Oleh: Etik Pibriani
Berbagai macam problematika sedang terjadi di dunia pendidikan kita saat ini. Mulai dari kurangnya akses pendidikan di banyak wilayah Indonesia, jalanan yang sulit, transportasi yang tidak memadai, fasilitas pendidikan yang hanya seadanya, angka putus sekolah yang tinggi, dan biaya sekolah yang mahal khususnya di tingkat perguruan tinggi.
Di Halmahera Barat, Maluku Utara, siswa sekolah dasar harus berenang menyeberangi sungai untuk menuju sekolah mereka. Kondisi ini selalu terjadi ketika musim penghujan tiba. Akses jalan menuju ke sekolah melewati sebuah sungai yang airnya selalu meluap ketika musim hujan tiba. Anak-anak rela berbasah-basahan dan mengangkat buku mereka di atas kepala agar tidak basah. Sebenarnya masyarakat sudah meminta untuk dibangun jembatan yang menghubungkan daerah mereka dengan sekolah. Namun sampai sekarang kondisi itu tidak berubah. Anak-anak masih harus berenang menyeberangi sungai untuk menuju sekolah mereka. Sungguh kondisi yang miris di tengah hingar-bingar kemerdekaan dan megahnya ibukota baru IKN. (¹)
Kondisi memprihatinkan juga terjadi di salah satu sekolah di daerah Banten. Para siswa terpaksa belajar dengan menggunakan ruang sekolah yang rusak di beberapa bagiannya. Pintunya bolong tinggal separuh, plafon atapnya banyak yang sudah runtuh, bangunan juga rusak di beberapa titik. Ini sungguh membahayakan bagi keselamatan siswa dan guru. Menurut kepala sekolah SD tersebut, pihaknya sudah sejak tahun 2016 mengajukan permohonan perbaikan kerusakan seperti dinding yang retak, jendela pecah, dan pintu bolong-bolong kepada Pemda setempat. Namun hingga kini tak kunjung diperbaiki dengan alasan tidak ada anggaran.(²)
Selain itu angka putus sekolah juga masih sangat tinggi. Menurut data BPS 2023, angka putus sekolah berada pada angka 0,13 persen (SD), 1,06 persen (SMP), dan 1,38 persen (SMA). Secara persentase, angka ini mungkin kecil. Namun, secara hitungan angka, jumlahnya relatif besar. Dari data itu, kita dapat mengerti bahwa setidaknya ada angka putus sekolah sebesar 31.246 siswa (SD), 105.659 siswa (SMP), dan 73.388 siswa (SMA). Ini hanya sebagian dari fakta yang muncul di permukaan. (³)
Di tahun 2024 ini kita masih menyaksikan banyak anak Indonesia yang harus berjuang bertaruh nyawa untuk bisa sekolah. Namun dibalik segala kesulitan ini, beberapa waktu lalu pemerintah melalui menteri keuangannya mengajukan wacana untuk mengubah biaya pendidikan, mengotak-atik anggaran pendidikan.
Pertanyaannya, apakah jumlah dana pendidikan itu akan semakin besar atau malah justru semakin kecil?
Dan apakah mekanisme penyaluran dana tersebut semakin efektif ataukah semakin tidak efisien?
Dalam sistem Kapitalisme yang diterapkan di Indonesia saat ini, pendidikan seolah-olah menjadi barang dagangan atau tempat jual beli ijazah semata. (³). Siapa saja yang memiliki uang, dia bisa mengakses sekolah hingga ke pendidikan tinggi. Bagi rakyat yang kemampuan ekonominya rendah, harus puas menikmati pendidikan di jenjang yang rendah pula.
Pendidikan juga tidak menjadi fokus utama, dikarenakan sektor pendidikan bukanlah sektor yang menghasilkan benefit keuntungan atau profit. Ini berarti pengeluaran negara di sektor pendidikan tidak menghasilkan keuntungan berupa materi. Sehingga dalam kapitalisme, ini dianggap merugikan. Standar kapitalisme adalah materi, yaitu keuntungan atau bertambahnya kapital. Jelas sekali, pendidikan bukanlah sektor yang menghasilkan banyak uang. Malahan sektor pendidikan adalah sektor yang banyak menguras keuangan negara. Sehingga perlu dirapikan, di "otak-atik" lagi, agar keuangan negara bisa lebih efisien. Ini konsep dasar Kapitalisme.
Lebih parahnya lagi, dalam kapitalisme pendidikan bisa juga diserahkan kepada swasta atau ke lembaga pendidikan masing-masing. Dan ini sudah diterapkan dengan diberlakukannya BHP (Badan Hukum Pendidikan) pada perguruan tinggi negeri yang ada di Indonesia. Akibatnya, perguruan tinggi berusaha mendapatkan uang secara mandiri, yang itu berdampak pada tingginya UKT atau uang masuk ke perguruan tinggi.
Pendidikan dalam Pandangan Islam Vs Kapitalisme
Islam memandang pendidikan sebagai salah satu persoalan utama yang harus mendapatkan perhatian khusus dari negara. Pendidikan adalah salah satu hak masyarakat yang harus dipenuhi oleh negara dengan pemenuhan yang baik, layak, dan berkualitas. Sistem pendidikan yang baik akan mencetak SDM yang unggul dan maju. Sebaliknya pendidikan yang buruk tidak akan meningkatkan kualitas SDM, dan tidak mampu membawa negara pada kemajuan.
Untuk menghasilkan pendidikan yang baik, negara Islam yang dalam hal ini disebut dengan Daulah Khilafah, akan mengalokasikan anggaran pendidikan yang diambil dari Baitul Mall. Anggaran itu cukup untuk membangun fasilitas pendidikan yang merata, memberikan gaji atau insentif yang layak bagi para pendidik, dan juga memberikan beasiswa kepada para siswa, sehingga mereka bisa bersekolah dengan tenang tanpa harus memikirkan biaya sekolah yang mahal.
Alokasi anggaran pendidikan di negara Islam berasal dari Baitul Mall yang salah satu pemasukannya berasal dari kepemilikan umum. Yaitu pengelolaan sumber daya alam untuk kemudian hasilnya dikembalikan kepada rakyat sepenuhnya. Sumber daya alam akan dikelola secara mandiri oleh Daulah Islam, sehingga mampu memberikan penghasilan yang besar dan cukup untuk membiayai semua kebutuhan pendidikan bagi rakyatnya, secara baik dan berkualitas.
Hal ini tentu berbeda dengan konsep kapitalisme yang menyerahkan sumber daya alam untuk dikelola swasta. Kondisi itu menjadikan pemasukan dari kepemilikan umum tidak kembali kepada rakyat, tetapi hanya dinikmati oleh segelintir orang atau pihak-pihak yang berada di dalam 'circle' kekuasaan. Merekalah yang bisa mengakses sumber daya alam tersebut melalui wewenangnya atau kekuasaannya.
Di masa Daulah Islam salah satu pusat pembelajaran yang terkenal adalah Madrasah Al Muntasiriyah yang didirikan oleh Khalifah Al Muntasir Billah di kota Baghdad. Sekolah ini memberikan beasiswa kepada siswanya berupa emas setara 1-2 dinar atau 4,25 gram. Kehidupan sehari-hari dari siswa yang belajar di sekolah ini dijamin pemenuhannya. Lalu disediakan juga fasilitas penunjang seperti perpustakaan, rumah sakit, pemandian, dan juga sarana-sarana pendukung lain yang bisa semakin meningkatkan kualitas belajar dari para siswa.(⁴)
Ada juga Madrasah An-Nuriyah di Damaskus yang didirikan pada 6 Hijriyah oleh Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad Zanki. Di sekolah ini disediakan asrama bagi para siswanya, kemudian disediakan juga perumahan untuk staf pengajar, lalu ada juga ruang peristirahatan, disiapkan pelayan untuk membantu aktivitas sehari-hari dalam sekolah tersebut, dan sudah disiapkan juga ruang besar untuk ceramah dan diskusi. (⁴)
Dan hampir di seluruh masjid di wilayah Daulah Khilafah, terdapat kutab yang dibangun bersebelahan atau di samping masjid. Kutab-kutab tersebut adalah tempat yang digunakan untuk belajar dan mempelajari Islam. Salah satu kota dari kota-kota di Cecilia pada zaman tersebut terdapat 300 kutab, yang mana kutab-kutab itu bahkan mampu menampung ratusan hingga ribuan siswa.(⁴)
Tentu kita mempertanyakan pembiayaan sebesar itu, dari manakah negara Islam atau Daulah Khilafah itu mendapatkannya? Hal itu kembali kepada sistem ekonomi Islam yang juga diterapkan dengan baik.
Tentu kondisi ketika Islam diterapkan sangat berbeda dengan kondisi saat ini yang menerapkan kapitalisme. Islam memandang pendidikan sebagai salah satu hal yang utama. Pendidikan agama dijadikan sebagai 'basic' atau dasar, dan sekolah sebagai salah satu tempat untuk mendidik generasi muda, akan diberikan perhatian yang khusus. Negara tidak akan pelit untuk mengeluarkan pendanaan untuk pendidikan. Dikarenakan sumber pendanaan itu memang berasal dari kepemilikan umum yang mana kepemilikan umum ini memang haknya rakyat untuk menikmatinya.
Sedangkan dalam kapitalisme penguasa dan rakyat tidak ubahnya seperti penjual dan pedagang. Penguasa menawarkan berbagai macam layanan kepada rakyatnya seperti layanan kesehatan dan layanan pendidikan. Keduanya-pendidikan dan kesehatan- bisa dinikmati dengan baik ketika rakyat mampu membayarnya. Memang tidak dipungkiri ada beberapa yang mendapatkan secara gratis. Tapi itupun tidak mencakup seluruh rakyat, dan hanya beberapa fasilitas tertentu saja.
Demikianlah Allah SWT menurunkan Islam sebagai aturan yang lengkap untuk mengatur seluruh kehidupan manusia. Ketika manusia kembali kepada aturan Islam maka kehidupan akan berjalan dengan baik. Kesejahteraan bisa dicapai, dan khususnya kualitas pendidikan akan mampu untuk ditingkatkan menjadi SDM yang unggul.
Nah dari sini kita bisa melihat dan membandingkan. Jika kondisi sekarang saja kebutuhan dana pendidikan di Indonesia masih jauh dari kata cukup, lalu apa jadinya jika anggaran tersebut dikurangi atau menjadi lebih kecil dari yang dianggarkan sebelumnya? Pasti itu akan menjadikan masalah pendidikan semakin rumit dan semakin sulit untuk diselesaikan.
Seandainya saja kita mau kembali kepada aturan Islam, benang keruwetan dan kesulitan di bidang pendidikan ini akan bisa terurai satu persatu. Namun sistem pendidikan Islam tidaklah berdiri sendiri. Semua itu terkait juga dengan sistem ekonomi, sistem pergaulan, kebijakan negara, dan visi misi dalam pembentukan generasi. Wallahu'alam bishshawab.[]
Referensi :
(¹) Miris, Anak Sekolah Berenang Menuju Sekolah! Di Halmahera Barat, Maluku Utara, Fakta + 62. Official Net News, 2024.
(²) Tak Kunjung Diperbaiki, Begini Kondisi Bangunan Sekolah Rusak di Banten, Newsfire-Espos.id, 2023
(³) Situmorang, Riduan. Kolom : Senjakala Bersekolah. Detik News, Mei 2024.
(⁴) Dengan Sistem Islam, Pendidikan Merata dan Berkualitas. Perfect Education. Muslimah Media Hub, 2024.