Tunjangan Kediaman Dewan Yang Menggiurkan



Oleh: U Diar

m.kumparan.com (11/10/2024), menuliskan Anggota DPR RI 2024–2029 tidak bakal mendapatkan fasilitas rumah dinas. Sebagai gantinya, mereka akan mendapatkan tunjangan perumahan. Hal itu tertuang dalam Surat Edaran Sekretariat Jenderal DPR RI nomor B/733/RT.01/09/2024 pada 25 September 2024. Dalam surat tersebut, disebutkan para anggota dewan tidak lagi mendapatkan rumah dinas atau fasilitas Rumah Jabatan Anggota (RJA). [1]

Sedangkan detik.com (08/10/2024), mengabarkan bahwa Anggota DPR periode 2024-2029 akan mendapatkan tunjangan perumahan berhubung tidak ada lagi pemberian rumah dinas. Beredar kabar bahwa tunjangan rumah untuk anggota DPR mencapai Rp 50 juta/bulan. Menurut Associate Director Research & Consultancy Services PT Leads Property Services Indonesia, Martin Hutapea , dengan harga Rp 50 juta per bulan, sudah bisa menyewa rumah di wilayah Kemang, Permata Hijau, Pondok Indah, Cipete, Ampera, hingga Patal Senayan. Rumah yang bisa disewa setidaknya memiliki luas tanah sekitar 80-90 m2 dan luas bangunan sekitar 240-300 m2 dengan 3 lantai. Di dalamnya, ada 4-5 kamar tidur dan kolam renang. [2]

Menyikapi kabar tersebut, berbagai pihak turut menyampaikan pendapatnya. "ICW memandang bahwa kebijakan tersebut merupakan bentuk pemborosan uang negara dan tidak berpihak pada kepentingan publik," ujar Staf Divisi Korupsi Politik ICW Seira Tamara dalam keterangannya, dikutip pada Jumat (11/10). "ICW menduga bahwa kepentingan tersebut tidak memiliki perencanaan sehingga patut diduga gagasan pemberian tunjangan hanya untuk memperkaya anggota DPR tanpa memikirkan kepentingan publik," jelas dia.

Tak hanya itu, ICW juga menyoroti sulitnya aspek pengawasan dan transparansi penggunaan anggaran tunjangan perumahan tersebut. "Minimnya akses pengawasan ini pada akhirnya tak hanya berdampak pada pemborosan anggaran, tetapi juga potensi penyalahgunaan," sambungnya. [1] 

Jika benar dijalankan, kebijakan tunjangan rumah dinas ini dinilai memberikan tambahan bagi banyaknya fasilitas yang akan diterima oleh anggota dewan. Awalnya, dengan ragam fasilitas yang diberikan, diharapkan dapat dimanfaatkan untuk mempermudah kinerja anggota dewan. Kemudahan ini diharapkan akan mempermudah mereka menjalankan peran sebagai wakil rakyat yang berfungsi sebagai corong utama penyalur aspirasi rakyat. Hanya saja dari pengalaman yang sudah-sudah, publik bisa menilai bagaimana realitanya, apakah sudah sesuai antara harapan dan kenyataan, ataukah belum. 

Apalagi ICW merilis hasil riset berjudul "Bayang-Bayang Politisi-Pebisnis dalam Komposisi Dewan Perwakilan Rakyat Periode 2024–2029". Riset tersebut mengungkapkan ada 61 persen atau 354 dari 580 anggota DPR 2024-2029 yang terindikasi sebagai politisi-pebisnis.  ICW menggunakan daftar anggota legislatif yang merujuk pada Keputusan KPU No 1206 tahun 2024. Menurut ICW, fenomena politisi yang terafiliasi dengan bisnis menunjukkan adanya 'lingkaran setan' korupsi politik. Secara sistem, tulis ICW, biaya yang perlu digelontorkan untuk berpartisipasi dalam kontestasi elektoral di Indonesia dibuat menjadi begitu mahal.[3]

Berkaca dari anggota periode sebelumnya, publik kemungkinan sudah mengetahui jikalau aspirasi penguasa ataukah pengusaha, lebih lancar tersalurkan dibanding aspirasi rakyat. Salah satu indikatornya adalah cepatnya waktu pengesahan RUU yang dinilai mewakili kepentingan mereka, semisal Anulir keputusan MK terkait RUU Pilkada, RUU Kementerian Negara ataupun RUU Ciptaker yang pernah ditolak rakyat banyak. Sedangkan RUU yang dibutuhkan rakyat, nampak belum ada harapan sat set, semisal RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan RUU Masyarakat Adat. 

Maka, belajar dari pengalaman, apakah mungkin ada korelasi antara tunjangan yang diberikan dengan efektivitas peran dan fungsi yang seharusnya dijalankan? Iklim demokrasi kapitalis yang menjadi habitat kekuasaan saat ini menampakkan bahwa  penunaian amanah yang disertasi tanggungjawab penuh berbasis kesadaran iman sebagai perkara utopis.

Nafas sekularisme yang menjadi asupan energi utamanya melarang hal itu. Karakter kapitalisme jelas meng-kode neuron kepala pengikutnya dengan impuls harta, maka dengan sensori kesempatan berkuasa, peluang memperkaya diri tak boleh dilewatkan begitu saja. 

Di sisi lain, di luar populasi kekuasaan, ekosistem rakyat yang semakin terbebani kebutuhan hidup mulai menciptakan komunitas masyarakat tak berhunian layak atau bahkan tunawisma. Faktor harga rumah yang mahal dan terus mengalami kenaikan mendominasi sulitnya rakyat yang berpenghasilan pas-pasan untuk menjangkau pasar perumahan. Walaupun ada gagasan "Tapera" tapi realisasi kepemilikan rumah belum juga merata ke semua yang membutuhkan. 

Ketimpangan kondisi ini meng-captured bahwa keberadaan wakil rakyat dalam demokrasi kapitalis sulit dipisahkan dari politik kepentingan. Apakah untuk kepentingan dinasti, kepentingan balas budi, ataukah kepentingan memperkaya diri dan kelompoknya? Kapitalis membolehkan metode mendapatkan kapital melalui cara apa saja tanpa memikirkan dampaknya akan merugikan siapa. Para kapital ini akan bersimbiosis dengan elemen apa pun, termasuk mereka yang duduk dalam kekuasaan. 

Kontradiktif dengan gambaran wakil rakyat dalam bingkai Islam, yang sering disebut majelis umat. Majelis umat ini beranggotakan orang-orang yang mewakili kaum muslimin dalam memberikan pendapat sebagai tempat merujuk bagi penguasa untuk meminta masukan/nasihat mereka dalam berbagai urusan. Majelis umat merupakan representasi masyarakat, baik individu-individu, maupun kelompok-kelompok, dalam mengemukakan pendapat. Mereka adalah pemimpin kelompok mereka tanpa memandang kapasitas atau kemampuan mereka. Karena Rasulullah dulu tidak memilih orang yang menjadi rujukan beliau dalam masalah pendapat berdasarkan atas kemampuan, kapabilitas, dan kepribadian mereka. 

Keberadaan mereka hanya murni mewakili umat dalam hal: pertama, hak menyampaikan pendapat (syura) kepada penguasa berdasarkan dalil Ali Imron ayat 159 yang artinya: "Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah." Dan juga dalam surat Asy-Syuroo ayat 38 yang artinya: "Urusan mereka diputuskan berdasarkan musyawarah di antara mereka." Kedua, kewajiban muhasabah, yakni mengontrol tugas-tugas dan kebijakan-kebijakan para penguasa dan mengubah perilaku mereka jika:
1. Melanggar hak-hak rakyat
2. Melalaikan kewajibannya terhadap rakyat
3. Mengabaikan salah satu urusan rakyat
4. Menyalahi hukum-hukum Islam
5. Memutuskan hukum dengan selain wahyu Allah

Pendapat yang disampaikan majelis umat dalam perkara-perkara praktis yang berkaitan dengan pengaturan urusan umat dalam masalah politik dalam negeri yang tidak memerlukan pengkajian dan analisis mendalam, menjadi pendapat mayoritas yang harus dilaksanakan. Di luar tidak bersifat mengikat (harus dilaksanakan). Dari sini maka sulit ditemukan celah kemungkinan majelis umat mengutamakan kepentingan diri dan kelompoknya sebagaimana dalam demokrasi kapitalis. Apalagi jika berkaitan dengan harta, Islam telah memiliki pakem jelas berkaitan dengannya. 

Islam mengatur soal harta mulai dari penjelasan kepemilikan harta. Apakah milik individu, ataukah milik umum ataukah milik negara. Pembedaan ini akan memperjelas pemanfaatan masing-masing agar tidak campur aduk dan asal keruk. Selain itu pemanfaatan dan pengaturan yang tepat juga akan memudahkan rakyat dalam mendapatkan pemenuhan atas hajat hidupnya, termasuk hajat tempat tinggal yang layak. Jika saja harta milik umum benar-benar dikelola secara amanah, maka hasilnya bisa dikembalikan kepada rakyat, termasuk dalam bentuk perumahan layak huni. Semua rakyat bisa menikmatinya, sehingga tidak lagi dijumpai ketimpangan antara rakyat satu dengan lainnya sebagaimana dalam demokrasi kapitalis.

Jikalau pun negara memberikan tunjangan kepada penguasanya, maka standarnya bukan berdasarkan keumuman gaya hidup di lokasi tertentu, melainkan berdasarkan nilai kebutuhan riil pada masing-masing keluarganya. Maka akan sulit dijumpai mark up anggaran untuk alasan kenyamanan, apalagi Islam mendidik umatnya agar berhati-hati dalam soal harta. Bukan hanya asalnya saja yang dipertanyakan, melainkan habis kemana juga wajib dipertanggungjawabkan. Hasil didikan Islam ini akan membentuk karakter individu pemegang amanah yang takut dosa, tidak 'aji mumpung' kepada tunjangan yang menggiurkan. Di sini lah contoh keadilan dan kabaikan dari aturan Islam itu. Maka bukankah yang seperti ini yang seharusnya dipraktikkan? []


Referensi:
1. https://kumparan.com/kumparannews/icw-sebut-tunjangan-rumah-anggota-dpr-pemborosan-anggarannya-capai-triliunan-23hDFc2Fj0k
2. https://www.detik.com/properti/berita/d-7577981/beredar-kabar-tunjangan-rumah-dpr-rp-50-juta-bulan-dapat-kayak-gimana
3. https://m.kumparan.com/kumparannews/data-icw-354-anggota-dpr-2024-2029-terindikasi-sebagai-politisi-pebisnis-23fzH0TEj6R

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama