Oleh: Qonita S
Politik transaksional adalah kata yang paling sering diasosiasikan dengan pemilu di Indonesia. Memberi janji untuk mempengaruhi orang disebut sebagai politik transaksional. Politik Transaksional yang biasa terjadi adalah Money Politic atau Politik Uang. Politik Uang ini kerap terjadi pada saat pemilu, meski begitu tidak selalu uang yang digunakan untuk melakukan transaksi tersebut, transaksi tersebut juga dapat digunakan melalui barang-barang seperti sembako, dll. Transaksi Terlepas dari beberapa makna yang ada, politik transaksional adalah ungkapan bahasa Indonesia yang digunakan untuk menggambarkan segala bentuk korupsi terkait pemilu, termasuk korupsi politik dan pembelian suara (Voting buying). (Kumparan.com, 07/06/2023)
Bagi-bagi jabatan komisaris dan direksi anak usaha BUMN kepada para pendukung presiden dan wakil presiden terpilih serta kerabatnya menjadi sorotan. Selain kepada anggota Tim Kampanye Nasional (TKN), jabatan komisaris BUMN juga diberikan kepada para petinggi partai-partai politik pendukung pasangan presiden dan wakil presiden terpilih.
PT Pertamina (Persero) resmi mengangkat Prabunindya Revta Revolusi sebagai Komisaris Independen PT Kilang Pertamina Internasional (KPI). Keputusan pengangkatan Prabu dilakukan sejak awal Februari 2024. Nama Prabu Revolusi sudah dimuat dalam laman resmi PT KPI sebagai Komisaris Independen.
Pria kelahiran Bandung tahun 1980 ini awalnya berada dalam barisan pendukung capres-cawapres, Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Di tengah jalannya Pemilu 2024, Prabu memutuskan berpindah haluan mendukung pasangan calon (paslon) presiden dan wapres nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. (tirto.id, 27/02/2024)
Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie ditunjuk menjadi Komisaris Mining Industry Indonesia (MIND ID). MIND ID adalah BUMN Holding Industri Pertambangan Indonesia yang beranggotakan beberapa perusahaan. Diketahui, Grace Natalie adalah Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran. Politikus Partai Gerindra sekaligus anggota Dewan Pakar TKN Prabowo Gibran, Fuad Bawazier juga ditunjuk sebagai Komisaris Utama (Komut) MIND ID. Kemudian, ada politikus Partai Gerindra yang juga Wakil Bendahara TKN Prabowo-Gibran, Simon Aloysius Mantiri yang diangkat menjadi Komisaris Utama sekaligus Komisaris Independen PT Pertamina (Persero). (Kompas.com, 13/06/2024)
Sejumlah pendukung presiden terpilih Prabowo Subianto mulai ditempatkan di jajaran petinggi BUMN, mengulangi praktik yang kerap terjadi pada dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pengamat dan aktivis menilai "politik balas budi" semacam ini bisa merongrong kinerja BUMN dan akhirnya merugikan negara. (BBC News Indonesia, 14/06/2024).
Dari sana terlihat jelas dan nyata pengangkat seseorang dalam menduduki jabatan tertentu tidak menjadikan tolok ukuran kemampuan sebagai dasar layak tidaknya seseorang menduduki jabatan tersebut tetapi balas budi yang menjadi ukurannya.
Praktek politik transaksional merupakan hal lumrah dalam sistem demokrasi. Berbagai kebijakan yang diambil selalu mementingkan kelompok di sekitar penguasa, tidak peduli lagi akan kepentingan rakyat. Meskipun tidak sedikit pakar yang melakukan kritikan dan menyampaikan kekhawatiran jika praktek politik transaksional tetap dilakukan. Namun peribahasa anjing menggonggong kafilah berlalu yang dijadikan pedoman oleh pemimpin negeri ini. Tidak peduli akan masa dengan bangsa dan negeri ini.
Praktek politik tersebut tidak disebabkan oleh personal pemimpinya, tetapi merupakan tabiat dari sistem politik yang diterapkan. Jika dibiarkan terus berlanjut ketimpangan-ketimpangan politik tersebut akan menyebabkan kehancuran.
Oleh karena itu harus difahami apa yang menjadi pangkal persoalan ketimpangan politik yang terjadi. Ternyata setelah ditelusuri disebabkan karena adanya pemisahan agama dari kehidupan yang merupakan konsep dasar dari sekulerisme. Dimana dalam berpolitik sekularis demokrasi menciptakan politikus dan pemimpin dalam menjalankan amanah menghalalkan segala cara. Hubungan rakyat dan penguasa hanya sekedar hubungan formalitas, jargon bekerja untuk rakyat hanya sekedar jargon semata.
Dalam Islam keberadaan pemimpin dijelaskan dalam dalil-dali syariat. Kepemimpinan adalah sebuah amanah yang akan diminta pertanggung jawabannya oleh Allah. Sehingga segala sesuatunya harus disesuaikan dengan syariat. Sebagaimana sabda Rasylullah saw: “Kekuasaan adalah amanah. Ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambil dengan haknya, dan menunaikannya (sebaik-baiknya).” (HR. Muslim)
Kemaslahatan rakyat menjadi tujuan pelaksanaan syariat. Maka dalam mengangkat pemimpin dan pejabat berdasarkan kapabilitas/kemampuan agar dapat menjalankan tugas secara optimal. Di samping itu yang mendapatkan amanah memimpin wajib menjalankan sesuai syariat, menjauhkan diri dari segala kepentingan pribadi maupun pihak lain saat merumuskan kebijakan. Penyalahgunaan kekuasaan merupakan pelanggaran hukum dan sebuah tindak kriminal yang akan mendapatkan sanksi.
Seorang penguasa harus memiliki keimanan yang kuat. Karena hal itu akan mendorong untuk taat kepada syariat dan menjalankan amanah kekuasaan dengan baik, serta merumuskan kebijakan untuk mewujudkan terpenuhinya kepentingan rakyat. Fakta tersebut terlihat pada sosok-sosok pemimpin islam pada masa Rasulullah dan khulafaur rasyidin dan khalifah-khalifah lainya.
Spirit dan konsepsi politik dalam kepemimpinan Islam berlandaskan pada syariat, tidak sebatas perkara akhlak dan moral semata. Karena jika hanya dibatasi pada dua hal tersebut akan menjauhkan Islam sebagai sistem kehidupan dan mengakibatkan kerusakan tatanan kehidupan ini.
Islam adalah sebuah pandangan hidup. Islam memiliki konsep politik untuk mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sehingga harus ada kekuasaan yang diamanahkan kepada seseorang untuk menjalankanya.
“Agama dan kekuasaan adalah saudara kembar. Agama sebagai pondasi, sedangkan kekuasaan sebagai penjaganya. Segala sesuatu yang tidak memiliki pondasi akan roboh. Demikian juga segala sesuatu yang tidak memiliki penjaga akan musnah,” dinyatakan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Iqhisad fia al-I’tiqad. Dari sini jelas hubungan agama dam kekuasaan sangat erat.
Sehingga jelas Islam tidak menghilangkan pembahasan kekuasaan dan kepemimpinan. Tergambar jelas dalam sejarah penerapan Islam, keadilan dan kesejahteraan terwujud sebagai realisasi ketaatan penguasa pada agama. Penguasa tidak terikat kepada pihak manapun dalam menjalankan kekuasaannya. Wallahu ‘alam bishshawab.