Oleh: Ita (Ibu rumah tangga)
Wacana kenaikan minyak goreng minyak kita meresahkan berbagai kalangan terutama masyarakat umum menengah kebawah. Rencana kenaikan HET yang diumumkan beberapa bulan lalu terealisasikan di dua pekan terakhir.
Seperti yang dilansir dari tempo.co (21/07/2024) bahwasanya harga satuan liter minyak kita yang semula adalah Rp 14.000 dinilai sudah tidak bisa disesuaikan dengan harga pokok produksi seperti yang dipaparkan oleh Menperindag bahwa biaya produksi yang ditanggung oleh produsen mengalami fluktuasi, dimana beban produksi untuk mengolah sawit diluar dugaan, sehingga HET yang semula telah ditetapkan harus dinaikkan menjadi Rp15.700 ,hal ini merupakan pukulan telak untuk para pengusaha kaki lima, pedagang kecil usaha rumahan serta para ibu rumah tangga.
Dampak negatif adanya putusan kenaikan minyak Kita sebagai minyak yang mayoritas dibutuhkan para masyarakat menengah kebawah telah nampak di beberapa waktu terakhir, adanya rumah produksi pemalsu merk di Malang, nekat memalsukan minyak curah menjadi minyak kita karena desakan ekonomi. Naiknya harga beberapa bahan makanan siap saji olahan, serta menurunya omset pendapatan pedagang kecil seperti gorengan dan lain sebagainya. Sehingga yang terjadi adalah penurunan daya beli masyarakat miskin yang tak mampu menjangkau seluruh komoditi sembako layak karena akan beralih ke pilihan minyak curah dengan resiko kesehatan yang akan dipertaruhkan.
Pernyataan orang nomor satu terpilih di Indonesia menyatakan keoptimisannya bahwa ekonomi masyarakat akan bertumbuh hingga 8% seperti terdengar hanya sebuah lelucon di tengah jeritan penderitaan masyarakat. Indonesia adalah penghasil minyak kelapa sawit terbesar (CPO) setelah mengungguli Malaysia, dengan konsentrasi lahan di Kalimantan dan Sumatera. Tetapi angka hanyalah angka dimana ketimpangan sosial antara harga jual petani sawit dengan produsen serta harga yang beredar di masyarakat jauh dari kata seimbang. Kapasitas panen 51,3 juta ton per 2022 tiap tahun ternyata tidak menjamin ketersediaan minyak murah untuk masyarakat.
Alasan naiknya biaya produksi seperti yang dipaparkan pihak pemerintah seharusnya tidak bisa diterima dengan alasan apapun, setiap kebijakan yang diambil dalam penentuan harga pokok pangan selalu rakyat kecil yang menjadi objek imbasnya, padahal pemerintah seharusnya menjadi tumpuan untuk kesejahteraan rakyat kecil. Regulasi pemerintah yang tumpul kebawah hanya akan mengenyangkan perut kapitalis dengan kekuatan modal, karena ekonomi di dalam sistem kapitalis adalah meraup sebesar besarnya keuntungan tanpa melihat siapa yang dikorbankan. Saat ini pemerintah hanya menjadi pion kapitalis, menjadi payung hukum bagi para pemodal. Sistem kapitalisme juga tidak akan memberikan celah sedikitpun untuk kelas menengah ke bawah untuk berkembang sehingga pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada sektor kebutuhan pangan atau sembako akan dikuasai sebesar besarnya untuk kaum kapitalis. Habis sudah ruang gerak rakyat untuk mendapatkan taraf kehidupan yang seharusnya didapatkan dari pemimpin, karena pemerintah atau pemimpin sendiri sudah terbeli dengan gurita kekuasaan, regulasi dan bagi bagi keuntungan dengan menghisap darah rakyat kecil.
Padahal jauh sebelum ini, Islam telah menetapkan serta mencontohkan bahwasanya apa saja yang menjadi kebutuhan masyarakat umum yaitu rakyat baik berupa sandang pangan atau papan adalah hak umat dan sepenuhnya menjadi hak umat, salah satunya adalah minyak.Karena di dalam sistem Islam komoditi apapun berupa hak umum akan dikelola oleh suatu negara sebaik baiknya demi kepentingan umat. Pemerintah akan menjadi regulator baik produksi maupun distribusi agar kekayaan alam yang melimpah dinikmati oleh umat secara adil dan merata sehingga tidak ada kebutuhan mencekik yang membebani masyarakat. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. bahwa Nabi Saw bersabda "Manusia berserikat (punya hak/andil) dalam tiga hal, yaitu, air, padang rumput, dan api". (HR Abu Dawud). Diriwayatkan juga oleh Annas ra. dari Ibnu Abbas ra. menambahkan (dan harganya haram) sehingga tidak boleh diperjualbelikan.[]
Allahua'lam bishshawab.