonesia yang telah ditetapkan sebagai pemilih akan memiliki kesempatan untuk mencoblos atau memilih calon wali kota, bupati, dan gubernur pilihan mereka.

Meskipun berkali-kali kecewa dengan hasil pilkada, masyarakat bukan berhenti berharap. Masyarakat selalu menyelipkan harapan-harapan bagi para pemimpin yang mungkin baru terpilih, untuk menghadirkan perubahan di daerah ke kondisi yang jauh lebih baik. 

Gebyar pilkada sudah ada di depan mata, lantas mampukah menjawab kegelisahan umat atas karut - marutnya kondisi berbagai bidang di daerah? Atau pilkada malah menjadi ajang bagi-bagi kursi para korporasi? 

Gambaran Pilkada di Indonesia 

Pilkada sebagai ajang pemilihan pemimpin daerah tentu akan menghadirkan kader-kader terbaik dari partai politik di daerah tersebut yang sudah mengenal seluk beluk masalah yang ada di daerah tersebut. Sayangnya saat ini, calon pemimpin daerah tidak jarang bukan diambil putra daerah atau kader terbaik, tapi calon pemimpin yang memiliki dukungan dan modal. 

Sehingga hasil dari demokrasi hari ini adalah lahirnya politisi dan parpol yang oportunis dan pragmatis karena mereka mengambil tindakan politik berdasarkan kondisi di lapangan untuk bisa bertahan. Parpol yang ada hari ini sama sekali tidak mencerminkan idealisme dalam perjuangan. Yang tadinya mereka ada di kubu lawan dan menyerukan perlawanan pada politik dinasti, tetapi kemudian akhirnya bersama-sama berdiri dalam barisan yang melestarikan politik dinasti. 

Di sisi lain, dalam pemilu presiden dan legislatif mereka berseteru. Seolah-olah terbagi dua kubu, dan yang kalah siap menjadi oposan. Tahu-tahunya dalam pilkada justru mereka bekerjasama. Semacam ini tentu tidak di satu wilayah saja, namun sudah menjadi hal biasa terjadi di daerah lainnya. Benar juga istilah "tidak ada kawan/lawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi. 

Karena bagaimanapun perwakilan parpol yang menjadi pemimpin bukan orang yang betul-betul hadir dari rahim rakyat. Kita tidak tahu jejak rekamnya dan tidak punya komitmen untuk berpihak kepada rakyat. Apa mungkin memperjuangkan rakyat [ketika] pesta demokrasi dari pusat sampai daerah program sudah diteken dan disodorkan ke mereka? Yang ada mereka akan menancapkan kukunya, dan berusaha mengeruk yang bisa mereka keruk. 

Sehingga akan sangat sulit menemukan pemimpin yang betul-betul berpihak pada rakyat. Untuk itu kesejahteraan yang diharapkan akan menjadi sekedar pepesan kosong alias hanya tipu-tipu kampanye saja. 

Utopia Perubahan yang Diharapkan Masyarakat pada Pilkada 

Kisruhnya pilkada kali ini makin membuktikan bahwa pertarungan politik dalam demokrasi hanya memperebutkan kekuasaan. Berbagai cara dilakukan demi pemenangan, termasuk cara-cara kotor. Hal yang demikian itu akibat dari landasan sistem politiknya yang sekuler kapitalisme. Tidak heran, para kandidat merasa boleh-boleh saja melakukan segala cara agar menang. Pemikiran sekuler kapitalisme ini pun memosisikan motivasi menjabat hanya sebatas materi. Ini wajar dalam sistem demokrasi, bahwa yang terpilih adalah para pemimpin yang niat awal memang bukan untuk umat.

Selain itu, sistem politik demokrasi yang berbiaya mahal meniscayakan hadirnya para “bohir politik” alias pemilik cuan yang siap menjadi sponsor para elite politik untuk bisa naik tahta jabatan. Inilah yang menyebabkan politik bersifat transaksional. Jual beli jabatan dan kebijakan adalah lahan bisnis yang tidak terhindarkan.

Hadirnya para bohir juga sangat berpengaruh terhadap kebijakan yang ditetapkan. Akibatnya, pemerintah pusat maupun daerah tidak memiliki independensi dalam menetapkan suatu aturan. Para politisi yang sudah menjabat pun harus membalas budi para sponsor yang telah mendukung mereka.

Politik balas budi ini sangat merugikan rakyat karena kepentingan para donatur itu kerap berseberangan dengan rakyat. Misalnya saja dalam hal pembangunan daerah, prioritas pembangunan infrastruktur nyatanya demi kepentingan oligarki bukan rakyat. Buktinya, pemerintah lebih mendahulukan pembuatan jalan menuju resort-resort mewah dan tempat wisata dibandingkan memperbaiki jembatan antardesa yang sudah reyot. Kita bisa menyaksikan beritanya di linimasa media sosial, anak-anak sekolah mempertaruhkan nyawa dengan menyeberangi jembatan yang tidak layak hanya untuk bisa belajar ke sekolah.

Demikian halnya jika kita menelisik sumber pendanaan pilkada yang diambil dari APBN dan APBD. Data dari Kemendagri, pilkada serentak 2024 diprediksi menghabiskan dana lebih dari Rp41 triliun. Tentu ini sangat membebani rakyat, sebab sumber utama APBN dan APBD adalah pajak dari rakyat. Andai saja dana sebanyak Rp41 triliun itu digunakan untuk kemaslahatan umat, setidaknya beban rakyat akan sedikit berkurang. Misalnya, harga sembako akan lebih rendah, tarif biaya air dan listrik lebih murah, pajak berkurang, juga harga gas dan BBM bisa turun.

Atas dasar ini, berharap akan terpilih penguasa yang amanah dalam sistem demokrasi tidak ubahnya pungguk merindukan bulan. Sistem ini akan terus menjaga oligarki dan para cukong melalui politik transaksionalnya. Rakyat hanya menjadi objek politik yang dipakai menurut kepentingan mereka. Tidak pelak, rakyat tentu kian tersakiti.

Strategi Islam dalam Memilih Kepala Daerah yang Sesuai Harapan 

Sistem politik Islam berjalan dengan akidah Islam sebagai landasannya. Ikatan yang terbentuk antara penguasa dan rakyat juga ikatan akidah, bukan manfaat. Individu yang terlibat dalam pemerintahan adalah mereka yang ingin berkhidmat untuk mengurusi urusan umat. Jabatan dalam sistem Islam adalah amanah untuk mendulang pahala, sekaligus sesuatu yang mengandung tanggung jawab besar karena Allah Swt. akan mengharamkan surga bagi pemimpin yang tidak amanah. 

Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seseorang diamanahi memimpin suatu kaum kemudian ia meninggal dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, maka diharamkan baginya surga.” (HR Bukhari-Muslim).

Oleh karena itu, kecurangan dalam pemilihan pemimpin akan diganjar oleh Allah Swt. dengan keharaman masuk surga. Jika ada sekelompok orang atau oligarki yang mencurangi suara dan kemudian memimpin, sejatinya Allah Swt. sedang menghimpun mereka di neraka. Inilah seburuk-buruk balasan bagi penguasa yang curang dan menipu rakyatnya.

Terkait pilkada, sebenarnya di dalam Islam tidak ada syariat yang mengaturnya sebab kepala daerah di dalam Khilafah ditunjuk oleh khalifah berdasarkan saran dan masukan dari Majlis Umat (MU) dan Majlis Wilayah (MW). MU dan MW dapat mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah baik di level provinsi maupun kota. Jika ada perbedaan pendapat antara MU dan MW, yang diutamakan adalah pendapat MW sebab MW adalah representasi masyarakat daerah.

Penyebutan kepala daerah untuk wilayah setingkat provinsi disebut wali. Sedangkan untuk kepala daerah setingkat kabupaten/kota disebut amil. Adapun pihak yang melantik, wali diangkat dan dilantik langsung oleh khalifah. Sedangkan amil, bisa diangkat langsung oleh khalifah atau oleh wali yang telah diberi mandat oleh khalifah. Secara filosofis, hanya khalifah yang berwenang mengangkat para penguasa di bawahnya, baik wali maupun amil. Hal ini berdasarkan kewajiban mengangkat khalifah dengan metode baiat. Mekanisme ini selain lebih sederhana, juga tidak memakan banyak biaya seperti pemilihan langsung pada pilkada demokrasi. Penunjukan kepala daerah oleh khalifah pun akan menjadikan kepala daerah terpilih tidak memiliki beban mahar yang besar kepada para cukong politik seperti saat ini.

Masa jabatan kepala daerah dalam Khilafah tidak ditentukan, tetapi penempatan tugasnya tidak boleh terlalu lama. Seorang wali bisa diberhentikan oleh khalifah kapan saja dan bisa diangkat lagi untuk daerah lain. Selain itu, kepala daerah tidak boleh dipindahtugaskan dari satu wilayah ke wilayah lain tanpa pemberhentian jabatan terlebih dahulu di wilayah sebelumnya. Adapun yang berwenang memberhentikan kepala daerah adalah khalifah. Dalam hal ini, MU bisa menyatakan ketakrelaan atau menunjukkan ketaksukaan terhadapnya, tetapi yang berwenang memberhentikannya tetap Khalifah.

Khatimah 

Tidak salah jika menyebut demokrasi kapitalis ini adalah sebuah sistem yang cacat dari lahir. Perubahan yang diharapkan dalam pilkada dengan pergantian pemimpin tentu hanya menjadi hal yang upotis bagi rakyat. Bahkan hasil pilkada akan dirasakan hingga lima tahun ke depan. Rakyat harus cerdas, apalagi seorang muslim, yang standar pilihannya adalah sesuai hukum syara', maka pilihannya adalah mewujudkan kepemimpinan Islam yang taat kepada Allah dan RasulNya, yang mau menerapkan Islam kaffah dalam sistem Khilafah. Wallahu'alam bishshawab. 

Note: Dirangkum dari berbagai sumber.

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama