PENULIS: SURYANI
Presiden Jokowi telah meneken PP No. 25/2024 yang mengatur tentang perubahan atas PP No. 25/2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Dalam PP tersebut, gaji pekerja di Indonesia seperti PNS, karyawan swasta, dan pekerja lepas (freelancer) akan dipotong 3% untuk dimasukkan ke dalam rekening dana Tapera. Pasal 5 PP No. 21/2024 menyebutkan bahwa peserta Tapera adalah para pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum, telah berusia paling rendah 20 tahun atau sudah kawin pada saat mendaftar.
Kebijakan tersebut mendapat penolakan dari Asosiasi Pengusaha Indonesia dan kritik tajam. Mereka menentang pekerja sektor swasta menjadi peserta Tapera. Organisasi itu berpendapat langkah pemerintah "membebani" bagi dunia usaha dan pekerja.
Banyak masyarakat Indonesia yang menilai aturan itu sebagai pemotongan paksa terhadap gaji bulanan selain pajak.(CNN)
Sementara, menteri Pertahanan sekaligus Presiden terpilih yang mulai menjabat pada Oktober 2024, Prabowo Subianto buka suara kebijakan yang bikin heboh ini. Prabowo bilang pihaknya selaku pemerintah baru nantinya akan mempelajari terlebih dahulu program Tapera. Lebih lanjut Prabowo menyatakan pihaknya akan mencari solusi terbaik atas masalah-masalah yang muncul di tengah masyarakat dari pemberlakuan program Tapera.
"Kita akan pelajari dan mencari solusi yang terbaik. Oke," kata Prabowo ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (6/6/2024).
Namun, ketika ditegaskan lagi mengenai apakah ada kepastian kebijakan Tapera akan dijalankan pada pemerintahannya kelak, Prabowo tak mau menjawab.
Tapera, Membebani rakyat, Mensejahterakan Penguasa
Polemik Tapera sebenarnya sudah bergulir sejak penerbitan PP Tapera pada 2020. Tapera kembali ramai menjadi perbincangan setelah pemerintah mengubah PP No. 25/2020 menjadi PP No. 21/2024. Meski sebagian besar isinya tidak banyak berubah, tetap saja pemotongan 3% gaji pekerja untuk Tapera sangat membebani rakyat.
Program ini diluncurkan untuk memenuhi kebutuhan setiap orang yang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Iuran Tapera hanya bisa dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan pokok simpanan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir. Namun, kebijakan ini ditentang banyak pihak, terutama pekerja. Dengan beberapa alasan sebagai berikut :
1. Menyesakkan pekerja. Bagi pekerja dengan gaji UMR, potongan 3% untuk Tapera makin memperkecil nominal gaji yang diterima mereka. Belum lagi jika kita bicara perihal pemenuhan kebutuhan hidup yang kian meningkat. Gaji pegawai ASN dan para pekerja makin menyusut dipangkas berkali-kali. Negara hanya tahu memangkas sumber penghasilan rakyat tanpa mau tahu kesulitan hidup yang mereka hadapi.
Pemerintah seharusnya yang bertanggung jawab dan berkewajiban menyediakan perumahan bagi rakyat, bukan memotong gaji para pekerja. Ini sama saja memiskinkan para pekerja secara pelan-pelan. Seperti halnya, BPJS Ketenagakerjaan yang rutin dibayar para pekerja saja tidak memberikan banyak manfaat bagi masyarakat. Maka bisa di sinyalir bahwa nantinya dana Tapera akan bernasib sama dengan BPJS Ketenagakerjaan.
2. Berpotensi menjadi lahan baru korupsi. Tampaknya pemerintah tidak mau belajar dari BPJS Kesehatan, korupsi Asabri, Jiwasraya, dan Taspen. Amburadulnya lembaga negara tersebut semestinya menjadi pelajaran. Bukan malah membuka peluang muncul masalah baru. Dengan simpanan yang begitu panjang, siapa yang bisa menjamin dana simpanan Tapera itu diam dan tenang di tempatnya? Inilah potensi lahan baru korupsi.
Jika negara meminta rakyat menabung pemenuhan rumah, beberapa hal perlu terkonfirmasi dengan pasti, yakni seperti apa bentuk dan bangunan rumahnya, lokasinya di mana, jarak rumah dengan tempat kerja, dan sebagainya.
Iuran Tapera yang sifatnya wajib makin membuat masyarakat curiga. Apa benar negara mampu menjalankan amanah dengan simpanan iuran yang memiliki potensi miliaran ini?. Kewajiban Tapera ini membuat pemerintah seakan hanya ingin mengumpulkan uang rakyat, sementara peruntukannya juga belum jelas.
3. Kepedulian dan kepekaan penguasa minim. Setiap iuran yang sifatnya menabung harusnya tidak dipaksakan untuk membayar. Apalagi memotong gaji si penerima gaji tanpa permisi dan diskusi. Main atur, main paksa, dan main potong gaji. Sedangkan negara sendiri belum optimal memberikan pelayanan kepada rakyat dengan sebaik-baiknya.
Oleh karenanya, harusnya negara tahu diri serta paham kesulitan dan beban rakyat. Rakyat sudah pontang-panting mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan hidup yang tidak dijamin negara. Janganlah menambah beban rakyat berlipat-lipat di tengah ekonomi yang semakin lemah. Jangan sampai dengan adanya iuran Tapera membuat pemerintah keenakan dan melepas tanggung jawabnya sebagai penyedia kebutuhan papan bagi masyarakat.
Tapera Dalam Pandangan Islam
Dalam Islam, pemimpin hadir memberi layanan sebaik mungkin. Tugasnya adalah mengurus urusan rakyat, bukan mengeruk keuntungan dari rakyat.
Rumah adalah salah satu kebutuhan dasar bagi rakyat. Sudah semestinya penyelenggara perumahan rakyat sepenuhnya menjadi tanggungan negara, tanpa kompensasi dan tanpa iuran wajib, semua ditanggung negara. Negara bukan pengumpul dana rakyat. Negara bertugas memenuhi kebutuhan rakyat.
Seharusnya negara malah bisa memberikan kemudahan pembelian tanah dan bangunan, juga bisa membangun perumahan rakyat dengan harga yang sangat terjangkau atau murah. Negara memenuhi kebutuhan pokok lainnya, seperti sandang dan pangan dengan menetapkan kebijakan pangan yang murah. Para pencari nafkah juga akan mudah dalam mengakses dan mencari pekerjaan sebab negara berkewajiban menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat.
Tugas seorang pemimpin adalah memberikan kenyamanan bagi rakyatnya, termasuk dalam perkara kebutuhan rumah. Jangan sampai kebijakannya justru menyusahkan rakyat sebagaimana sabda Nabi SAW dalam riwayat Muslim. Dari ‘Aisyah berkata, Rasulullah SAW bersabda,
َوَعَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا- قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( اَللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ ) أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
Dari Aisyah ra beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda:
“Ya Allah, barangsiapa yang mengurusi umatku lantas dia merepotkan (membuat susah) umatku, maka repotkanlah dia.”
(HR Muslim)
Islam menjadikan rumah sebagai kehormatan yang wajib dijaga dan dilindungi. Para ulama di masa lalu telah menuturkan kebijakan Khilafah tentang pembangunan rumah tempat tinggal dengan memperhatikan prinsip tersebut. Mulai dari pemilihan lokasi, ketinggian rumah, jumlah kamar, teras, pagar hingga ventilasi pun diatur oleh Islam.
Pemenuhan kebutuhan papan masyarakat akan terselenggara dengan benar dan tepat tatkala sistem Islam kafah dapat terwujud dengan sempurna dengan hadirnya negara Khilafah. Di bawah asuhan kapitalisme, peran negara tidak lagi ideal. Dengan penerapan syariat Islam, fungsi negara bisa kembali normal di tengah keabnormalan kehidupan yang berasas sistem sekuler kapitalisme.
Agar Pemerintah Mengkaji Ulang
Pembaruan atau bahkan pembatalan kebijakan Tapera, kiranya perlu dipertimbangkan kembali. Kebijakan Tapera banyak merugikan dan membebani pekerja dengan iuran dimana meski mengangsur selama 10 hingga 20 tahun pekerja tetap saja tidak mendapat kepastian bisa memiliki rumah. Pemerintah seolah melepas tanggung jawab dalam menyediakan rumah. Hal ini karena pemerintah hanya bertindak sebagai pengumpul iuran, tapi tidak mengalokasikan dana secara tepat.
Pemerintah harus melihat problem utama kesulitan masyarakat untuk mendapatkan rumah bukan pada skema perolehannya, melainkan kecukupan anggaran yang dimiliki oleh masyarakat akibat rendahnya pendapatan dan besarnya beban hidup yang tiap tahun kian meningkat.
Wallahu'alam.[]