Endah Sulistiowati (Dir. Muslimah Voice)
Seringkali kejahatan seksual dilakukan oleh orang terdekat atau kita bisa menyebutnya sebagai orang yang dipercaya oleh korban. Bahkan orang yang begitu dihormati dan disegani, guru misalnya. Seperti yang kasusnya viral baru-baru ini.
Tulisan ini tidak membahas tentang kasus yang terjadi tapi lebih pada edukasi agar kasus serupa tidak terjadi.
Child grooming adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud untuk membangun hubungan, kepercayaan, dan kontrol atas seorang anak atau remaja dengan tujuan untuk mengeksploitasi mereka secara seksual, emosional, atau fisik.
Melansir dari NSPCC, grooming sering kali merupakan langkah awal dalam proses pelecehan seksual terhadap anak-anak, di mana pelaku mencoba memperoleh kepercayaan dan kesetiaan dari korban mereka sebelum melakukan tindakan yang merugikan.
Grooming bisa terjadi secara online ataupun di dunia nyata, dan pelakunya sering menggunakan manipulasi, tipu daya, pemberian hadiah, perhatian khusus, atau pembentukan ikatan emosional untuk memanipulasi korban. Hal ini sering kali merupakan tahap awal dalam rangkaian tindakan pelecehan yang lebih serius dan merugikan.
Memang awalnya perhatian dan kasih sayang itu nampak tulus. Biasanya terjadi pada anak-anak yang memang kurang perhatian dan kasih sayang. Pelaku memanfaatkan kondisi-kondisi seperti ini.
Termasuk pacaran dengan beda usia yang cukup signifikan antara si cowok dan cewek, si cowok sudah kerja dan si cewek masih sekolah. Memang si cewek akan mendapatkan kemanfaatan dari si cowok, tapi ujungnya kayak gimana tidak ada yang tahu. Mungkin Tuhan dan si cowok aja yang tahu.
Inilah yang harus ditekankan bahwa semua yang berawal dari pelanggaran syariah akan berujung petaka.
Strategi Menghentikan Kekerasan Seksual
Terus berulangnya kekerasan seksual pada di dunia pendidikan, termasuk child grooming, tentu menyimpan tanda tanya besar dalam benak kita, mengapa bisa begini, mengapa bisa begitu?
Jika kita cermati lebih dalam, sesungguhnya berulangnya fenomena ini bukan hanya karena kurangnya perhatian orang tua ataupun lemahnya ekonomi korban, tetapi juga tidak lepas dari gagalnya negara dalam melindungi rakyatnya dan menjamin keamanannya.
Hal ini niscaya karena negara dalam sistem kapitalisme tidak berfungsi sebagai pelindung rakyatnya, namun hanya membuat undang-undang, kemudian diserahkan kepada rakyat untuk menjalankannya dan sangat minim pengawasan.
Apalagi sistem sekuler kapitalis radikal dengan paham-paham turunannya yang dipakai bangsa ini menjadikan manusia bebas berbuat sekehendak hatinya tanpa aturan baku. Aturan yang berlaku di tengah masyarakat adalah aturan buatan manusia yang serba lemah dan terbatas. Bagaimana mungkin bisa menjaga manusia berada dalam ketentraman dan keberkahan?
Terlebih lagi, pemahaman masyarakat terhadap ajaran Islam kaffah sangat lemah sehingga Islam telanjur dipahami sebatas ritual saja. Aturan agama (syariah) hanya dijadikan ilmu pengetahuan tanpa harus diaplikasikan. Sehingga wajar jika tidak sedikit individu muslim meskipun punya banyak ilmu agama tapi mengalami disorientasi hidup, bahkan terjerumus dalam kemaksiatan.
Situasi ini diperburuk dengan makin mandulnya negara dalam menghentikan faktor-faktor pemicu maraknya kekerasan seksual pada anak. Seharusnya, negara mampu mengendalikan internet, termasuk mencegah masuknya konten-konten yang merusak.
Akan tetapi, negara seolah santai dan tidak mau mengambil tindakan pencegahan dan pemberian sanksi berat bagi pelakunya. Oleh karenanya, perlu ada upaya sistemis dalam menyelesaikan persoalan ini, bukan hanya aspek individunya.
Jika sistem sekuler kapitalisme yang mengusung liberalisme telah terbukti justru melahirkan maraknya kejahatan terhadap anak, sudah selayaknya sistem ini kita buang jauh-jauh dari kehidupan umat yang mayoritas muslim ini. Demikian halnya, berharap pada negara sekuler untuk bisa memfungsikan dirinya sebagai pengayom dan pelindung anak-anak, hanyalah mimpi.
Sebagai sistem kehidupan yang paripurna, Islam telah memberikan tanggung jawab yang sepadan kepada kaum muslim, baik individu, keluarga, masyarakat, terlebih lagi negara untuk melindungi rakyatnya.
Dalam keluarga, ayah bertanggung jawab memberi nafkah dan menjaga keamanan keluarga dari berbagai gangguan. Orang tua juga berperan besar menanamkan pemahaman Islam yang kukuh kepada anak; mengasuh dan mendidik anak-anaknya dengan Islam. Hal yang penting juga adalah intens berkomunikasi dan bersahabat dengan anak-anak sehingga mereka menjadikan orang tua sebagai tempat curahan hatinya dan tidak mencari orang lain.
Pada level masyarakat, setiap anggotanya berkewajiban untuk saling amar makruf nahi mungkar dan saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, termasuk membantu dalam kehidupan bermasyarakat dan menjamin rasa aman lingkungan.
Sedangkan negara, ia adalah pihak yang bertanggung jawab penuh atas rakyatnya, individu per- individunya. Dalam Islam, tanggung jawab negara diserahkan kepada kepala negara, yaitu khalifah sebagai imam atau pemimpin kaum muslim.
Sebagai raa’in, kepala negara harus melindungi rakyatnya dari segala mara bahaya. Kelak pada Hari Kiamat ia akan dimintai pertanggungjawaban atas amanah kepemimpinannya itu. Rasulullah saw. bersabda, “Imam adalah raa’in atau penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).
Tugas negara ini termuat menyiapkan sistem pendidikan terbaik dengan landasan akidah yang kuat, agar out put yang dihasilkan benar-benar menjadi generasi yang kuat pula. Sehingga tidak mudah terjerumus pada tipu daya syaitan berkedok perhatian, kemajuan jaman dan teknologi.
Sehingga kalau pemimpin baru memang serius, bukan hanya lanjutkan dan lanjutkan saja, PR nya sangat banyak dan serius. Apalagi ini berurusan dengan generasi calon pemimpin bangsa. Edukasi keluarga, edukasi masyarakat, dan mendudukkan negara pada tempatnya. Wallahu'alam.