Oleh: Ratnawati, M.Si
Pengajuan bebas visa kunjungan 20 negara teratas penyumbang wisatawan dengan dampak ekonomi terbesar telah memasuki tahap akhir. Dari nama yang diajukan, ada 3 negara yang secara terang-terangan menunjukkan sikap anti-muslim ke seluruh dunia, yaitu India, Amerika Serikat (AS) dan Inggris Raya (UK) (portal-islam.id, 17/03/2024). Ketiga negara inipun terlibat aktif mendukung dan memasok persenjataan kepada militer Israel laknatullah dalam agresinya terhadap negeri muslim Palestina (news.republika.co.id, 26/06/2024).
Pengelolaan Pariwisata dalam Paradigma Kapitalisme
Mengapa pemerintah Indonesia justru memberikan kemudahan akses bagi warga negara yang secara nyata dalam banyak hal memusuhi, memerangi dan bahkan menyerukan genosida terhadap muslim di seluruh dunia? Padahal Indonesia adalah negara yang 87% penduduknya muslim.
Dalam paradigma kapitalisme, kebijakan tersebut tidaklah mengherankan, dan tidak dianggap kontradiktif. Kapitalisme berlandaskan asas manfaat. Sehingga ketika masih mendatangkan keuntungan material, maka kerjasama dengan musuh pun akan tetap dilakukan.
Indonesia menjalankan kapitalisasi sektor pariwisata, dengan merujuk pada Studi Bank Dunia. Pemerintah Indonesia menjadikan sektor pariwisata sebagai lokomotif baru pertumbuhan ekonomi. Melalui kacamata ini, sektor pariwisata digenjot untuk pembangunan berkelanjutan, mendorong pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), meningkatkan meningkatkan intensitas perdagangan internasional, menaikkan investasi global, dan mengangkat negara-negara berpendapatan rendah (low-income countries) (setneg.go.id, 09/04/2019).
Oleh karena itu, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kuantitas wisatawan mancanegara (wisman) yang datang, guna mendapatkan keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Namun ketika pemerintah begitu fokus terhadap perolehan materi dan tidak memperhatikan aspek penting lainnya, ternyata ada konsekuensi yang tidak diduga. Fakta menunjukkan bahwa ketika jumlah wisatawan asing mancanegara (wisman) meningkat, ternyata angka kriminalitas yang melibatkan para wisman ini juga meningkat (travel.detik.com, 05/03/2024).
Ulah para wisman tersebut beragam, dari mulai perilaku liberal yang merusak dan menimbulkan kekacauan dalam banyak hal, sampai pelecehan terkait keagamaan. Seperti yang terekam dalam video viral dimana seorang wisman India mencecar seorang pemangku adat Hindu di Bali bahwa budaya Hindu di Bali tidak sesuai dengan ajaran Hindu yang ada di India (viva.co.id, 16/05/2024).
Potensi kerusakan secara menyeluruh akibat kapitalisasi sektor pariwisata ini sudah lama dikhawatirkan banyak pihak, termasuk Wagub Bali di masa itu, Cok Ade, yang merupakan ahli di bidang pariwisata. Dia mengatakan bahwa alam Bali sekarang sudah rusak, keamanan terganggu, keberlangsungan tradisi dan budayanya terganggu bahkan hal-hal yang terkait peribadatan termasuk tempat ibadahnya juga sudah terusik kesuciannya. Dia mengatakan para penguasa di Bali, termasuk menterinya begitu fokus dengan kenaikan Pendapatan Asli daerah (PAD) sampai mereka lupa keberlanjutan budayanya. Padahal riset yang dilakukan para peneliti termasuk Dr. Gusti Ayu Suryawardani menunjukkan bahwa sekitar 40-50% devisa yang dibawa wisman ke Bali ternyata kembali lagi ke negaranya. Jadi artinya profit yang diperoleh kemudian ke luar dari Bali, bahkan keluar dari Indonesia, dan sisanya dibagi-bagi oleh kalangan kapitalis di Bali (balitribune.co.id, 16/02/2020).
Jelas tergambar bahwa pengelolaan pariwisata dalam paradigma kapitalis lebih banyak menimbulkan dampak negatif seperti merajalelanya kemaksiatan, kerusakan di berbagai aspek kehidupan, maupun peningkatan kriminalitas. Jika dilihat dengan cara pandang yang benar, maka keparahan kerusakan yang ditimbulkan dan merajalelanya kemaksiatan sangatlah tidak sebanding dengan keuntungan material yang diperoleh.
Pengelolaan Pariwisata dalam Islam
Jika pengelolaan pariwisata dalam paradigma kapitalisme berorientasi perolehan keuntungan materi yang sebanyak-banyaknya, maka sebaliknya pengelolaan pariwisata dalam paradigma Islam ditujukan untuk aktivitas mulia, yaitu sebagai lahan dakwah terhadap para wisatawan domestik maupun mancanegara.
Hal ini berdasarkan pada firman Allah ta’alaa dalam 14 ayat Al Quranul Karim, antara lain dalam QS Al Hajj ayat 46 dan QS Al Imran ayat 137. Dalam kedua ayat tersebut Allah memerintahkan manusia untuk melakukan perjalanan wisata untuk mentadaburi (merenungi) kebesaranNya. Ketika berwisata, seseorang hendaknya dapat mengambil berbagai pelajaran dan hikmah dari hal-hal yang ditemui seperti peninggalan sejarah masa lalu atau merefleksikan berbagai fenomena keajaiban alam dan kemudian bermuara pada menebalnya keimanan. Melancong sarat makna ibadah, tidak hanya sekedar menghilangkan kepenatan, kejenuhan maupun kesedihan.
Di seluruh negeri muslim banyak dijumpai warisan kejayaan peradaban tempo dulu yang dapat dijadikan media dakwah bagi wisatawan asing. Tujuan ini merupakan kesempatan emas untuk mendulang pahala kemuliaan dakwah dalam pengelolaan pariwisata. Ketika obyek wisata tersebut dikelola secara serius sebagai media dakwah dan berhasil mendatangkan banyak wisatawan, maka secara otomatis pemasukan devisa negara juga akan meningkat.
Salah satu contoh obyek wisata di negeri muslim yang paling banyak dikunjungi belasan juta wisatawan dari berbagai negara setiap tahunnya adalah Piramida di Mesir (travel.tempo.co, 28/10/2023). Kristolog Muslim tersohor asal Afrika Selatan, Ahmad Deedat mengatakan bahwa jika setiap warga Mesir dapat menjelaskan (berdakwah) kepada para wisatawan bahwa Al-Qur’an adalah kitab pertama yang mengungkapkan rahasia pembangunan Piramid tersebut, bukan tidak mungkin jika hal itu berpotensi untuk mengIslamkan banyak penduduk dunia (khazanah.republika.co.id, 10/06/2019). Indonesia juga mampu melakukan hal tersebut, karena negeri ini pun memiliki banyak peninggalan sejarah Islam yang dapat dijadikan media dakwah.
Kesimpulannya bahwa pariwisata dalam sudut pandang Islam bervisi akhirat berbingkai keimanan. Sangat berbeda dengan pariwisata dalam paradigma kapitalisme yang bervisi duniawi dan berorientasi profit semata.
Islam menjadikan pariwisata tidak sekedar untuk peningkatan devisa dan mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat. Sebaliknya, Islam sedemikian sempurnanya mengatur wisata dan pariwisata menjadi lahan dakwah, suatu aktivitas bernilai ibadah dan memuliakan siapapun yang terlibat di dalamnya. Dan tentunya pengelolaan pariwisata yang baik ini hanya bisa dilakukan ketika negara menerapkan sistem Islam secara menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupannya.
Maasyaa Allah, allahummanshuril bil Islam, laa hawlaa walaa quwwata illaa billah, wallahu a’lam bisshowwab.[]