Bukti Demokrasi Anti Kritik

 


 

Oleh Hany Handayani Primantara, S.P (Aktivis Muslimah)


Terulang lagi jatuh korban dari aktivitas demontrasi atas penolakan rakyat terhadap revisi DPR tentang UU Pilkada kemarin. Sungguh malang nasib Andi Andriana seorang mahasiswa universitas Bale Bandung yang kini terbujur lemah di bangsal rumah sakit. Ia terancam kehilangan mata kirinya akibat lemparan batu yang terjadi saat berunjuk rasa mengawal putusan Mahkamah Konstitusi di kantor DPRD Jawa Barat kota Bandung. (Kompas com, 24/08/24).


Tak hanya Andi yang menjadi korban unjuk rasa. Di luar sana masih banyak korban aksi dari gas air mata yang digunakan oleh aparat keamanan saat demo berlangsung. Begitu pula mahasiswa yang diciduk dari lokasi aksi dan belum kembali ke rumah tanpa informasi jelas. Belum lagi mereka yang kena tongkat pemukul polisi tak terhitung oleh jari. Haruskah mereka yang notabene pegawai negara harus melakukan tindakan represif terhadap mereka yang hendak protes dan ajukan pendapat demi terwujudnya kehidupan berdemokrasi? 


Demokrasi Tak Sesuai Teori


Masyarakat melakukan aksi unjuk rasa bukan tanpa alasan. Unjuk rasa yang terjadi akibat adanya pelanggaran yang dilakukan oleh negara. Unjuk rasa harusnya menjadi salah satu cara untuk mengingatkan pemerintah atas kecerobohan maupun kesalahan yang dilakukan saat mereka mengambil sebuah kebijakan. Sebab kebijakan yang diputuskan  akan berdampak pada masyarakat secara umum bukan hanya segelintir orang. 


Menjadi sebuah kewajaran dan bagian dari pemenuhan hak warga negara jika hal itu dilakukan. Sesuai dengan teori demokrasi bahwa kepemimpinan yang digunakan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Semua bertumpu pada kebutuhan serta kepentingan rakyat. Namun nampaknya teori tak sejalan dengan fakta di lapangan. 


Sebab yang terjadi justru sebaliknya. Kejadian miris aparat yang justru menyemprotkan gas air mata dan tindakan represif lainnya dengan dalih mengamankan lokasi unjuk rasa adalah bukti nyata bahwa sistem demokrasi sebenarnya anti kritik. Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi tidak memberi ruang akan adanya kritik dan koreksi dari rakyat sebagaimana teori dalam buku pelajaran. Hal ini juga bertentangan dengan pasal dalam undang-undang dasar mengenai kebebasan berpendapat yang dijamin oleh negara.


Islam Menjamin Aspirasi Rakyat 


Dalam sistem Islam negara seharusnya memberi ruang dialog, menerima utusan serta tidak mengabaikan aspirasi rakyat. Karena hal ini merupakan bagian dari kewajiban untuk mengoreksi penguasa ketika memang kebijakan yang mereka buat bertentangan dengan syariat atau mendzalimi rakyat. Salah satu mekanisme ini disebut kewajiban muhasabah lil hukam. Tujuannya menjaga agar pemerintah tetap berada di jalan Allah. Selain itu lembaga seperti majelis ummah dan qadli madzalim juga memiliki fungsi yang serupa namun berbeda ranah kewenangan saja. 


Islam menjadikan amar makruf nahi mungkar sebagai kewajiban setiap individu, kelompok dan masyarakat secara umum. Di samping itu penguasa juga memahami tujuan adanya muhasabah, yaitu tetap tegaknya aturan Allah di muka bumi sehingga terwujud negara yang baldatun thayibatun wa rabbun ghafur. Maka penerimaan mereka pun adalah baik sesuai tuntunan syara. Bukan malah bertindak represif atau semacamnya. 


Sebagaimana firman Allah dalam surat Saba ayat 15, "Sungguh, bagi kaum Saba' ada tanda (kebesaran Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri, (kepada mereka dikatakan), "Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman) sedang (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun."

Wallahualam bishshawab.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama