Duka Rohingya Masih Membara



Etik Pibriani 


Gelombang pengungsi dari Rohingya kembali memasuki wilayah Indonesia, pada akhir Oktober 2024. Kapal yang membawa pengungsi dari Myanmar itu terombang-ambing selama beberapa hari di lautan dan akhirnya melakukan pendaratan di pesisir pantai. Puluhan imigran ini ditemukan mendarat pada Kamis (31/10/2024) sekitar pukul 04.00 WIB. Menurut informasi awal dari pejabat setempat, para imigran yang berjumlah 93 orang tersebut turun dari kapal dan berenang menuju pantai Desa Meunasah Hasan, Kecamatan Madat, Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh. Dan enam diantara pengungsi itu sudah meninggal dunia ¹.
 

Hingga Mei 2024, berdasarkan laporan Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) Indonesia, tercatat jumlah pengungsi Rohingya di tanah air mencapai 2.026 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 73% diantaranya adalah wanita dan anak-anak ².


Pengungsi Rohingya tersebut sempat ditolak oleh warga di wilayah Aceh Utara dan Aceh Selatan dengan berbagai alasan. Namun meskipun mereka menolak para pengungsi Rohingya, bantuan makanan dan logistik tetap mereka berikan kepada pengungsi yang tetap berada di atas kapal.
 

Krisis kemanusiaan di Rohingya sesungguhnya sudah dimulai sejak puluhan tahun yang lalu. Sampai hari ini kita tidak melihat solusi tuntas untuk memberikan jaminan keselamatan bagi mereka.
 

Dilihat dari sejarahnya Rohingya sebenarnya adalah sebuah etnis pendatang yang menempati daerah  Arakan, Myanmar/Burma. Mereka sudah hidup di sana selama berabad-abad secara damai dan berdampingan dengan penduduk lokal. Berdasarkan catatan sejarah, etnis rohingya telah mendiami Myanmar sejak abad ke-7 Masehi. Mereka tinggal disana secara turun temurun dan mayoritas dari mereka memeluk agama Islam. Namun setelah ekspansi Inggris di Myanmar/Burma, dimulailah penderitaan etnis Rohingya yang berlanjut sampai hari ini.
 

Inggris yang sempat menguasai wilayah Myanmar, merekrut etnis Rohingya menjadi tentaranya untuk berperang melawan Jepang yang saat itu bersekutu bersama warga lokal di Myanmar/Burma. Inggris menjanjikan wilayah otonom bagi etnis muslim Rohingya di Arakan Utara. Dari situlah tertanam dendam dan kebencian warga lokal Myanmar/Burma terhadap etnis Rohingya. Warga lokal selalu menganggap etnis rohingya sebagai antek-antek Inggris, karena membantu Inggris. Pada 4 Januari 1948, ketika Myanmar memperoleh kemerdekaan dari Inggris, konflik sektarian meletus di negara itu. Rohingya, yang dianggap sebagai imigran ilegal yang dibawa oleh penjajah Inggris, menjadi sasaran utama kekerasan.³


Sampai hari ini warga lokal membenci etnis Rohingya. Hal itu menjadikan etnis Rohingya tersisih dari kalangan warga lokal di Myanmar/Burma. Ketika rezim Budha radikal menguasai Myanmar, sikap penguasa sangat kejam terhadap etnis Rohingya. Rezim melakukan pembunuhan dan genosida. Etnis Rohingya menjadi subyek penyiksaan sejak tahun 1962, khususnya ketika kebijakan "Burmanisasi" dan "Budhanisasi" diberlakukan secara struktural⁴. Dan menjadikan etnis Rohingya sebagai orang-orang tanpa kewarganegaraan. Kalaupun akan berpindah dari satu negara ke negara yang lain mereka juga akan mengalami kesulitan. Dikarenakan tidak ada identitas yang bisa mereka bawa.


Duka yang Membara


Duka muslim Rohingya hanyalah salah satu dari sejuta duka yang menyelimuti negeri-negeri kaum muslimin. Kedzaliman juga terjadi pada kaum muslimin di Uighur, dan India. Palestina juga masih berdarah. Suriah, Lebanon, Kazakhtan, Afghanistan, Irak juga merasakan perih yang sama. 
 

Namun meskipun telah terjadi selama bertahun-tahun, pemimpin negeri-negeri muslim yang lain tidak ada yang bersikap secara nyata untuk membela saudara mereka. Penguasa-penguasa muslim menganggap masalah tersebut adalah masalah negara lain, dan bukan masalah mereka. Ide nasionalisme sangat kuat menancap di benak-benak penguasa kaum muslimin. Mereka merasa tidak perlu ikut campur tangan terhadap urusan negara yang lain.


Tentu saja Islam tidak pernah mengajarkan seperti itu. Islam memandang bahwa kaum muslimin adalah satu tubuh dan satu umat. Jika ada satu bagian tubuh yang sakit maka tubuh yang lainnya akan ikut merasakannya. Jika ada satu muslim yang terkena kezaliman, maka muslim yang lain juga akan ikut membela dan menyelamatkannya. Saat ini kondisi ideal itu tidak dapat kita jumpai. Dikarenakan sekat imajiner 'nation state-nasionalisme', telah menjadikan kaum muslimin terkotak-kotak pada bangsa dan negaranya masing-masing. Tidak peduli dengan nasib muslim yang berasal dari negara yang lain. Itulah realitas negeri kaum muslimin.


Mustahil Tanpa Islam


Kondisi ini sangat berbeda ketika kaum muslimin masih memiliki institusi negara yakni Daulah Khilafah. Khilafah tidak akan membiarkan kaum muslimin teraniaya, terusir, atau terbunuh. Daulah Khilafah akan membuat perhitungan bahkan tidak segan-segan mengerahkan pasukan untuk berjihad ketika ada satu orang muslim yang dibunuh atau dinodai kehormatannya.


Kita tentu masih ingat pada pembelaan Khalifah Al Mu'tasim Billah pada tahun 837M. Kala itu Khalifah al-Mu’tasim Billah menjawab seruan permintaan tolong dari  seorang budak wanita - muslimah yang meminta pertolongan karena diganggu dan dilecehkan oleh orang Romawi. Ujung pakaiannya/kainnya dikaitkan ke paku sehingga ketika berdiri, terlihatlah sebagian auratnya. Wanita itu lalu berteriak memanggil nama Khalifah Al-Mu'tashim billah dengan lafadz yang legendaris: waa mu'tashimaah!.
 

Setelah mendapat laporan mengenai peristiwa tersebut, sang Khalifah pun mengerahkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu kota Amoria. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa panjangnya barisan tentara tidak putus dari istana khalifah hingga kota Amoria. Kepala pasukan sudah memasuki kota Amuria sedangkan ekornya masih ada di istana Khalifah, karena besar dan banyaknya pasukan. Setelah menduduki kota tersebut, khalifah memanggil sang wanita yang dilecehkan dan mengucapkan "Wahai saudariku, apakah aku telah memenuhi seruanmu atasku ?".
Maka  budak wanita inipun diberikan kebebasan dari perbudakan, dan orang romawi yang melecehkannya dijadikan budak bagi wanita tersebut.


Begitulah kekhilafahan Islam. Khalifah akan menjadi perisai atau junnah bagi rakyatnya. Khalifah akan melindungi dan mengerahkan segala perhatian untuk keselamatan dan kesejahteraan kaum muslimin.
 

Jadi solusi yang sebenarnya terhadap permasalahan di negeri-negeri kaum muslimin adalah dengan mengembalikan institusi Islam yaitu Khilafah Islam, di tengah-tengah kaum muslimin. Hanya institusi Khilafah-lah yang akan mampu melindungi, memberantas kezaliman dan kesewenang-wenangan rezim.


Mungkin kita berharap kepada lembaga-lembaga PBB yang mengurusi urusan pengungsi, seperti UNHCR, ataupun lembaga-lembaga yang semisalnya. Lembaga itu adalah lembaga yang tidak memiliki kemampuan apa-apa dalam membela kaum muslimin. Sehingga kebutuhan akan Khilafah adalah kebutuhan yang sangat urgen bagi kaum muslimin saat ini. Mengingat, banyak sekali kezaliman yang melanda kaum muslimin tidak hanya di Rohingya. Semua membutuhkan institusi pembela umat yaitu Khilafah. Khilafah akan menantang resin-rezim zalim yang selama ini membunuh, membantai, dan mengusir kaum muslimin dari negeri-negerinya. Khilafah yang akan mengembalikan kemuliaan umat, menegakkan keadilan dan hukum Islam di muka bumi ini.
Allahu Akbar.
Wallahu'alam bishshawab.[]

Referensi :
(¹) Sebanyak 93 imigran Rohingya mendarat di Aceh Timur. https://m.antaranews.com. 2024

(²) Persentase Pengungsi Rohingya di Indonesia Berdasarkan Demografi per Mei 2024. https://dataindonesia.id

(³) Sejarah Kemerdekaan Myanmar dan Akar Persekusi terhadap Rohingya. https://www.kompas.com. 2024

(⁴) Nurrachman, Arief. Rohingya: Sejarah dan Asal-Usulnya. Kompas Pedia. https://kompaspedia.kompas.id. 2023

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama