Oleh Aulia Aula Dina
Belum lama ini, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyelenggarakan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-31, bertemakan "Keluarga Berkualitas Menuju Indonesia Emas" yang berlokasi di Simpang Lima, Kota Semarang, Jawa Tengah. Diadakannya acara ini merupakan bentuk komitmen pemerintah untuk merevitalisasi peran keluarga dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang menghambat pencapaian cita-cita pembangunan negeri. Diawali dengan meningkatkan peran keluarga dalam membentuk generasi sehat tanpa stunting yang menghasilkan generasi kuat.
Pada acara tersebut, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, keluarga merupakan penentu dan kunci dari kemajuan suatu negara. Maka dari itu, pemerintah kita saat ini tengah bekerja keras untuk menyiapkan keluarga-keluarga Indonesia yang berkualitas dan memiliki daya saing.
Muhadjir pun menjelaskan, pemerintah sedang menyiapkan keluarga berkualitas yang dimulai sejak prenatal (masa sebelum kehamilan), masa kehamilan, dan masa 1000 hari pertama kehidupan manusia. Intervensi sudah dilakukan terutama pada perempuan. Dimulai dengan program memberikan tablet tambah darah pada remaja-remaja perempuan untuk memastikan mereka benar-benar sehat dan kelak siap hamil setelah menikah, kemudian diadakanya program bimbingan perkawinan bagi calon pengantin, cek kesehatan sebelum menikah, cek HB darah, cek lingkar lengan, dan memberikan intervensi gizi untuk ibu dan bayi sampai 1000 hari pertama kehidupan. (www.kemenkopmk.go.id, 30/06/24)
Fatamorgana Pembangunan Keluarga Berkualitas
Benar, bahwa saat ini Indonesia membutuhkan keluarga-keluarga berkualitas untuk membangun generasi kuat di masa depan. Tetapi, jika ditelaah kembali, mampukah program atau rencana yang telah dipersiapkan pemerintah seperti pencegahan stunting, pengecekan kesehatan, dan pembimbingan pranikah, sudah cukup untuk merubah keluarga-keluarga Indonesia menjadi keluarga berkualitas?
Terlebih, ketika disuguhkan dengan fakta hari ini, banyak terjadi persoalan-persoalan ditengah keluarga Indonesia seperti kemiskinan, PHK massal, pengangguran, KDRT, terlilit pinjaman online dan judi online, perceraian, dan banyak lagi. Maka masih jauh langkah yang harus diambil pemerintah bila ingin membangun keluarga berkualitas.
Rusaknya kualitas keluarga Indonesia, sejatinya diakibatkan oleh penerapan sistem Kapitalisme. Sistem ini sedikit demi sedikit mengubah peran orang tua di dalam keluarga. Sosok ibu yang seharusnya menjadi penjaga dan pendidik anak di rumah, telah digeser perannya menjadi pencari nafkah demi memenuhi kebutuhan hidup yang harganya tinggi. Sedangkan ayah yang bertugas sebagai pencari nafkah, dipersulit untuk mendapat pekerjaan dan ada pula yang terkena PHK massal karena masuknya tenaga kerja asing. Hal ini membuat para orang tua disibukkan dengan urusan finansial.
Kemudian, timbul permasalahan pinjol, judol, KDRT, dan perceraian diakibatkan oleh kemiskinan buah penerapan sistem kapitalis. Dikala semua harga-harga naik, sedangkan pendapatan sedikit, maka muncul masalah keterlilitan hutang piutang berbunga, hilangnya keharmonisan keluarga, hingga berakhir perceraian.
Dari sisi anak, mereka menjadi terbengkalai karena orang tua yang sibuk bekerja. Orang tua tidak lagi memerhatikan nutrisi makanan anaknya, lupa akan pendidikan akhlak dan perilaku mereka, dan tidak membimbing akidahnya. Lantas mampukah Indonesia menciptakan keluarga berkualitas ditengah penerapan sistem Kapitalisme? Tampaknya, itu hanyalah fatamorgana.
Sistem Islam, Solusi Hakiki Membangun Keluarga Berkualitas
Berbanding terbalik dengan Kapitalisme, ketika sistem Islam diterapkan di dalam negara, sudah pasti Islam akan mengembalikan peran orang tua ke tempat yang sudah Allah perintahkan. Ibu akan menjadi ummu wa rabbatul bait dan ayah menjadi kepala keluarga yang menafkahi dan membimbing istri juga anak-anaknya. Oleh karena itu, tidak akan ada anak-anak yang terbengkalai, mereka akan terbimbing akidahnya, akhlaknya, dan terjamin nutrisinya.
Kemudian, dalam Islam, negara berkewajiban meriayah atau mengurus rakyatnya, yaitu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan dengan harga murah dan stabil, menyediakan lapangan kerja yang halal untuk para ayah mencari nafkah, dan memfasilitasi kebutuhan pendidikan dan kesehatan secara gratis. Hal itu bisa dilakukan melalui penerapan sistem ekonomi atau keuangan Islam di dalam negara.
Negara pun akan menutup permanen praktik hutang piutang ribawi, judi online, dan aktivitas lainnya yang diharamkan Allah. Sebisa mungkin negara mengondisikan keluarga muslim menjadi keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, sehingga bisa membangun dan mewujudkan generasi emas yang berorientasi pada akhirat.
Oleh karena itu, penerapan sistem kapitalis hanyalah membawa solusi yang utopia untuk mewujudkan Indonesia Emas dengan banyaknya fakta keluarga rusak hari ini. Hanya sistem Islam yang berasal dari Sang Penciptalah yang bisa membawa keluarga-keluarga Indonesia menjadi keluarga ideal yang mampu membangun generasi gemilang di masa mendatang.[]