Habis Gorontalo Terbitlah Demak: Rapot Merah Pendidikan Sekuler Menghasilkan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Pendidikan Kian Marak!



Endah Sulistiowati, Tri Widodo, dan AM. Pamboedi


Beberapa waktu lalu Indonesia dihebohkan beredar video viral guru - murid yang melakukan tindakan asusila. Melansir dari BBC News, Jumat 28 September 2024, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menyebutnya  menyampaikan dugaan tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan seorang guru terhadap muridnya di sekolah menengah agama di Gorontalo mencerminkan bahwa “dunia pendidikan sedang darurat kekerasan seksual”.


Dari Gorontalo kita beralih ke Demak. Mengutip dari Tribunnews.com, 27 September 2024, Polisi menangkap RAM (17), siswa SMA yang diduga memperkosa pelajar SMP berinisial MKR (14), di Demak. Video perbuatan itu sempat viral di media sosial setelah diunggah satu akun di Instagram. Mirisnya, kejadian itu direkam sejumlah saksi yang masih duduk di bangku SD.


“Darurat“ karena tindakan kekerasan seksual anak di satuan pendidikan terus berulang dengan tren meningkat. Hal ini diperparah dengan sanksi terhadap pelaku yang rendah sehingga tidak menimbulkan efek jera.


Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat sedikitnya 101 korban kekerasan seksual yang terjadi di satuan pendidikan pada Januari hingga Agustus 2024. Adapun sepanjang 2023, jumlahnya tercatat dua kali lipat, yakni 202 anak.


Tingginya kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan, menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), disebabkan oleh relasi kuasa antara guru dan murid yang tidak seimbang ditambah lemahnya pengawasan. 


Melihat ancaman kekerasan seksual terhadap anak yang makin gencar, pemerintah melalui Kemen PPPA menginisiasi Peta Jalan Perlindungan Anak di Ranah dalam Jaringan (daring) agar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah memiliki panduan melaksanakan perlindungan anak di ranah dalam jaringan.


Upaya yang hendak pemerintah lakukan memang patut kita apresiasi. Akan tetapi, apakah upaya ini bisa menyelesaikan masalah, sedangkan sistem kehidupan yang tegak hari ini sama sekali tidak memberi rasa aman bagi rakyatnya?


II. Permasalahan 


Dari uraian di atas ada beberapa poin yang perlu kita bahas dalam tulisan kali ini, yaitu: 


1) Bagaimana dampak yang akan ditimbulkan dengan tingginya angka kekerasan seksual ini bagi para siswa-siswi? 


2) Apa solusi yang harus dilakukan agar kekerasan seksual ini bisa dihentikan?



Dampak Pendidikan Sekuler Menghasilkan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Pendidikan Kian Marak


Salah satu visi utama sistem pendidikan nasional adalah mencetak generasi yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia melalui upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Negara ini secara tegas menyatakan diri sebagai negara hukum dan negara yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, kenyataannya, negara ini menerapkan paradigma sekuler dalam mengembangkan sistem pendidikannya, terutama dalam perancangan kurikulum.


Paradigma sekuler yang memisahkan nilai-nilai agama dari kehidupan manusia mendorong individu untuk berpikir dan bertindak secara sekuler dalam berbagai aspek. Setiap pemikiran dan tindakan yang muncul bukanlah hasil dari kesadaran agama, melainkan didasari oleh keinginan dan hasrat untuk mendapatkan keuntungan pragmatis. Paradigma sekulerisme tidak mempertimbangkan halal dan haram, melainkan hanya berfokus pada keuntungan praktis yang diperoleh. Dari sinilah muncul dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan tindakan amoral yang bertentangan dengan nilai-nilai agama.


Faktanya pendidikan dengan sistem sekuler, di mana agama tidak menjadi landasan utama dalam kurikulum dan pengajaran, telah menjadi pendekatan yang dominan di banyak negara, termasuk Indonesia. Sayangnya pendidikan sistem sekuler  membawa sejumlah dampak yang perlu diperhatikan. Dampak dari pendidikan sekuler sangatlah signifikan, terutama karena hampir semua individu di dunia ini telah terpengaruh oleh sistem pendidikan sekuler. Berikut adalah beberapa dampak yang bisa ditimbulkan dari penerapan sistem pendidikan sekuler:


1. Kehilangan Nilai-Nilai Spiritual dan Moral


Pendidikan sekuler cenderung memisahkan agama dari pengajaran, yang dapat menyebabkan penurunan pengajaran nilai-nilai spiritual dan moral. Siswa mungkin tidak mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang pentingnya moralitas dan tanggung jawab sosial dari perspektif agama. Hal ini bisa menyebabkan perilaku yang lebih individualistik dan materialistis, tanpa adanya panduan moral yang kuat. Sedangkan bagi siswa yang hidup di lingkungan dengan pendidikan agama yang cukup baik, pendidikan sekuler bisa menyebabkan krisis identitas. Mereka mungkin merasa bingung atau terasing karena tidak ada keseimbangan antara nilai-nilai agama yang mereka anut di rumah dan nilai-nilai yang diajarkan di sekolah.


2. Pengabaian Pendidikan Akhlak


Sistem pendidikan sekuler lebih fokus pada aspek pengetahuan ilmiah dan keterampilan teknis, yang kadang-kadang mengabaikan pentingnya pendidikan akhlak atau karakter. Ketika pendidikan akhlak tidak diberikan prioritas, siswa mungkin tidak memiliki panduan yang cukup dalam menghadapi tantangan etis di dunia nyata. Ini bisa menyebabkan tindakan amoral. Siswa mungkin kurang mengembangkan rasa tanggung jawab terhadap masyarakat karena tidak diajarkan untuk mempertimbangkan dampak sosial dari tindakan mereka dari sudut pandang moral dan agama.


3. Materialisme dan Individualisme


Pendidikan sekuler sering kali mendorong orientasi materialistik, di mana keberhasilan diukur berdasarkan pencapaian materi dan status sosial. Hal ini dapat mengarahkan siswa untuk lebih fokus pada pencapaian pribadi tanpa mempertimbangkan tanggung jawab sosial atau spiritual.


4. Ketidakseimbangan Antara Ilmu Dunia dan Agama


Pendidikan sekuler sering kali mengabaikan kontribusi ilmu-ilmu agama dalam membentuk peradaban manusia, yang dapat menciptakan kesenjangan antara ilmu duniawi dan ilmu agama. Siswa bisa salah paham bahwa agama dan ilmu pengetahuan tidak bisa berjalan beriringan. Padahal, dalam sejarah, banyak ilmuwan besar yang juga mendalami agama dan mengintegrasikan keduanya dalam kehidupan mereka. Pengetahuan yang diberikan dalam pendidikan sekuler cenderung hanya berfokus pada aspek empiris dan rasional, yang mengesampingkan aspek spiritual atau metafisik yang sebenarnya juga penting dalam memahami realitas secara utuh.


6. Kehilangan Tujuan Hidup yang Utuh


Dalam sistem pendidikan sekuler, fokus utama adalah pada pengembangan keterampilan teknis dan karier. Namun, tanpa perspektif agama, siswa mungkin kehilangan pemahaman tentang tujuan hidup yang lebih dalam dan utuh. Tanpa dasar pemahaman agama, individu mungkin kesulitan menghadapi krisis spiritual atau tantangan hidup yang membutuhkan panduan yang lebih dalam dari sekadar pengetahuan duniawi.


Dampak-dampak pendidikan sekuler tersebut menghasilkan kerusakan di lingkungan pendidikan salah satunya adalah kian maraknya kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. _End Child Prostitution in Asia Tourism_ (ECPAT) Internasional menjelaskan bahwa kekerasan seksual terhadap anak, khususnya remaja, adalah suatu bentuk interaksi antara anak dan orang dewasa, seperti orang asing, saudara kandung, atau orang tua, di mana anak diperlakukan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan seksual pelaku. Proses ini sering dilakukan melalui paksaan, ancaman, penyuapan, penipuan, atau pemaksaan. 


Kasus kekerasan seksual terhadap anak, tidak selalu ada hubungan langsung antara pelaku dan korban. Contoh kekerasan seksual termasuk pemerkosaan dan pencabulan.


Korban kekerasan seksual mungkin mengalami trauma berat. Peristiwa traumatis ini dapat memicu stres yang tinggi. Beberapa gangguan stres dan trauma yang dialami korban kekerasan seksual meliputi sindrom kecemasan, ketidakstabilan emosi, dan kilas balik yang mengerikan baik secara fisik maupun emosional, melebihi batas ketahanan normal. 


Kekerasan seksual terhadap remaja dapat berdampak fisik dan psikologis. Secara psikologis, anak yang menjadi korban kekerasan seksual dapat mengalami stres, depresi, perasaan bersalah, menyalahkan diri sendiri, takut berhubungan dengan orang lain, kilas balik dari peristiwa kekerasan seksual di masa lalu, mimpi buruk, gangguan tidur, ketakutan terhadap hal-hal yang terkait dengan pelecehan (misalnya benda atau tempat tertentu), trauma dalam kunjungan dokter, masalah harga diri, gangguan seksual, dan hilangnya kepercayaan diri.


Kekerasan seksual terhadap anak juga memberikan dampak negatif bagi korban, baik secara emosional maupun fisik. Secara emosional, anak yang menjadi korban kekerasan berbasis gender dapat mengalami stres, depresi, gangguan mental, perasaan bersalah, takut berinteraksi dengan orang lain, kilas balik kejadian kekerasan, mimpi buruk, insomnia, ketakutan terhadap benda, bau, tempat, serta kunjungan dokter. Mereka juga bisa menghadapi masalah kepercayaan diri, ketakutan terhadap hal-hal terkait kekerasan, disfungsi seksual, nyeri kronis, penyalahgunaan obat-obatan, pikiran bunuh diri, serta kehamilan yang tidak diinginkan.


Secara fisik, korban mungkin mengalami kehilangan nafsu makan, kesulitan tidur, sakit kepala, ketidaknyamanan seksual atau pada area genital, risiko tertular penyakit menular seksual, luka fisik akibat kekerasan, dan kemungkinan kehamilan yang tidak diinginkan.


Strategi Menghentikan Kekerasan Seksual 


Terus berulangnya kekerasan seksual pada di dunia pendidikan, termasuk child grooming, tentu menyimpan tanda tanya besar dalam benak kita, mengapa bisa begini? Jika kita cermati lebih dalam, sesungguhnya berulangnya fenomena ini bukan hanya karena faktor ekonomi atau kurangnya perhatian orang tua, tetapi juga tidak lepas dari gagalnya negara dalam melindungi rakyatnya dan menjamin keamanannya. Termasuk gagalnya pendidikan mencetak out put yang bertakwa.


Hal ini niscaya karena negara dalam sistem kapitalisme tidak berfungsi sebagai pelindung rakyatnya, namun hanya membuat undang-undang, kemudian diserahkan kepada rakyat untuk menjalankannya dan sangat minim pengawasan. 


Apalagi sistem sekuler kapitalisme dengan paham-paham turunannya yang batil—liberalisme dan materialisme—yang diemban bangsa ini menjadikan manusia bebas berbuat sekehendak hatinya tanpa aturan baku. Aturan yang berlaku di tengah masyarakat adalah aturan buatan manusia yang serba lemah dan terbatas. Bagaimana mungkin bisa menjaga manusia berada dalam ketentraman dan keberkahan?


Terlebih lagi, pemahaman masyarakat terhadap ajaran Islam kaffah sangat lemah sehingga Islam telanjur dipahami sebatas ritual saja. Aturan agama (syariah) hanya dijadikan ilmu pengetahuan tanpa harus diaplikasikan. Sehingga wajar jika tidak sedikit individu muslim meskipun punya banyak ilmu agama tapi mengalami disorientasi hidup, bahkan terjerumus dalam kemaksiatan. 


Situasi ini diperburuk dengan makin mandulnya negara dalam menghentikan faktor-faktor pemicu maraknya kekerasan seksual pada anak. Seharusnya, negara dengan “tangannya” mampu mengendalikan internet, termasuk mencegah masuknya konten-konten yang merusak. Akan tetapi, negara seolah santai dan tidak mampu mengambil tindakan pencegahan dan pemberian sanksi berat bagi pelakunya. Oleh karenanya, perlu ada upaya sistemis dalam menyelesaikan persoalan ini, bukan hanya aspek individunya.


Jika sistem sekuler kapitalisme yang mengusung liberalisme telah terbukti justru melahirkan maraknya kejahatan terhadap anak, sudah selayaknya sistem ini kita buang jauh-jauh dari kehidupan umat yang mayoritas muslim ini. Demikian halnya, berharap pada negara sekuler untuk bisa memfungsikan dirinya sebagai pengayom dan pelindung anak-anak, hanyalah mimpi.


Sebagai sistem kehidupan yang paripurna, Islam telah memberikan tanggung jawab yang sepadan kepada kaum muslim, baik individu, keluarga, masyarakat, terlebih lagi negara untuk melindungi rakyatnya.


Dalam keluarga, ayah bertanggung jawab memberi nafkah dan menjaga keamanan keluarga dari berbagai gangguan. Orang tua juga berperan besar menanamkan pemahaman Islam yang kukuh kepada anak; mengasuh dan mendidik anak-anaknya dengan Islam. Hal yang penting juga adalah intens berkomunikasi dan bersahabat dengan anak-anak sehingga mereka menjadikan orang tua sebagai tempat curahan hatinya dan tidak mencari orang lain.


Pada level masyarakat, setiap anggotanya berkewajiban untuk saling amar makruf nahi mungkar dan saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, termasuk membantu dalam kehidupan bermasyarakat dan menjamin rasa aman lingkungan. 


Sedangkan negara, ia adalah pihak yang bertanggung jawab penuh atas rakyatnya, individu per- individunya. Dalam Islam, tanggung jawab negara diserahkan kepada kepala negara, yaitu khalifah sebagai imam atau pemimpin kaum muslim.


Sebagai raa’in, kepala negara harus melindungi rakyatnya dari segala mara bahaya. Kelak pada Hari Kiamat ia akan dimintai pertanggungjawaban atas amanah kepemimpinannya itu. Rasulullah saw. bersabda, “Imam adalah raa’in atau penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).


Tugas negara ini termuat menyiapkan sistem pendidikan terbaik dengan landasan akidah yang kuat, agar out put yang dihasilkan benar-benar menjadi generasi yang kuat pula. Sehingga tidak mudah terjerumus pada tipu daya syaitan berkedok kemajuan jaman dan teknologi.


Khatimah 


Lingkungan pendidikan yang harusnya menjadi pabriknya generasi penerus bangsa harus tercoreng dengan banyaknya kasus kekerasan seksual. Sehingga hal ini harusnya menjadi evaluasi bagi pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan. Bukan sekedar membuat undang-undang tapi nol dalam pengawasan. Sebagai umat Islam memang sudah sewajarnya kita kembali menjadikan Islam sebagai solusi kehidupan termasuk dalam menyelesaikan tingginya kasus kekerasan seksual ini. Karena Islam itu solutif dan aplikatif bukan hanya teori semata. []

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama